Agresif?

1343 Kata
Aku nobatkan hari ini sebagai hari tersue sepanjang hidupku. Sumpah ya, baru kali ini aku kesal dan gak bisa ngapa-ngapain. Biasanya kalau rasa kesal sudah naik ubun-ubun seperti sekarang, aku akan pergi keluar dan main sepuasnya. Nongkrong di mall, nonton, karaoke sampai berantakin kamarnya si Wira. Iya, rumah Wira adalah tujuan terakhir saat mumet melanda. Makhluk gemulai itu selalu siap menampung semua ocehanku. "Kenapa masih berdiri? Sana masuk!" Eit, dorongan dan omelan Mama memecahkan imajinasiku. Semua hal yang kusukai saat mumet ambyar semua. Ya, karena satu alasan. Aku istrinya Reza. "Ma, boleh gak aku ikut Mama dulu? Hari ini aja, boleh ya?" Aku memasang wajah memelas semenyedihkan mungkin. Pletak! "Aduh, sakit, Ma!" Sue, malah jitakan yang kuterima. Mana sakit lagi. "Harus berapa kali Mama ingatkan, kamu itu sekarang harus nurut sama suami. Bukan ngintilin ketek Mama terus." Aku manyun. Boro-boro mau masuk, lihat pintu rumahnya aja udah beraura malam kliwon. "Ma, tapi aku kangen Mama." "Sayang, kamu mau Mama sedih dan kecewa?" "Ya enggak lah, mana ada anak yang pengen orang tuanya sedih." Ya, ya, aku tahu ini arahnya kemana. Tapi tetap saja aku masih berharap permohonanku dikabul Kanjeng Ratu. "Makanya, ayo sana masuk! Surgamu ada di dalam rumah itu." Aku masih enggan. Berkali-kali aku menatap pintu rumah yang tertutup, tetap saja masih terasa horor. Membayangkan manusia tengil yang bikin aku kesal setiap saat. "Kan surga gak mesti satu jalan, Ma." "Ck, heh, kamu tuh ya, ngeyel banget sih? Ya udah Mama telpon Papa ya, anaknya nih mau bikin malu orang tua. Lagian Reza itu baik, kenapa kamu gak mau?" "Tapi Ma...." Mama maju selangkah, tanpa ku duga, malah mendorongku ke depan pintu. "Sana masuk!" Aku berbalik menatap wanita yang sangat ku sayangi itu. "Terus Mama mau kemana?" "Mama juga mau menemui surganya Mama." Lah, malah mesem-mesem. "Ha? Maksudnya?" Oke, akting pura-pura begoku kali ini sangat keren. "Suami Mama alias Papa kamu itu surganya Mama." "Kan surga masih banyak jalan, Ma. Boleh gak aku gak ambil jalan yang ini?" "Ish, kamu tuh ya, banyak banget alasannya. Udah ah, sana pergi, Reza pasti udah nungguin kamu di dalam!" Setelah Mama berhasil mendorongku masuk, beliau langsung pergi. Tuh kan, berasa dibuang lagi kalau begini. "Eh, Nyonya baru pulang?" "Aku pergi gak lama kok, cuma ... um ... dua jam. Kenapa?" tanyaku malas, saat Suti menyambutku. "Anu lho, Nya. Tadi Tuan ...." "Iya, tahu! Reza sakit kan?" "Bukan itu, anu lho, Nya.Tuan ...." "Tahu, Reza ngomel karena aku pergi lama? Ck, ah sudah ah, aku capek. Mau istirahat!" Si Suti gak berani ngomong lagi setelah nada bicaraku naik beberapa oktav. Saat aku melintas ke kamar tamu yang dipakai Reza, agak penasaran juga sih. Apa pria itu masih bermalas-malasan di dalam? Atau jangan-jangan sudah tamat dengan sakitnya yang lebay itu? Kakiku hendak melangkah ke kamar, tapi urung, ah bikin repot saja. Akhirnya aku kembali ke kamar tamu. Membukanya hati-hati. Kok sepi? Apa dia mati? Atau pingsan mungkin? Lah kok kosong? Tak ada satu orang pun di atas kasur. Kemana dia? Apa mungkin orang itu terkurung di kamar mandi? Bisa saja kan, dia pingsan dan tidak ada yang tahu? Segera aku cek, takut keburu jadi hantu gentayangan. Lah, kok gak ada juga? Aku keluar dari kamar. Gak mungkin kalau dia sembunyi di dalam lemari kan? Gila aja kalau aku sampai cek isi lemari juga. "Nyonya cari Tuan kan?" Suti langsung menyambutku di depan pintu. Kaget dong aku, tiba-tiba udah berdiri aja depan kamar. "Kok tahu? Kamu ngikutin aku ya?" tanyaku dengan tatapan curiga. "Anu, maaf, Nya. Bukan ngikutin, tapi memang dari tadi saya mau bilang kalau Tuan gak ada. Tapi Nyonya gak ngasih kesempatan ngomong sama saya." "Ha? Kok bisa? Kan dari tadi kita udah ketemu, Suti. Masa kamu gak sempet bilang? Ck, ngerjain orang aja!" "Maaf, Nya." "Kamu tahu gak? Aku sempet ngira dia terkunci di kamar mandi dan mati di sana." Suti melotot, "Waduh jangan, Nya. Kalau Tuan mati saya bagaimana nasibnya?" "Ya kalau mati jadi hantu lah," jawabku asal. "Tapi kalau hantunya seganteng Tuan sih, aku mau aja didatengin hihi." "Ck, apaan sih kamu ah. Sekarang kamu bilang, kemana Tuan kamu itu perginya?" "Anu, Nya. Tadi pergi sama seseorang." "Pergi? Katanya sakit? Kok bisa-bisanya dia pergi? Aku sampe kena jewer Mama bela-belain dia. Acara nongkrong pun gagal total gegara dia." Aku ngomong tanpa jeda. Muka si Suti sampe pucat. "Ma-maaf, Nya. Ta-tapi saya ...." "Siapa seseorang itu?" tanyaku tanpa mau melihat mukanya. Kasihan juga sih, ketakutan begitu. Ya mau gimana lagi, aku kesal dan gak bisa kutahan. Mukanya makin takut. "Itu, anu...." "Jawab, Suti!" "Ah, iya, Nya. Itu yang sudah biasa ke sini kalau Tuan sakit." "Sudah biasa? Artinya sering dong?" "Begitulah." Aku memicing curiga, "Suti, kamu kok jawabnya belibet begitu. Jujur saja, Reza dibawa perempuan ya?" Si Suti terperangah, "Walaupun benar sama perempuan, sa-saya harap Nyonya tidak marah dan salah faham." Aku tersenyum sinis, "Dasar Tua Bangka! Lagaknya saja sok manja, tahunya malah main di belakang!" "Nyonya, saya mohon, Anda ja--" "Siapa namanya?" Aku memotong ucapan si Suti yang makin gemetar. "Ranti, Nya." Suti menunduk. "Hm, Ranti ya? Baiklah, sekarang kamu boleh pergi!" Suti nampak khawatir, "Nyonya jangan berantem sama Tuan ya? Jangan bilang kalau saya sudah ember." "Ck, kamu tenang saja. Tuan kamu tersayang itu tidak akan aku kasih hukuman. Ya, mungkin peringatan kecil tidak masalah." "Aduh, jangan bilang saya yang ngasih tahu ya, Nya? Saya takut dipecat." "Iya, tenang saja. Justru kalau kamu menutupi semua kelakuan minus Tuanmu, ya siap-siap saja." Si Suti menggeleng cepat, "Saya janji akan setia pada Nyonya." "Bagus. Kalau begitu, aku pergi dulu." "Tapi Nyonya...." "Jangan ngatur! Si Reza gak ada di rumah. Ya aku juga bosan, gak adil rasanya kalau dia bisa keluyuran sedangkan aku harus di sini, enak saja. Dan satu lagi, kalau ada Mama atau Papaku ke sini, bilang aku sedang pergi dengan Reza. Ok?" "Ba-baik." Aku tersenyum geli. Si Suti benar-benar takut sepertinya. Berapa ya Reza menggaji wanita ini? Takut banget kehilangan pekerjaan. Sebelum memesan ojol, aku duduk di depan rumah. Memastikan tujuanku kali ini. Ya siapa lagi kalau rumahnya si Wira. Kalau diajak keluar lagi, rasanya anak itu tidak akan mau. Mama sih, pake jadi satpol PP segala rupa. Anak itu tidak menjawab juga. Kemana dia? Ah, lebih baik aku datang saja langsung ke rumahnya. Walau dengan ojol, aku sampai ke rumahnya si Wira dengan cepat. "Lakadalah, ngapain elu kemari, Minceu?" Kepala si Wira celingukan. "Aman, tenang saja." jawabku nyengir. "Heh, aman kepala lo! Ntar nyokap elu kemari dan jewer elu lagi gimana?" "Gak bakalan! Tenang saja." Aku langsung nyelonong masuk seperti biasa ke kamarnya si Wira. Ah iya, si Wira masih punya orang tua. Hanya saja mereka bercerai. Wira dan Rama abangnya tinggal terpisah dari orang tua mereka. Katanya sih biar adil. Berhubung emak sama bapaknya si Wira cerai di usia tua. Entah karena apa, dengar-dengar sih karena emaknya selingkuh dengan berondong di media sosial. Bodo amat lah. "Satu lagi, jangan goda Abang gue," Muka si Wira agak cemas. "Haha, tenang saja, gue pastikan Abang elu klepek-klepek tanpa gue goda sekali pun." "Bangke lo." "Wir, gue lapar. Masa tamu gak dikasih makan?" "Tamu songong lo! Bentar!" Wira bangkit. Ia berjalan dengan langkah gemulai dan mengambil sesuatu dari dapur sana. Aku sendiri langsung rebahan di sofa kamarnya si Wira. Wira datang dengan cemilan di tangannya. "Nah, gitu dong. Sini!" Aku langsung mengambil makanan dari tangannya si Wira. "Eh, Sil. Elu jangan marah ya?" "Lo punya dosa apaan, Parjo?" tanyaku santai. "Lo lihat deh!" Wira menyodorkan ponselnya. Nampak seseorang yang ku kenal sedang makan bersama di sebuah kedai. Entah si Wira dapat nemu di mana foto ini. Tapi yang jelas, kejadiannya pasti hari ini. Baju si Reza belum ganti dari yang tadi pagi. "Anjir si Koplok! Sama gue aja sok manja dan sakit parah, tahunya malah main di belakang?!" Kesal pasti. Jadi itu yang dinamakan si Ranti? Gilanya lagi, tangan laknat wanita itu cukup agresif memegang tangan si Reza yang sedang menatap kosong ke depan. "Makanya, Sil. Gue juga heran. Elu bilang kan Reza belum menyentuh elu ya? Apa mungkin elu harus agresif kayak wanita ini juga?" "Ha? Gue? Harus agresif?" Si Wira mengangguk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN