Siapa Yang Manja?

1080 Kata
"Anda demam hanya karena gak bisa masuk rumah sebentar?" tanyaku tanpa bisa menyembunyikan rasa kesal. "Pergilah!" Dih, ngusir! Jelas, kalau diusir ya aku mending pergi. Ngapain ngurusin orang yang gak butuh sama kita ya kan? "Kalau Anda ingin aku pergi ya udah, aku pergi dulu. Lagian aku lapar. Makan lebih baik daripada berdebat gak jelas." Aku ngeloyor pergi. Ck, duda bangkotan sialan! Udah capek-capek masak mie rebus malah diusir begini. Harusnya aku gak usah bela-belain masak buat dia. Baru aku menutup pintu kamar, tetiba terdengar suara cukup keras. Prang! Sepertinya barang jatuh dan pecah. Pasti ulah si Duda. Biarin lah, palingan cari perhatian saja. Kakiku kembali meneruskan langkah menuju dapur. Kalau gak ada yang makan, mungkin sebaiknya aku kasih ke si Suti saja. Eh tapi tunggu, kalau si Duda mati di dalam sana gimana ya? Bisa saja kan bunyi keras itu barang yang menimpa kepalanya lalu dia mati? Waduh, aku gak mau jadi tersangka utama. Akhirnya aku balik badan dan kembali masuk ke kamar. Ternyata benar. Ulah si Duda. "Anda kenapa?" Dia tidak menjawab. Hanya diam dan melipat kedua tangannya di d**a. Pria itu sudah dalam posisi duduk dengan kakinya selonjoran yang ditutupi selimut. "Ck, ini kenapa gelasnya bisa sampai pecah? Dilempar?" tanyaku lagi. "Aku sakit, kamu masih belum mengerti juga?" "Iya tahu. Cuma apa alasannya Anda melempar gelas sampai pecah begini? Kekanakan sekali!" "Aku tidak melemparnya." "Lah terus? Gelasnya lagi sirkus gitu ya loncat sendiri?" "Tadi aku mau minum, tapi malah jatuh. Tanganku lemas." "Ck, makanya kalau masih butuh bantuan, jangan sok ngusir orang!" "Kamu nyuruh aku makan mie rebus pagi hari. Aku gak mau." "Terus mau makan apa? Aku gak bisa masak." Mulai greget aku. "Bubur kek, nasi kek, kan bisa." "Bentar, aku beli online aja." "Eh, harus kamu yang buatkan!" Oke, sabar, Sil. Aku berkacak pinggang dan tersenyum sinis, "Dengar ya raja kodok, aku sudah bersabar. Gak bisa masak pun, aku paksakan bikin mie rebus. Dan sekarang malah gak dimakan. Oke gak apa, tapi kalau Anda masih ingin makan dengan baik, nurut atau aku tinggal lagi?" Ku lihat matanya mengerjap. Lalu memalingkan wajah. "Ya sudah terserah kamu." Aku hanya mendelik. Malas ngomong lagi. Segera aku pesan bubur dua porsi. "Ada obat gak?" tanyaku sambil melihat ke sekeliling kamar barangkali ada kotak P3K. "Aku gak suka minum obat." "Kalau mau mati perlahan ya silakan jangan minum obat." "Sesil, bahasa kamu itu ya, keterlaluan." "Lah, emang bener kan? Sakit ya minum obat biar sembuh. Kalau gak mau sembuh dan mau sakit selamanya sambil nunggu malaikat pencabut nyawa ya terserah." "Maksudku, aku gak mau minum obat kimia." "Terus mau minum obat herbal gitu?" "Kamu pijat punggungku." Aku membelalak tak percaya dengan apa yang keluar dari mulutnya. "Ha? Aku? Mijat kamu?" "Iya, apalagi. Kamu itu istriku. Harusnya kamu ngurus aku apalagi lagi sakit begini. Ayo, pijat!" "Aduh, aduh, Tuan Duda yang terhormat, aku dinikahi bukan untuk jadi tukang pijat!" "Katanya kamu mau ngobatin aku?" "Aku bukan tukang pijat, gak mau!" "Terus?" "Sudah kubilang, minum obat, bandel ih!" Diam-diam aku menghubungi si Suti. Menyuruhnya untuk membeli beberapa obat untuk persediaan. "Tidak mau minum obat." Si Reza masih ngotot. "Mau mati, ya?" tanyaku sarkas. "Itu lagi. Gak minum obat kimia saat sakit, bukan berarti aku mau mati juga." Tok-tok-tok! Seseorang mengetuk pintu. Pasti Suti. Segera aku bangkit dan membuka pintu. Dan benar ternyata, Suti yang datang. Ia membawa dua porsi bubur dan selembar obat pereda nyeri atau demam yang aku pesan. "Nyonya, ini pesanan Anda." "Hm, bagus. Makasih ya? Akhirnya kamu datang juga. Kepala saya rasanya mau pecah." Suti melongo, "Nyonya sakit? Pantas beli bubur dua porsi. Biar kenyang dan cepet sehat ya? Emak saya juga suka gitu, kalau saya sakit, disuruh makan banyak biar penyakitnya kalah." Lah malah curhat si Suti. "Bukan aku yang sakit, Suti." "Oh bukan toh? Terus siapa?" "Reza. Sudah ah, aku harus ngasih makan dulu." "Nyonya, anu, kan pagi ini Anda yang membuat sarapan. Apa masih ada sisa buat saya?" "Ah, kamu benar. Ada kok, masih utuh malah. Aku masak tadi. Kamu belum sarapan kan?" Suti menggeleng, "Belum, Nyonya." "Bentar." Aku masuk ke kamar lagi lalu mengambil semangkuk mie rebus yang mulai bengkak dan air kuahnya juga mulai surut. "Ini apa, Nyonya?" Suti melongo. Aku tersenyum manis, "Nah. Ini dia masakan spesial yang aku buat. Nih, kamu makan ya? Kalau masih belum kenyang, kamu boleh tambahin nasi gih!" Si Suti tersenyum garing. "Nyonya, bolehkah saya masak sendiri?" "Terserah kamu lah!" Mata si Suti sumringah, "Makasih, Nya!" Wanita itu lalu pergi buru-buru ke dapur. Rupanya ia benar-benar tidak masak apapun bahkan untuk dirinya sendiri. Reza kucluk! Nyiksa orang yang tanggung-tanggung. "Ini, makanlah!" Aku menyodorkan bubur yang masih panas. "Suapin!" ucapnya tanpa rasa malu. "Aku juga lapar, Tuan Duda! Jadi ya makan aja sendiri oke?" "Kamu gimana sih? Sudah aku bilang, tadi aja pegang gelas, tanganku gemetar dan pecah gelasnya." Ya ampun, bayi besar kurang ajar! Aku hendak memarahinya lagi. Tapi dengan polosnya pria itu menunjuk ke mulutnya yang menganga minta dijejelin bubur. "Ck, sini! Makan aja gak bisa, bikin repot!" Aku langsung memasukkan satu sendok bubur penuh ke mulutnya. "Aduh, pelan-pelan dong! Panas!" "Biar cepet selesai!" "Jangan banyak-banyak, biar gak terlalu panas." "Bawel!" Akhirnya habis satu porsi bubur. Segera aku ambil obat dan membukanya. "Ini makan obatnya." "Gak mau, Sil." "Jangan cengeng! Makan atau aku pergi sekarang?" Walau dengan bibir cemberut kayak anak TK, akhirnya bayi besar ini mau juga minum obat. "Sudah, puas kamu?" tanyanya. "Kalau sudah dibantuin itu bilangnya terimakasih, bukan puas kamu." Ia tidak menjawab lagi. Malah mengambil posisi bersiap tidur kembali, "Kalau ada yang datang, bilang aku lagi istirahat." "Iya." Aku berbalik dan hendak keluar kamar. "Kamu mau kemana?" "Ck, aku mau keluar. Kan sudah disuapi, sekarang Anda istirahat saja." "Jangan lama, cepat kembali." "Iya!" jawabku menahan kesal. Gila sih ini, baru jadi istri sehari aja kok udah rempong begini ya? Mama, kok nikah seribet ini sih? Untuk mengusir mumet, selesai makan bubur, aku menghubungi ketiga teman somplakku. Otakku butuh pencerahan. Kami nongkrong di salah satu mall besar kota ini. "Cie yang sudah jadi bini orang, seru gak?" Sambut Wira. "Seru apanya, njir? Yang ada lama-lama gue bisa darah tinggi." "Lah, ini lho, Sil?" Mata Andin berbinar. Ia menangkup kedua telapak tangan lalu membuatnya kembung kempis. "Sialan! Gue belum ke arah sana." Kedua manusia itu tercengang. "Ha? Serius, Sil?" Aku mengangguk lesu. "Malah pagi ini dia demam dan gue disuruh nyuapin dia, kan bangke!" "Wow, gila sih ini. Seorang Sesilia menyuapi anak orang? Sebenernya yang manja tuh siapa sih? Elo apa laki lo?" Terbangke emang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN