Kenapa Dia?

1122 Kata
Seperti tahanan yang baru keluar dari penjara. Itu yang aku rasakan sekarang. Bebas! Betapa tidak, si Tuan Duda terkunci di luar rumah, haha. Siapa suruh meremehkan Sesilia? Ugh, setelah ini tinggal tidur dan mimpi yang indah. Lebih baik aku masuk kamar sekarang. Lagi pula, suara Reza sudah tak terdengar lagi. Apa pria itu menyerah dan memilih diam lalu tidur di luar? Atau mungkin pergi ke rumah temannya? Ah, tapi itu juga tidak mungkin. Bukankah dia gak bawa apapun di luar sana? Mana mungkin bisa pergi, dia kan hanya bawa ponsel? Atau jangan-jangan manusia tengil yang satu itu sudah mati kedinginan? Tadi kan masih terdengar teriakannya, sekarang malah sunyi? Kalau beneran beku dan mati gimana? Konsekwensinya mungkin aku yang akan pertama diperiksa dan tertuduh sebagai tersangka. Hih, mengerikan! Tapi, ini Indonesia, bukan kutub utara! Ck, yang benar saja, kedinginan sebentar tidak akan membuat beku kan? Ah, bodo amat! Aku tidur saja! Mungkin karena lelah, aku terlelap lebih cepat. Entah berapa lama aku tertidur pulas, hingga kurasakan kasur sedikit bergoyang. Apa ada gempa bumi? Hampir saja aku berteriak saat menyadari seseorang yang meringkuk di sampingku. Lah, kapan manusia ini masuk kamar? Dan lagi, bukannya aku mengunci pintu ya? Kok dia bisa masuk? Jangan-jangan hantu lagi! Pelan, aku sentuh hidung mancungnya, eh ini nyata. "Apa? Aku bukan hantu!" Weh, dia masih bangun ternyata. "Bagaimana caranya Anda bisa masuk?" tanyaku heran. Aku bangkit dan memeriksa pintu. Masih dikunci seperti sebelumnya. "Tuan Duda, tubuhmu tidak bisa tembus dinding kan?" tanyaku lagi. Aku yakin, meski matanya merem, ia pasti belum tidur. "Sudah aku bilang, aku bukan hantu!" Nada bicaranya mulai kesal tuh. "Lah, terus gimana bisa masuk ke kamar? Kan aku sudah mengunci pintu?" "Tuh! Dasar ceroboh! Untung saja bukan maling yang masuk." Telunjuknya mengarah ke jendela. "Ha? Anda masuk lewat jendela?" tanyaku lalu memeriksa jendela yang ia maksud. Weh, mana aku tahu jendela belum dikunci kan? Ini malam pertama kali aku tidur di kamar ini kok. Dan lagi, aku belum memeriksa jendela. "Cerewet kamu." Sret! Dih, main tarik aja dia. Aku dipeluknya seperti guling. Jelas aku berontak. "Lepas ih, aku gak bisa nafas." "Diamlah, ini sudah malam." Aku masih berusaha untuk lepas. Tetiba matanya terbuka. Kami saling menatap. "Kenapa melihatku seperti itu?" tanyaku. Ditatap dari jarak dekat begini, agak aneh juga rasanya. Kalau diperhatikan dari dekat begini, wajah si Tuan Duda makin terlihat tampannya. Sayang, andai saja dia lebih menyenangkan saat bicara, pasti tidak akan sulit untuk jatuh cinta padanya. "Kamu ... suka padaku?" tanyanya setelah beberapa saat hanya diam saja. "Suka? Ya tergantung sih. Kalau kamu bisa lebih ramah dan ini nih, bibir kamu gak nyebelin, pasti mudah suka sama kamu." Aku menunjuk bibirnya. Si Tuan Duda sedikit terkejut. Ia diam lagi. Lalu wajahnya kian mengikis jarak. Apa dia akan menciumku? Mengingat ini malam pertama kami. Yakin, pria ini pasti sedang mencoba menyentuhku. Apa aku tolak saja ya? Jujur, sampai detik ini, aku belum merasakan cinta sama dia. Atau pasrah gitu ya? Mama bilang duda lebih menggairahkan, haha. Siapa tahu kan dia penciuman yang handal? Akhirnya aku menutup mata saat kurasakan wangi nafasnya makin menggoda menggelitik hidung. Satu detik .... Dua detik .... Tiga detik .... Eh, kok tidak terjadi apapun? Aku membuka mata. Alangkah kagetnya saat tiba-tiba si Tuan Duda nampak panik dan ketakutan. Ia menjauh dari wajahku. Apa aku makhluk yang mengerikan? Dasar Buta Ijo sialan! Mungkin sebaiknya aku tidur saja. Percuma berharap manusia itu bersikap manis. Alih-alih romantis dan manis, ini malah seperti jijik padaku. Walau dengan hati dongkol dan kesal, akhirnya aku terlelap. Entah si Duda menyebalkan semalam tidur dimana. Aku tidak mau tahu lagi tentang manusia jelek yang satu itu. Bodo amat! Aku terbangun saat terdengar suara Suti membuka pintu gerbang rumah. Mungkin wanita itu baru pulang dari pasar. Mataku melirik jam dinding. Baru jam lima ternyata. Aku menggeliat pelan dan keluar dari kamar. "Eh, Nyonya sudah bangun?" sapanya. Tangan Suti penuh dengan jinjingan barang. Sepertinya berbagai macam sayur. "Kamu habis belanja ya?" tanyaku. "Iya, Nyonya. Tuan Reza yang suruh kemarin. Katanya biar ada bahan masakan pagi ini." "Kamu mau masak apa?" "Tuan Reza bilang, biar Nyonya yang siapkan." "Ha? Aku?" "Iya. Maaf lho, Nya. Sepertinya masakan istri tercinta lebih spesial." Suti mesem-mesem. "Waduh, aku gak bisa masak, Suti." "Ah, Nyonya suka merendah. Tuan bilang, Nyonya pandai masak. Ajarin saya juga ya? Saya kepengen bisa masak makanan restoran luar negeri." Hah, gila sih ini? Siapa yang bikin berita hoax segila ini? Parah! Aku boro-boro bisa masak, rebus mie instan aja kadang rasanya aneh. "Suti, aku jujur kok, aku gak bisa masak." "Tapi Tuan bilang kalau beliau mau sarapan pagi hasil masakan Nyonya." Busyet dah, Duda Bangkotan gila! Gimana aku masak? Huhu, Mama aku gak bisa masak! "Eh, tapi ngomong-ngomong, kamu sudah lihat Reza?" tanyaku. "Belum, Nyonya. Bukankah Tuan belum keluar kamar bersama Anda?" si Suti tersenyum geli. Ah, iya. Dia kan baru pulang dari pasar. "Ah, kamu benar juga. Oh ya, sebentar ya, aku ke kamar dulu." "Baik, Nyonya." Kemana manusia itu ya? Jangan-jangan dia tidur di kamar tamu? Aku segera memeriksanya. Kamarnya tidak dikunci. Benar juga. Reza tidur di kamar tamu. Pria itu masih tidur rupanya. Dasar aneh, menghindariku hingga tidur beda kamar. Aku menyentuh bagian lengannya dengan telunjuk. "Hei, bangunlah!" "Hm." Ia hanya menyahut dengan gumaman kecil. "Reza, bangun! Aku gak mau masak sarapan!" ucapku tanpa basa-basi lagi. Reza perlahan membuka kelopak matanya. "Itu kewajiban kamu." "Ck, kan ada Suti. Ngapain ada pembantu rumah tangga kalau harus aku yang ngerjain semuanya?" Reza masih terbaring. Malas sekali sih? "Lalu untuk apa aku menikah dan punya seorang istri?" Reza membalikkan pertanyaanku. "Tapi aku gak bisa masak, Tuan Duda! Dan aku serius. Emangnya kamu mau makan masakan aku?" "Tidak masalah. Kamu gak bisa masak, kan bisa belajar. Pokoknya kamu harus masak dan buatkan aku sarapan." Aku mendelik kesal padanya, "Ya udah, kamu tunggu di sini, aku siapkan! Ingat, kamu harus mau makan apapun yang aku sajikan!" "Ya. Tentu saja." Dasar manusia batu! Walau kesal, akhirnya aku keluar kamar dan bersiap untuk mandi terlebih dahulu. Sengaja aku buat lama mandinya, biar si Reza kesal, haha. Selesai mandi, aku ke dapur. Si Suti benar-benar tidak masak apapun. Ia hanya menyediakan nasi saja. Baiklah, karena aku hanya bisa masak mie rebus, aku buatkan mie rebus saja. "Kenapa kamu malah masak mie?" protes Reza saat melihat kedatanganku ke kamarnya lagi. Gila sih ini, benar-benar kebo gak ketulungan! Dari tadi, si Tuan Duda masih terbaring di atas kasur. "Sudah kubilang, aku gak bisa masak. Ya udah, makan hasil masakan aku!" "Tapi mie instan bagi kesehatan kurang baik, Sil." suaranya terdengar parau.wy "Ck, ah cerewet kamu. Udah, sekarang kamu mau makan atau gak?" tanyaku menahan kesal. Dia diam. Lalu nampak hendak bangun. Kenapa dia malah meringis? Aku memberanikan diri menyentuh keningnya. Weh, panas sekali! "Anda kenapa, Tuan Duda?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN