“Hyunsu, buka pintunya,” gumam Hyunjin sambil mengetuk pintu kamar Hyunsu pelan. Sudah dua jam Hyunsu masih belum keluar dari kamarnya. Lelaki itu menempelkan headset di telinganya lebih erat. Lagu The Script Man who can be moved mengalun pelan di telinga Hyunsu. Rasanya berada di rumah ini sesak sekali.
Setiap hari dia harus melihat pemandangan Bora membanggakan anak sulungnya, Hyunjin. Hyunsu merasa sangat iri karena Hyunjin selalu mendapat kasih sayang lebih banyak dari Hyunsu. Sebenarnya dia tidak iri hanya saja dia ingin ibunya memperlakukannya dengan lebih baik.
“Hyunsu kau harus makan,” bujuk Hyunjin. Perut Hyunsu sudah meronta-ronta ingin diisi namun lelaki itu gengsi pergi keluar hanya untuk makan.
“Aku tidak lapar,” sahut Hyunsu dari dalam, Hyunjin sangat gigih membujuk Hyunsu. Entah sudah berapa lama dia berdiri di depan pintu kamar Hyunsu dan menunggu lelaki itu keluar dengan sabar.
Hyunjin tahu tatapan terluka Hyunsu setiap kali ibunya memujinya. Hyunjin tidak ada maksud untuk merebut kasih sayang Hyunsu, dia sudah beberapa kali meminta ibunya untuk tidak memuji dirinya di depan Hyunsu, namun Park Bora tak pernah mendengarkannya.
Hyunjin ingin sukses, karena itu dia bekerja keras untuk masuk universitas paling begengsi di kota Seoul. Hyunjin ingin menjadi kakak yang baik yang bisa dibanggakan oleh Hyunsu dan ibunya suatu hari nanti, karena Hyunjin paham dia anak pertama dan mereka tidak memiliki kepala keluarga. Karena itu Hyunjin ingin menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab di rumah ini.
“Sudahlah, biarkan saja Hyunsu. Dia memang anak tidak berguna, kau tidak perlu membelanya,” gumam Bora tak acuh. “ Aku mau kerja dulu, Hyunjin kau jangan lupa makan malam, pesan saja lewat delivery, ini kartu eomma, kau boleh memakainya,” gumam Bora sambil memberikan kartu ATM miliknya ke hadapan Hyunjin. Hyunjin semakin tidak enak. Bora seperti sengaja berbicara dengan keras agar Hyunsu mendengarnya. Hyunsu pasti akan semakin membencinya.
“Eomma, ´aku masih ada uang saku hari ini, aku masih bisa membeli makan malam dengan uangku sendiri, kau tidak perlu khawatir aku akan membelikannya buat Hyunsu juga,” gumam Hyunjin berkata pada Bora.
Di dalam kamar Hyunsu menghela napasnya, “Dasar penjilat,” gumam Hyunsu dengan tatapan penuh kebencian. Hyunsu benci berada di sini, dia benci karena melihat semua pemandangan menyebalkan ini. Hyunsu melempar headsetnya ke atas kasur. Dia mengambil backpack yang berada di atas lemari. Hyunsu menyahut pakaian di dalam lemarinya dengan asal. Dia memasukkan beberapa pakaian dan tak lupa celengan miliknya. Hyunsu harus pergi dari rumah ini . Dia tak tahan lagi berada di sini.
“Hyunsu keluarlah, Eomma sudah pergi. Mau pergi ke warnet gak? Atau ayo kita pergi membeli makanan enak di restoran,” bujuk Hyunjin tak mengenal lelah.
Hyunsu masih betah mendiamkannya, dia melepas seragam sekolahnya dan berganti pakaian dengan kaos dan celana pendek miliknya, tak lupa topi dan masker yang menutupi wajahnya. Persetan dengan semua ini dia akan pergi sekarang.
“Eomma mengizinkanku membeli apapun dengan kartunya, ayo kita pergi makan makanan enak,” ajak Hyunjin, dalam hatinya dia membayangkan berhasil membujuk Hyunsu dan mereka akan pergi bersama. Hyunjin kangen masa-masa kecilnya. Dia dan Hyunsu dulunya akrab, sebelum ayah mereka meninggal. Mereka sering bermain di pantai bersama, kadang pergi membeli mainan bersama, semuanya terasa begitu indah. Hyunjin ingin kembali ke masa itu, tapi Hyunsu terus menarik diri selepas ayahnya meninggal.
Ceklek!
Hyunjin sudah memasang senyum cerah karena Hyunsu akhirnya membuka pintu kamarnya.
Rupanya dia berhasil membujuk Hyunsu, bayangan makan bersama sang adik memenuhi kepalanya. Namun sedetik kemudian senyumnya mendadak hilang ketika melihat Hyunsu menggendong backpack dari balik punggungnya.
“Kau mau ke mana?” tanya Hyunji, bibirnya bertanya namun sebenarnya kepalanya tahu Hyunsu mau ke mana.
“Bukan urusanmu,” ujar Hyunsu dengan nada dingin. Hyunsu ingin melangkah namun tubuh Hyunjin menghalangi jalannya.
“Jangan gila, kau mau pergi dari rumah?” Tanya Hyunjin dengan tatapan marah. Hyunjin mencekal tangan Hyunsu.
“Hyunsu, tolong jangan seperti ini. Aku akan bicara pada Eomma tapi kau jangan pergi dari sini. Aku akan meminta Eomma mengizinkanmu menjadi penyanyi tapi jangan pergi dari rumah ini,” gumam Hyunjin mencoba membujuk Hyunsu.
Hyunsu menggeleng, dia punya cukup uang untuk bertahan hidup di luar dan mengejar mimpinya. Hyunsu tahu tindakan ini salah, namun percuma saja dia hidup sesuai keinginan Bora, tetap saja Hyunjin akan menjadi anak yang selalu dia banggakan.
“Minggir, aku mau pergi,” gumam Hyunsu mencoba menggeser tubuh Hyunjin. Hyunjin tidak bergerak, dia tidak akan membiarkan adiknya pergi. Dunia luar terlalu berbahaya, meski Hyunsu bukan anak kecil lagi tapi tetap saja dia tidak bisa hidup sendiri.
“Hyunsu, tolong jangan lakukan ini,” gumam Hyunjin. Hyunsu menggeser tubuh Hyunjin dengan kasar, tenaganya lebih kuat daripada Hyunjin, Hyunjin tersungkur di lantai. “Jangan mencampuri urusanku, aku muak dengan semua ini. Lebih baik aku pergi dari sini,” tukas Hyunsu dengan tatapan dingin. Hyunjin tidak menyerah, kali ini dia meraih kaki Hyunsu dan mendekapnya.
“Lepaskan, aku ingin pergi,” gumam Hyunsu mencoba melepaskan tangan Hyunjin yang berada di kakinya, namun lelaki itu mengeratkan pelukannya di kaki Hyunsu, “Aku mohon,” desis Hyunjin dengan air mata yang hampir menetes di pelupuk matanya.
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Hyunsu. Tubuhnya membeku karena tamparan yang baru saja mendarat di pipinya. Di hadapannya tengah berdiri Park Bora dengan tatapan yang penuh emosi. Dia marah besar pada Hyunsu.
“Pergilah! Jika kau ingin pergi pergilah dan jangan pernah kembali!” Teriak Bora dengan penuh emosi. d**a Hyunsu terasa sesak, tadinya dia ingin mengurungkan niatnya karena Hyunjin memohon padanya, namun tekadnya kini membulat. “Lepaskan tanganmu, Hyunjin, kau tidak perlu memohon seperti itu,” Bora menarik tubuh Hyunjin untuk menjauh dari Hyunsu.
“Pergilah anak tak tahu diri, dan jangan pernah kembali, aku juga muak denganmu. Pergi sekarang juga! Mulai sekarang kau bukan anakku lagi,” teriak Bora. Mata Hyunjin melebar tak percaya. Hyunsu melangkah ke arah pintu sekarang, dadanya terasa sangat sakit. Orang yang paling dia sayangi kini mengusirnya. Rasa takut dan khawatir kini muncul di benak Hyunsu, kehidupan apa yang menantinya, semua itu terasa menyeramkan, tapi Hyunsu tak bisa berbalik dan kembali ke rumah, semuanya sudah berakhir.
Sementara itu di rumah yang kini telah ditinggalkan Hyunsu, Hyunjin tengah menatap Bora dengan tatapan tidak mengerti, “Eomma, kenapa kau lakukan itu? Eomma mungkin tidak akan bisa melihat Hyunsu lagi mulai sekarang.” Gumam Hyunjin, perkataan Hyunjin terasa menyakitkan sekarang, Hyunjin benar harusnya Bora menggenggam tangan putranya agar dia tak pergi, namun Bora terlalu gengsi untuk itu.