12.Kamu Cemburu?

920 Kata
Alula menunduk, berusaha abai dengan kedatangan Yongki. Ia mengikat kuat kasur busanya dengan tali rafia sampai tangannya terasa panas. Ia lampiaskan kekesalan, kekecewaan, dan sedihnya pada tali tersebut. Satu bulir air matanya lolos dan dihapus kasar. Ia belum berani menatap pria itu. “Harusnya aku marah sama kamu, memakimu. Tapi aku nggak bisa. Aku takluk dengan perasaanku sendiri saat melihatmu. Katakan, apa salahku sampai kamu menghilang kemarin?” Yongki kembali mencecar. Alula mempercepat berkemasnya. Semua buku sudah dimasukkan ke koper. Tinggal mengikat kasur agar mudah diboncengnya. “Alula, jangan diam saja!” Kali ini, suara Yongki meninggi. Ia mencekal lengan Alula, tetapi lekas ditepis kasar. “Lalu aku harus apa selain diam? Lalu aku harus apa saat keluarga tiriku menyuruhku pergi, membuangku sampai aku sekarat. Kamu malah menikahi orang yang selalu membuat hidupku menderita. Kamu pikir aku harus apa?” Sesuai perkataan Jannah, Alula memilih jujur. “Alula, apa maksudmu? Kamu dipaksa pergi?” Alula kembali meraup udara dengan rakus, lalu mengeluarkan pelan. “Ya. Malam hari sebelum akad nikah, Aruni datang ke sini. Tanpa ba-bi-bu dia memintamu dariku. Lalu Mas Adi membawaku pergi." “Ke*arat mereka! Mereka harus diberi pelajaran karena telah melakukan semua ini pada kita!” “Di sini, nggak ada yang salah. Semua yang terjadi karena ada alasannya. Mereka melakukan karena ingin menebus sakit hati mereka karena ulah ibuku. Terdengar klise memang, tapi memang itulah hukuman yang mereka ciptakan sendiri. Dan aku ingin mendengar apa alasanmu menikahi Aruni. Apa?” “Aku terpaksa melakukan itu. Lebih tepatnya terus dipaksa.” Yongki menunduk. “Berarti kita impas. Aku pergi karena dipaksa menjauh darimu, diikat lalu dibuang di persawahan. Dan kamu menikahi Aruni juga karena alasan yang sama. Baiklah, anggap kita tidak berjodoh. Mari kita berpisah secara baik-baik.” Alula melepas cincin lamaran yang masih melekat di jari manisnya, lalu memberikan kepada Yongki. Cincin itu memang sengaja tidak dilepas untuk diberikan pada Nur sebagai jaminan. Karena Alula sadar, itu bukan hak miliknya. Yongki menggeleng. “Aku nggak bisa menerimanya. Aku nggak mau kehilangan kamu. Aku harus menceraikan Aruni saat ini juga biar kita bisa bersama.” “Jangan egois, Mas! Pernikahan bukan permainan boneka yang bisa dinikahkan, lalu dipisahkan begitu saja. Pernikahan itu sakral!” “Lalu aku harus apa? Aku tersiksa.” “Kamu pikir aku bahagia? Sama, aku juga tersiksa. Tapi aku tahu diri kita tidak lagi sama seperti dulu. Lanjutkan pernikahanmu dengan Aruni. Itu solusi terbaik.” Bohong jika Alula tulus mengatakan itu dari hatinya. Bohong jika ia benar-benar ikhlas melepaskan Yongki. Namun, ia bisa apa sekarang? “Apa kamu sungguh-sungguh? Kamu rela kita pisah?” Alula bungkam. “Kalau aku menceraikan Aruni, hanya satu orang, yaitu Aruni yang terluka. Tapi jika aku melanjutkan pernikahan, aku dan kamu yang menderita.” “Kamu yakin hanya Aruni yang terluka? Mas, meskipun aku nggak membenarkan caranya merebutmu dariku, setidaknya hubunganku dengan keluarga tiriku tidak memburuk kalau kamu bersama Aruni. Bayangkan kalau kita nekat tetap bersama? Mungkin Mas Adi tidak hanya membu nuhku, tapi juga kamu.” “Bukankah itu lebih baik? Kita sama-sama tewas di tangannya!" “Itu kalau langsung dihabisi. Kalau disiksa dulu? Belum lagi mamamu yang dari dulu belum sepenuhnya bisa menerimaku. Bagaimana? Apa beliau menerimaku yang telah pergi di hari pernikahan? Aku yakin beliau sangat marah padaku.” Yongki terdiam. Alula benar. Sang mama yang sedari awal tidak menyukai Alula, begitu bahagia saat akhirnya yang menjadi menantu adalah Aruni. “Jujur, memang buatku pun rasanya berat. Tapi mungkin semua ini sudah suratan. Kita harus ikhlas saling melepas, Mas.” Yongki menggeleng. “Aku nggak bisa, La. Sudah terlalu banyak mimpi dan harapan yang sudah kita bangun dan sulit menghancurkan itu semua dalam sekejap.” “Aku pun sebenernya nggak bisa. Tapi kita harus melakukan semua ini. Pelan-pelan, lama-lama pasti semuanya baik-baik saja. Sekarang kamu adalah iparku dan hubungan kita hanya sebatas itu.” Yongki terduduk di sepeda motornya, menyugar rambutnya kasar. Alula meneruskan mengikat kasurnya. Ia pun menggotongnya dengan kesulitan ke sepeda motor. Yongki yang tidak tega, membantu. “Nggak usah bantu!” bentak Alula. "Ini berat, La. Jangan ngeyel!" Yongki tetap membantu dengan merebut kasur dari Alula dan mengikatnya kuat pada sepeda motor. "Nggak usah lagi peduli padaku!" "Sampai kapan pun aku akan tetap peduli." "Pulang sana!" Yongki hanya melirik. Tanpa disadari keduanya, kebersamaan mereka dari tadi diabadikan dalam banyak foto dan video oleh seseorang. “Apa biar aku aja yang bawa motornya? Berat pasti kasurnya.” Pria berkaus hitam itu menawarkan. Alula menggeleng. “Enggak! Cukup bantu aku dengan menerima ini. Kita pisah secara baik-baik. Jangan ada lagi yang tersisa di antara kita. Maafkan salah dan khilafku selama kita bersama.” Yongki menggeleng. Ia enggan menerimanya. “Mas Yongki. Tolong terimalah. Mulai hidup barumu bersama Aruni. Aku akan menyembuhkan luka ini sendiri.” “La, aku–“ “Bahagiakan dia biar keluarga tiriku nggak ganggu aku lagi.” Alula mengambil telapak tangan Yongki dan meletakkan cincinnya di sana. Alula menaikkan kopernya di depan sepeda motornya, lalu ia ikut naik. Wanita itu lantas menyalakan mesin. Ia berlalu setelah mengucapkan salam kepada Yongki. Yongki yang tidak tega, mengikuti dari belakang. Ia hanya ingin memastikan gadisnya aman sampai di tempat tujuan. Dalam perjalanan, konsentrasi Alula buyar ketika mengetahui sang mantan terus mengekor. Air matanya berderai. Nyatanya, berpisah secara baik-baik tanpa adanya masalah, mungkin lebih sakit daripada berpisah karena adanya pengkhianatan. Tiba di panti, Yongki ikut turun. Ia membantu Alula menurunkan barang-barang. Meskipun Alula terus mengomel, Yongki tidak peduli. “Pergilah, Mas! Sana urus istrimu!” usir Alula. Yongki malah tekekeh. “Kamu cemburu?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN