Kerja paruh waktu bukan sesuatu yang mudah. Ini pertama kalinya bagi Hyunsu mencicipi pengalaman kerja paruh waktu. Meski Pak Kim memperlakukannya dengan baik dan memintanya untuk tidak berkerja terlalu keras namun Hyunsu tidak ingin mengecewakan lelaki paruh baya itu. Hyunsu bekerja sangat keras.
Tak terasa sudah hampir sebulan Hyunsu bekerja di toko Pak Kim. Hyunsu mulai bekerja sepulang sekolah. Dia bertugas mengantar pesanan para costumer ke rumahnya. Pak Kim benar-benar baik, dia meminjamkan Hyunsu sepeda untuk mengantar barang. Karena Hyunsu belum mempunyai SIM maka Pak Kim hanya memintanya menganrar barang ke tempat yang tidak jauh dari toko. Jika barang yang harus dikirim jauh maka Pak Kim akan meminta kurir untuk mengfantarnya.
Jam sudah menunjukkan waktu istirahat, Pak Kim memberikan Hyunsu waktu istirahat selama satu jam. Biasanya Hyunsu akan menggunakan waktunya untuk memakan gimbap segitiga yang dia beli di supermarket. Meski Pak Kim baik padanya dan ingin memberinya makan, Hyunsu menolaknya. Hyunsu tidak ingin berhutang budi, dia sudah merasasenang karena Pak Kim memberinya pekerjaan.
“Hyunsu apa kau mau bibimbap?” Pak Kim sedang membaca menu restoran cepat antar sementara Hyunsu duduk di sudut ruangan sambil menikmati gimbap segitiganya. Hari ini gimbapnya terasa sedikit aneh, namun dia tetap memakannya karena lapar.
Hyunsu menggeleng, sorot matanya merasa tidak enak pada Pak Kim, namun dia tetap harus menolaknya. Hyunsu takut dia terlalu nyaman dengansegala yang diberikan oleh Pak Kim jadi dia tidak mau bergantung pada Pak Kim.
“Aku makan ini saja, Pak,” Hyunsu mengangkat gimbap segitiganya dan tersenyum, Pak Kim menatap Hyunsu dengan tatapan iba, “Jangan makan makanan seperti itu terus, Hyunsu, sekali-kali belilah makanan yang layak.” Tegur Pak Kim.
Untuk menghemat pengeluaran Hyunsu selalu datang ke supermarket pagi-pagi dan membeli gimbap yang hampir kadaluarsa. Bagi Hyunsu ini sudah cukup. Dia harus menabung untuk bisa menyewa gosiwon dan membiayai hidupnya sendiri. Meski Bibi Jung sangat baik padanya namun Hyunsu berhutang banyak pada Bibi jung.
Hingga enam bulan di di Seoul namun Hyunjin maupun ibunya tak ada yang mencarinya sama sekali. Sepertinya ibunya sudah bahagia hidup bersama Hyunjin. Hyunsu tidak mau memusingkan masalah itu.
“Aku baik-baiks aja dengan ini, Pak,” ujar Hyunsu. Pak Kim hanya mampu menggelengkan kepala. Setelah selesai makan Hyunsu segera mencuci tangan dan berjalan menemui Pak Kim.
“Adakah pesanan yang harus kuantar, Pak?” Tanya Hyunsu dengan antusias, jika para pekerja lain akan sangat senang jika tidak punya pekerjaan tapi Hyunsu selalu mencari pekerjaan di saat dia senggang. Dia bahkan makan dengan cepat dan segera kembali bekerja. Jeyoon benar, Pak Kim tidak merasa rugi mempekerjakan Hyunsu karena anak ini baik dan cekatan.
Pak Kim memeriksa daftar pesanan, sepuluh menit yang lalu dia sudah selesai membungkus pesanan dan meletakkannya di atas meja. “Bisakah kau antar ini di apartemen depan?” Tanya Pak Kim. Lorong ini terletak di belakang apartemen mewah dan beberapa gedung pencakar langit. Sungguh pemandangan yang tragis jika dilihat dari lensa kamera.
Hyunsu mengangguk dengan antusias, namun belum sempat dia membalas dia merasa ada yang aneh dengan perutnya. Perutnya seperti diremas dan rasanya sakit sekali. Refleks Hyunsu memegang perutnya.Pak Kim yang menyadari perubahan raut wajah Hyunsu bertanya dengan wajah khawatir.
“Apa kau baik-baik saja Hyunsu?” Tanyanya dengan khawatir. Hyunsu tidak bisa jujur pada Pak Kim. Perutnya terasa sangat sakit sekarang di sisi lain Hyunsu harus mengantar pesanan. Hyunsu mengangguk, anak itu mencoba memasang senyum di wajahnya. “Aku baik-baik saja,” tukas Hyunsu.
“Jika kau lelah kau bisa istirahat wajahmu pucat sekali. Atau biar kuminta kurir yang mengantarnya.”
Hyunsu menggeleng dan mencegah Pak Kim untuk memanggil kurir. “Biar aku saja tak apa, Pak,” tukas Hyunsu. Anak itu menggigit bibirnya dan berusaha sekuat tenaga untuk tidak merintih meski perutnya semakin lama terasa semakin sakit. Hyunsu memandang apartemen yang ditunjuk Pak Kim.Tidak terlalu jauh, lima menit Hyunsu bisa sampai sana. Hyunsu harus bertahan kurang lebih selama 15 menit dan dia akan baik-baik sja. Hyunsu berusaha mendoktrin dirinya agar dia baik-baik saja.
Hyunsu memeriksa daftar pesanan dan mencocokkan barang yang ada di kardus dengan daftar pesanan. Setelah merasa tidak ada yang tertinggal Hyunsu mengangkat kardus dengan hati-hati dan mendekapnya, “Hyunsu, jangan memaksakan diri, wajahmu pucat sekali, aku tidak ingin kau kenapa-napa,” tukas Pak Kim. Lelaki itu akan merasa sangat bersalah jika terjadi sesuatu pada Hyunsu.
“Aku baik-baik saja, Pak Kim, aku pergi dulu ya,” pamit Hyunsu. Pada akhirnya Pak Kim tidak bisa membujuk Hyunsu dan membiarkan anak itu pergi.
Hyunsu berjalan dengan tertatih dan memegang perutnya. Dia mencoba berjalan senormal mungkin, rasa sakit di perutnya semakin terasa sakit. Hyunsu berjalan dengan tertatih lalu memasuki lift. Unit yang dia tuju ada di lantai 8 nomor 14. Lantai 8 merupakan lantai VIP di apartemen ini. Tidak banyak orang yang bisa masuk ke unit tersebut karena unit tersebut merupakan unit ekslusif yang banyak ditinggali artist maupun pejabat.
Setelah bersusah oayah menunjukkan bukti pemesanan akhirnya Hyunsu diperbolehkan masuk. Rasa sakit di perutnya semaki terasa nyeri. Ditambah lagi kini kepala Hyunsu terasa pening. Hyunsu sampai harus berpegangan pada tembok sambil berjalan.
“Sebentar lagi Hyunsu, bertahanlah,” gumam Hyunsu pada dirinya sendiri. Dia mencoba menahan rasa sakitnya. Setelah beberapamenit menyeret dirinya, Hyunsu akhirnya tiba di depan unit apartemen yang ditujunya. Dengan sisa tenaga miliknya Hyunsu langsung memencet bel dan menunggu sang pemilik membukakan pintu.
Kepala Hyunsu terasa berdenyut, keringat dingin mulai membasahi keningnya, tangannya gemetar. Pandangannya mulai mengabur. Tubuhnya juga mulai terasa lemah.
Ceklek!
Suara pintu terbuka. Tubuh Hyunsu mendadak ambruk dengan tangan yang gemetar, “Apa kau baik-baik saja?” terdengar suara seorang laki-laki yang panik melihat Hyunsu hampir pingsan di depannya. Hyunsu masih bisa membuka matanya dan mendengar uca[annya. Anak itu mengangguk dan mencoba berdiri namun kakinya benar-benar lemas. Dirinya terjatuh lagi beruntung seseorang menahan punggungnya sekarang. Entah dejavu atau apa, Hyunsu seakan mengenali suara orang tersebut,seperti tidak asing, tapis ekali lagi dia tidak bisa memastikan siap orang yang menolongnya. Pandangannya menggelap lalu terdengar suara sesorang panik dan memanggil ambulance.
Tubuh Hyunsu terkulai lemas. Lelaki itu mencoba meminta pertolongan, namun karena tidak ada yang menolongnya dia segera menggendong Hyunsu dan berlari keluar apartemen, “Aku mohon bertahanlah,” gumamnya dengan tatapan memohon. Dia membawa Hyunsu dengan hati-hati, dalam hati dia berdoa agar Hyunsu mampu bertahan sampai dia bisa membawanya ke rumah sakit.