Sepakat?

1008 Kata
Yang dikatakan Wira benar. Ternyata Reza yang datang. Aku dan Wira hanya saling menatap. Kami menunggu suara bel pintu berbunyi. "Ada yang datang, buka pintunya, Wir." Suara Rama memecah keheningan. "Ba-baik, Bang." Wira melotot. Seakan berbicara padaku, 'mampus lo'. Aku sendiri berusaha untuk tetap tenang. Toh, Reza juga tidak diam di rumah kan? Pergi sama perempuan. Berarti aku juga boleh dong pergi sesuka hatiku. "Mari, Pak. Masuklah!" Wira mempersilakan Reza masuk. Pria itu masih bermuka datar seperti tembok. Rama yang baru selesai menata hidangan di atas meja, mengangkat wajahnya. "Kalau boleh tahu, Anda siapa?" tanya Rama. Ya tentu saja Rama tidak akan tahu. Dia tidak datang waktu aku menikah. Padahal aku sudah mengundangnya, tapi katanya Rama saat itu sedang di luar kota. "Tanyakan pada wanita yang sedang duduk di samping Anda." Jawaban Reza selalu saja membuat orang kesal. Pandangan Rama mengarah padaku. Aku tersenyum meringis, "Ah, iya. Kenalkan, ini Reza suami saya, Bang." Sekilas aku bisa melihat raut terkejut dari wajah Rama. Tapi tak lama pria itu kembali tersenyum ramah, "Ah, senang bertemu dengan Anda, Pak Reza." "Daripada ngobrol panjang lebar, mending kita makan siang bareng yuk, mari, Pak Reza!" Wira juga nampaknya merasa canggung. "Tidak perlu. Saya sudah makan. Sesil, ayo pulang!" Reza menatap tajam ke arahku. "Tapi aku belum makan, masa ditinggal?" Jujur sih, aku memang lapar. "Pulang." Hih, kesel aku! Mulut kakunya nyebelin banget sih? Datang-datang langsung ngajak pulang. "Sesil, ayo pulang, kasihan suami kamu. Yakin deh, kamu pasti bakal diajak ke restoran mahal buat makan siang, ya kan, Pak?" Wira tersenyum geli. "Tapi aku mau makan masakan ini," bibirku mengerucut. Rama bangkit dan tersenyum, "Sesil, kamu harus nurut sama suami kamu. Sebentar ya, saya siapkan makan siang buat kamu." "Duh maaf jadi ngerepotin deh." Aku memasang senyum termanis sepanjang hayat. Ekor mataku melirik ke arah si Tuan Duda, berharap dia melotot atau memasang muka kesal karena cemburu gitu. Dan kabar buruknya adalah wajahnya masih seperti jalan tol yang lurus gak belok-belok. Asem! "Gak apa, lagi pula ini masakan kamu kan?" Rama membalas senyumku. Lesung pipinya manis sekali. "Heh!" Tepukan cukup keras mendarat di lenganku. Si Wira rupanya. Matanya menatap tajam padaku, seakan berkata 'jangan goda Abang gue!'. Aku membalasnya dengan leletan lidah. Bodo amat, haha. "Makasih ya, saya jadi bisa masak. Kalau lain kali saya datang lagi boleh kan? Buat belajar masak tentunya." "Sesil!" Wira gregetan tuh, haha. "Oh tentu saja boleh, saya senang mengajari kamu masak. Kamu cepat belajarnya pasti bisa." "Sudah selesai basa-basinya?" Suara Reza menginterupsi. Aku menoleh dengan muka kesal. Rama juga nampak tidak suka. "Bang saya pulang dulu ya?" Aku tersenyum ke arah Rama, pria itu mengangguk. Tatapanku beralih ke Wira yang sudah memasang wajah ditekuk, "Wir, gue cabut ya? Jangan kapok ntar gue datang lagi." Wira tidak menjawab, hanya memijat pelipisnya. Sepanjang perjalanan kami tidak saling bicara. Sepi kayak di kuburan. Kira-kira apa ya isi kepala Reza sekarang? Apa pria itu sedang marah? Harusnya aku yang marah padanya kan? Toh dia yang lebih dulu jalan dengan wanita lain. Ini malah kenapa jadi seolah aku yang bikin salah? Mobil berhenti di depan rumah. Reza langsung keluar tanpa menyapaku sama sekali. "Heh, Tuan Duda! Tunggu!" Terseret-seret aku mengejar langkah Reza yang panjang itu. "Aku capek, mau tidur." Aku menggeram kesal, nafasku memburu menahan marah. "Reza Jatnika! Apa tujuan Anda memaksaku pulang, hah?!" Reza menghentikan langkahnya. Ia berbalik. Wajahnya masih datar. "Tujuan? Tentu saja pulang." Kesal, aku segera setengah berlari menghampirinya, memegang lengan kekarnya dan memaksa pria itu untuk duduk di sofa. "Dengar, aku tidak mau lagi menjalani ini semua. Kamu dengan seenaknya pergi bersama wanita lain, sedangkan aku baru main ke rumah teman saja sudah kamu jemput paksa?! Apa maksudnya, hah?" "Oh, jadi karena Ranti." "Ck, bukan itu poinnya! Aku gak terima kamu berbuat sesukamu!" "Baik, apa maumu?" "Aku mau bebas!" "Boleh." Aku tertegun. Apa katanya? Boleh? Ini di luar perkiraan BMKG sih. "Jadi maksud kamu, kita bisa bercerai lagi?" "Tidak akan pernah ada perceraian." Lagi-lagi aku dibuat melongo. Bebas tapi gak bercerai? "Maksud kamu?" "Kamu boleh main ke rumah teman kamu." "Aku mau kita cerai." "Tidak." "Tapi kenapa?! Kamu maunya apa sih?" Hih, gemes aku! "Sudah, aku mau tidur." Reza hendak berdiri tapi sengaja kutahan lagi bahunya hingga ia terduduk kembali di sofa. "Tidak bisa! Enak saja mau tidur. Urusan kita belum selesai!" "Sekarang apa?" tanyanya dengan wajah malas. "Ada hubungan apa kamu sama Ranti?" "Dia temanku." "Oh bagus. Jadi kamu punya teman wanita? Aku juga punya banyak teman pria." "Hm, bagus." Lah, apanya yang bagus? Gak nyambung banget ini orang! "Kalau begitu, mari buat kesepakatan!" "Silakan." "Sebentar, aku ambil laptop dulu." "Tidak perlu!" "Harus ditulis! Biar kamu tidak lupa." Ku lihat Reza menghela nafas. Bodo amat, lebih bagus kalau si Reza membenciku dengan begitu ia tak akan tahan hidup denganku dan kami bisa cerai. Aku menulis beberapa poin kesepakatan. Ku buat aturan yang lebih banyak menguntungkan aku. "Sudah selesai?" tanya Reza dengan mata tertutup. Ia bersandar ke sofa. Apa pria itu memang lelah dan mengantuk? Aku jadi curiga. Apa yang ia lakukan bersama si Ranti-ranti itu ya? Otakku bertamasya jauh, konon katanya pria setelah selesai bercocok tanam di rahim wanita suka ngantuk. Apa mungkin mereka .... Aku bergidik ngeri. "Bacakan!" ucapan Reza membuatku kembali ke alam nyata. "Ekhm, baiklah. Poin satu, suami wajib memberi nafkah kepada istri berupa uang jajan, uang belanja, uang perawatan kecantikan dan uang semua kebutuhan istri secara tepat waktu di awal bulan." Dalam hati aku tertawa puas. Rasain tuh! Akan kuperas hartamu, Tuan Duda! "Hm, lanjutkan!" Kok dia gak protes ya? "Anda setuju?" tanyaku ragu. Pria itu mengangguk. "Poin berikutnya." "Poin kedua, suami dilarang menyuruh istri dalam bentuk apapun baik itu masak ataupun membersihkan rumah.' "Hm, terus!" Aku menatapnya heran, "Anda setuju lagi?" "Lanjutkan." "Poin ketiga, dilarang ikut campur dalam urusan pribadi masing-masing. Bebas mau main ke rumah teman kapan pun." "Hm, lanjut!" "Jika akan melakukan poin ketiga, maka harus memberi tahu terlebih dahulu." "Lanjut!" "Poin ke empat, tidak boleh ada sentuhan fisik." Mata Reza langsung terbuka. Ia menatapku agak lama lalu ku lihat ia menghela nafas panjang. "Poin itu aku tidak setuju." Apa maksudnya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN