"Haha! Emoh! Agresif apaan dah!"
Aku tertawa lebar. Gila aja, si Wira nyuruh aku untuk agresif sama si Reza? Somplak!
"Elo gak masalah bebb kalau laki lo main cincong begini di belakang lo?" Wira nyamperin dan duduk di atas kasur.
Aku mengangkat bahu, "Bodo amat, setan! Gue gak peduli. Lagian yang bikin gue kesel tuh bukan main ceweknya. Cuma kenapa kalau sama gue ampun manjanya gak ketulungan. Segala sarapan kudu gue yang masak."
"Sebenarnya motif kalian mau kawin tuh apaan sih? Bisa-bisanya kalian sesantai itu. Si Reza jalan bareng sama cewek. Eh elu malah jadi hantu gentayangan yang recokin rumah gue."
"Sialan, haha. Gue gak ada tujuan lain. Rumah elu yang paling aman buat tiduran." Aku nyengir lalu merebahkan badan. Ugh, dari tadi aku ingin begini tapi selalu saja banyak gangguan.
"Iya elu aman, lah gue yang ketar ketir takut digerebek Pak RT."
"Haha, drama lo, njir, gak mutu!"
"Pertanyaan gue belum dijawab, Sil."
"Yang mana?" Aku mengelus cat kuku yang indah. Baru seminggu kemarin kok berasa sudah rusak ya?
"Motif elu kawin."
Tok tok tok!
"Ada yang masuk noh!" ucapku sambil melirik pintu kamar.
"Palingan Bang Rama. Udah, biarin aja."
Tok tok tok
"Wira, kamu bawa siapa?" terdengar suara seseorang di luar sana.
Si Wira berdiri ogah-ogahan, "Apa gue bilang, palingan Bang Rama."
Aku mengangkat bahu. "Sono buka sebelum didobrak pintunya."
Wira nurut. Ia membuka pintu. Aku beringsut bangun dan duduk pura-pura sibuk dengan ponsel.
"Apa, Bang?"
"Siapa itu, eh kok Sesil?" Rama memanggilku. Ia nampak kaget melihat aku yang sedang duduk bersila di atas kasur adiknya.
Aku mengangguk sambil tersenyum, "Iya, Bang. Maaf ngerepotin Wira. Tadi saya sedikit minta bantuan masalah ponsel."
"Oh, begitu rupanya. Kebetulan saya mau masak untuk makan siang. Jadi hanya memastikan jikalau ada tamu dan ternyata kamu."
Rama tersenyum manis. Ugh, pasti ditambahin gula tuh di senyumnya lumer amat. Rama memiliki mata kecil bak orang Tionghoa dengan lesung pipi yang manis. Sekali senyum matanya seakan mengecil dan hilang.
"Aduh, gak apa, Bang. Jangan ngerepotin. Saya sudah makan kok."
"Sudah apanya, belum, Bang. Pura-pura dia mah, aduh!" Wira nimbrung tapi segera ku cubit pinggangnya. Sialan, bikin malu saja nih orang.
"Ya sudah, saya ke dapur dulu."
"Waduh, perlu bantuan gak, Bang?" Aku menawarkan diri. Si Wira langsung melotot. Haha, takut abangnya tersesil-sesil itu.
"Ah, gak usah! Dia bukan mau bantuin, Bang. Yang ada nanti dapur Bang Rama bisa hancur sama dia," Wira berusaha menghalang-halangi.
"Wah benarkah? Haha. Kalau begitu, ayo kita hancurkan saja dan ciptakan makan siang bersama."
Aku tersenyum geli lalu bangkit, "Ayo, Wir! Kita bantuin."
Wira melotot dan menggeleng. "Elu di sini aja."
Aku berbisik di telinga Wira, "Gue gak bakal gigit, Wir."
Mata Wira memperingatkan aku.
Rama itu pengusaha kuliner. Punya restoran yang ia rintis sejak aku duduk di bangku putih abu. Aku sangat tahu perjalanannya. Ia sering membuat menu masakan yang ia ciptakan sendiri. Aku dan si Wira yang jadi kelinci percobaannya. Tapi tenang saja, masakan Rama sangat lezat, berani diuji deh.
"Sil, potongin sosisnya ya?" Suara Rama membuyarkan lamunanku.
"Ah, ya, tentu saja. Bagaimana caranya?" tanyaku. Ya jujur saja aku sama sekali tidak bisa masak.
"Sini sama aku aja, Bang. Apa ku bilang kan? Sesil tuh bisanya bikin berantakan." Wira hendak mengambil alih.
"Eh, bentar. Ini beneran kok, gue pengen belajar, Wir."
"Yakin?" tanya Rama dengan senyuman geli.
"Awas aja kalau gak enak." Wira menatap ngeri pada tanganku yang sudah siap memegang pisau.
"Tenang saja, kan ada Bang Rama yang bantuin, ya kan, Bang?" Aku mengerling.
Rama mengangguk dan tersenyum lebar, "Boleh. Kalau begitu, kamu belajar yang mudah saja dulu. Kita bikin omelet ya?"
"Wow, oke. Setuju." Ini beneran aku sangat antusias. Capek rasanya diejekin melulu sama si Duda Kaku itu. Lihat saja, aku akan buktikan kalau aku juga bisa masak.
Dan ternyata belajar memasak tak semudah yang kubayangkan. Beberapa kali aku berusaha belajar memecah telur dengan benar. Dan hasilnya, yah, telur pecah dengan cangkang kecilnya malah ikut masuk ke mangkuk. Percobaan berikutnya malah telur pecah berantakan tanpa masuk ke mangkuk sama sekali.
Hingga aku menghabiskan delapan telur. Tiga telur yang sukses terselamatkan. Jangan tanya kabar si Wira. Mukanya yang merah padam kini sudah pasrah di pojokan. Menatap lesu padaku dan Rama yang belum menyerah.
"Ini kapan makannya? Noh, telur sudah terbuang banyak. Tapi belum ada satu sendok makanan pun yang masuk dalam perut." Wira ngedumel.
"Sabar, Bosku! Bentar lagi jadi nih. Eh abis ini digimanain, Bang?" Adonan telur yang sudah dicampur dengan irisan sosis, wortel dan tomat itu aku tatap dengan penuh kagum. Gila, gak percaya rasanya aku bisa membuat adonan sekeren ini.
"Nyalakan kompornya dan pasang teflon yang itu." Rama menunjuk teflon yang berada di rak peralatan dapur. Aku segera mengambilnya.
"Oke. Nyalain kompor ya? Ok, sudah. Terus?"
"Ck, masukin minyak dong, Sil. Masa gitu aja gak tahu?" Wira gak bisa menahan kesal rupanya, haha.
"Ya kali aja pakai air gitu lho. Takut salah, jadi mending tanya dulu. Ya kan, Bang?" Aku menatap Rama. Yang ditatap tersenyum manis. Kayaknya salah tingkah dia, haha.
"Hm, ini minyaknya."
"Siap, aku masukin sekarang."
"Tunggu sebentar hingga minyak panas. Setelah itu, masukin adonan omeletnya."
"Siap, Bos!" Aku melirik Wira yang kesal sejak tadi, lapar kali dia, haha. "Sabar ya Bos, bentar lagi cacing lo bakalan kenyang."
"Udah ah, buruan!" Wira mendelik.
Aku menatap ragu pada minyak yang mulai mengeluarkan asap. "Bang, ini gak akan meletup kan?"
"Kamu takut?" tanya Rama.
Aku meringis, "Sedikit sih."
"Ya udah, gak apa. Sini, biar saya saja yang masukin."
"Wah makasih lho, Bang."
Rama tersenyum dan mengangguk, "Hm, sama-sama. Kamu duduk dulu sama Wira ya? Pasti capek."
Rama membukakan celemek yang terpasang di pinggangku. Lalu pria itu merangkul bahuku dan menyuruhku duduk dengan adiknya.
Wira melotot, "Sil, elu gak apa kalau lama di sini? Nanti suami elu datang lagi kemari."
Seakan baru ingat bahwa aku sudah menikah, Rama nampak canggung. "Eh, maaf. Wira benar. Apa suami kamu sudah tahu kalau kamu datang ke sini?"
"Tenang saja, dia juga sedang sibuk. Jadi tidak ada yang perlu dirisaukan," jawabku santai.
"Eh, ada yang datang, Sil. Siapa ya?" Wira bangkit dan membuka sedikit gorden dapur. Dari sini memang bisa melihat ke depan rumah.
"Gawat, Sil!" Wira panik.
"Apaan sih? Mama datang?"
"Bukan!"
"Terus siapa?"
"Laki lo, anjir!"
Si Reza? Benarkah?