BAB 16

1155 Kata
Pagi ini Sultan bangun lebih dulu. Ia menatap istrinya yang tengah tertidur pulas. Sultan langsung masuk ke dalam kamar mandi dan mengguyur tubuhnya. Ia memakai shampo dan mengusapkannya di kepala. Ia pijit kepalanya yang semakin lama semakin pusing.   Sultan butuh pelepasan, tapi ia tak tahu caranya. Juniornya semakin berdenyut setiap harinya. Ini sudah hari ke tiga Natalia menstruasi. Rasanya Sultan bisa panas dingin kalau kelamaan di anggurin. Eh... Kan emang belum pernah sampai tuntas sih?   Justru itu yang membuat Sultan semakin penasaran dan akhirnya pusing sendirian. Ia menambah kekuatan di jarinya dan memijit kepalanya. Rasanya enak. Hampir lima menit Sultan memijit kepalanya. Ia lantas membilasnya dan membersihkan tubuhnya dari sabun.   Selesai mandi. Sultan langsung mengambil wudhu seorang diri. Karena ia tak akan membangunkan Natalia. Ia akan sholat sendiri subuh ini.   Sultan menghela nafas saat melihat tubuh Natalia yang tertutup selimut. Ia meraih sajadah dan sarung. Lalu mulai khusuk menyembah sang pencipta.     Sultan membuka laptopnya dan mulai fokus mengerjakan desain pesanan pelanggan. Sesekali ia meminum kopi yang ia buat di pantry tadi sebelum masuk ruangan. Ia harus menyelesaikan semua desain sebelum waktu tenggat nya.   Sultan terus merangkai gambar yang akan ia buat dan edit. Hingga terdengar seseorang mengetuk pintu ruangannya. Sultan berseru dan masuklah seseorang yang Sultan tak tahu. Karena ia masih saja sibuk mendesain.   "Permisi, Pak." Sultan tersentak dan langsung melihat ke arah tamunya. Seperkian detik Sultan terpana dengan seorang wanita yang berdiri di belakang sekretaris pak Komar. "Ada apa, Nani?" Tanya Sultan pada Nani Sekretaris pak Komar. "Maaf, pak Komar meminta saya untuk mengantar ibu Qori, ke ruangan bapak," jelas Nani. Sultan menatap perempuan yang bernama Qori. Ia memakai hijab, terlihat sangat cantik dan anggun.   "Ibu Qori, ini?" Tanya Sultan minta penjelasan. "Oh, saya adalah klien pak Komar yang meminta desain untuk butik saya," jelasnya sendiri. Nani lantas mengundurkan diri. Sultan langsung keringatan. Ia tak bisa berdua dengan seorang wanita dalam satu ruangan. Tak nyaman dan takut timbul fitnah.   "Eh... Maaf ibu, Qori. Bisa kita bicara di luar saja. Saya merasa agak... Eh maaf ya. Agak tidak pantas dan takut timbul fitnah." Qori tersenyum. Lalu mengangguk. Ia pun keluar ruangan terlebih dahulu di susul Sultan setelah merapihkan laptopnya. Karena ia akan membawa laptopnya serta.   Mereka duduk di ruang tamu. Di tengah-tengah tempat karyawan bekerja. Jadi banyak yang berlalu-lalang melewati mereka. "Maafkan saya ya, Bu. Tidak apa-apa kan jika kita bahas desain ibu di sini?" Tanya Sultan. "Tidak apa, Pak. Saya justru bersyukur karena ternyata bapak adalah orang yang paham aturan agama." Sultan hanya tersenyum kecil.   "Jadi, saya akan langsung saja tunjukan desain yang sudah saya buat. Tapi maaf Bu, ini belum selesai semua. Karena kan memang belum waktunya di ambil ya?" Jelas Sultan. "Iya, Pak. Tidak apa-apa kok. Saya kemari memang ingin melihat desainnya saja. Sesuai atau tidak. Soalnya saya ini orangnya agak plin-plan. Jadi takutnya ada yang mau saya ubah atau saya tambahkan." Sultan mengangguk lagi. Dan menunjukan beberapa gambar yang ia rancang.   "Yang ini bagus, Pak," tunjuk Qori. Sultan melihatnya. Lalu mengangguk. "Saya simpan dulu ya, Bu." Sultan pun menyimpannya. Dan memberikan lagi laptopnya. Agar Qori dapat melihat yang lain lagi.   Qori kembali fokus melihat. Dan ia suka lagi dengan satu desain. Hanya saja menurutnya kurang tambahan. "Pak Sultan. Bisa saya minta yang ini. Saya tertarik dengan yang ini. Tapi, apa bapak bisa tambahkan sedikit wallpaper batik di sana." "Di pojokan itu, Bu?" "Ia, di sebelah sana. Lalu bisa bapak tambahkan juga rak-rak bersusun di dinding tengah?" Usulnya lagi. Sultan melihatnya dan mengangguk.   "Oh, iya-iya. Itu bagus sekali Bu. Sepertinya ibu paham desain ya?" Puji Sultan. Qori hanya tersenyum tipis. "Hanya keinginan saya saja yang seperti itu, karena saya kan jualan baju. Jadi pasti butuh rak susun." Sultan mengangguk lagi. "Ada lagi yang mau di tambah, Bu?" "Ehm...sepertinya untuk saat ini cukup, Pak. Bisa tolong langsung selesaikan. Paling lambat besok. Karena saya mau buka butik itu paling lambat akhir bulan ini, Pak."   "Begitu ya, ini tinggal di susun seperti yang ibu mau saja kok. Setelahnya selesai. Nanti kalau sudah selesai, saya akan langsung hubungi ibu. Karena nanti yang akan turun tangan mendekor butik ibu adalah saya sendiri dengan rekan tim, Bu." "Oh, jadi paket komplit ya? Saya pikir hanya membeli desain nya saja." "Tidak, Bu. Dari desain sampai yang mengerjakan adalah dari pihak kami. Itu salah satu cara kami agar pelanggan puas, Bu." Qori nampak tersenyum senang dan puas.   "Saya suka sekali bekerja sama dengan perusahaan ini, saya merasa sangat puas." "Jangan puas dulu Bu, kan saya belum kerjakan." Qori tertawa tertahan. Pun dengan Sultan.   "Permisi." Sultan dan Qori langsung melihat ke arah suara. Sultan langsung berdiri kaget. "Nat?" Natalia tersenyum manis. Semanis mungkin.  "Eh... Nat, kenalkan ini klienku. Namanya Bu Qori." Qori bangun dan menjabat tangan Natalia. "Qori." "Natalia, istri dari Sultan Pandawara." Qori langsung tersenyum pahit. Sultan melongo. "Kalau begitu, saya langsung permisi, Pak." Qori pamit pergi. Sultan dan Natalia langsung mengangguk. Lengan Sultan di tahan oleh Natalia saat Sultan hendak mengantar Qori hingga pintu depan.   "Biarkan dia sendiri, tadi juga di datang sendiri kan?" Sultan menghela nafas. Ia tahu jika istrinya cemburu. Sultan mengusap rambut Natalia dan membawanya masuk ke dalam ruangannya. Sultan duduk dan memangku Natalia.   "Kok cemberut?" Tanya Sultan. "Karena cemburu." "Cemburu kenapa?" "Karena kamu akrab sama klien perempuan." "Kan hanya klien, Nat." "Tapi kamu tadi ketawa sama dia, ngapain coba?" "Ya Allah, Nat. Aku cuma ketawa biasa aja kok." "Dia cantik." "Emang." "Ih... Sultan!!!" "Kenapa?" Tanya Sultan bingung. Natalia mendengus kesal. "Kok, kamu bilang dia cantik sih?" "Lah, kan emang cantik. Kalau jelek ya aku bilang jelek, kamu juga cantik."   Natalia bangun dari duduknya. Menatap Sultan dengan tajam. "Cantik mana aku sama dia?" "Sama-sama cantik." "Sultan!!! Pilih." Astaga ... Sultan pusing. Pilih siapa ya?   "Sultan, kok mikir segala sih?" "Lah kan suruh milih, ya mikir dulu lah." "Kamu nggak sayang sama aku ya?" "Loh, urusannya apa dengan masalah cantik?" Natalia gemas sekali dengan suaminya ini. Masa masalah kaya gitu aja nggak paham. Istrinya mau di puji lebih cantik dari wanita manapun. Tak terkecuali!!!   "Sultan, kamu nggak suka sama dia kan?" "Sama siapa? Ibu Qori?" "Iya." "Ehm... Suka nggak ya?" "Astaghfirullah, Sultan!!!" Bentak Natalia semakin kesal. Sultan semakin bingung. Apa lagi salahnya?   "Apa sih, Nat?" "Jawab kamu suka nggak sama Qori?" "Suka yang kamu maksud itu apa? Suka seperti apa?" "Suka untuk bisa di jadikan kekasih gelap." "Ha? Kekasih gelap? Hahahaha... Ngaco kamu. Maksud kamu akan bakal selingkuh gitu? Hahaha gila. Ya enggaklah." "Beneran, enggak?" "Enggak lah, aku kan udah punya istri. Punya istri satu aja belum tuntas. Masa mau nikah lagi. Hahaha."   Natalia memukul lengan Sultan. Lalu kembali duduk di pangkuan sang suami. "Jangan nakal ya." "Emang aku bocah." "Sultan, aku serius." "Iya, Natalia Caroline Pradyta. Sultan tidak akan nakal." "Janji." "Janji." "Kiss." "Apanya?" "Semuanya." "Khilaf nanti aku, Nat." "Biarin, sama istri sendiri ini." "Ya kan, kamu lagi menstruasi." Natalia langsung mendesah kecewa. Ia lupa kalau sedang menstruasi.   Natalia memeluk Sultan. "Maaf ya." "Nggak apa-apa. Aku sanggup nunggu kok." "Nenen aja deh." Sultan melotot. "Natalia!!" "Hehehe."        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN