"Jika kamu mau menikahi putri saya, lakukan dengan benar. Jika tidak, sudah jangan terlalu bertele-tele." amuk Diki, membuat sang istri yang berdiri di samping laki-laki itu melayangkan jemari tangan kanannya untuk membelai punggung Diki agar sedikit menurunkan emosinya.
"Biar Mamah aja Pah." ujar Mamah Jeje, meminta suaminya untuk diam.
"Damian mau jadi suami anak Tante?" Damian menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu dateng ke rumah Tante, minta Jeje untuk jadi istri kamu. Kalau dia mau, besok Tante nikahkan kalian berdua secara agama sembari menunggu kalian lulus sekolah."
"Mah!" tegur Diki. Laki-laki itu masih tak rela jika putrinya berjodohkan laki-laki plin-plan macam Damian.
"Ssst... Kita lihat, seberapa besar nyali dia Pah. Toh kalau Jeje kita nggak mau, dia harus bersiap untuk tidak mendekati hidup putri kita lagi."
Damian memejamkan matanya. Haruskah sekarang? Di saat dia sendiri belum tahu apa arti dari perasaannya ke Jeje
"Damian.." panggil Esmeralda membuat Damian membuka matanya.
Damian menguarkan senyum. Dia harus menentukan pilihannya sekarang dam itu tandanya ia tak lagi bisa mundur kemudian hari.
"Doain Damian ya Mah. Damian harus yakinin Jeje supaya dia jadi mantu Mamah."
Esmeralda meremang. Benarkah ini bukan mimpi belaka? Benarkah Jeje akan menjadi menantunya sungguhan?
"Go, Damian. Bawa menantu Papah. I dukung you Damian. Sangat."
*
Bughh!
Damian membiarkan Jihan meluapkan emosi padanya. Ia sadar dengan alasan mengapa adik satu-satunya Jeje itu menyerang dirinya.
"Pergi, lo! Kakak gue nggak mau lihat lo lagi." usir Jihan. "Lo, gue nggak sudi air mata kakak gue keluar buat laki-laki macam lo." hardiknya lagi sambil menunjuk-nunjuk muka Damian.
"Gue mau ngomong sama Jeje. Kasih gue waktu, kami ada urusan penting Han." pinta Damian membuat Jihan terbahak.
"Lo?" Jihan menunjuk d**a Damian, seakan meledek laki-laki dihadapanya. "Urusan lo sama kakak gue udah kelar tadi. Mending sekarang lo balik, tinggalin kamar kakak gue."
Jeje yang sedari tadi diam melihat aksi sang adik menarik lengan Jihan. "Lo keluar dulu." kata Jeje membuat mata Jihan membulat.
"Kak!"
"Keluar dulu sebentar. Gue mau tahu dia ngomong apa."
"Nggak bisa!" tolak Jihan, keras.
"Keluar dari kamar gue Jihan!" teriak Jeje. Jeje menggerakkan kepalanya, seakan memberi tanda pada sang adik untuk meninggalkan kamarnya dan memberi waktu pada dirinya dan Damian.
Jihan mau tidak mau meninggalkan ke duanya. Anak itu meninggalkan pesan agar Jeje berteriak jika Damian melakukan hal yang buruk pada diri gadis itu.
Setelah kepergian Jihan, hanya hening yang menyelimuti ke duanya. Suara pendingin ruangan bahkan terdengar di indera pendengaran mereka karena saking sunyinya ruangan itu.
Menghela nafasnya, Jeje berniat untuk memulai interaksi lebih dulu. Ia tidak tahan jika terus berada di ruangan yang sama dengan Damian.
"Lo ma..."
Srekkk!
Jeje tidak bisa lagi mengeluarkan suaranya. Ia terlalu syok saat gerakan cepat Damian mampu membuat kemeja yang ia kenakan terbuka dengan kancing yang berhamburan di lantai. Gadis itu bahkan tak sadar jika dirinya sudah digiring masuk ke dalam kamar mandi oleh Damian, hingga ciuman brutal laki-laki itu menyadarkan dirinya jika saat ini ia tengah berada pada situasi yang berbahaya.
"Emmmp... Emppp..."
"Ssttt... Gue harus kalau besok lo akan halal meski malem ini kita lakuin hal yang haram, Je." ujar Damian cepat sebelum kembali membungkam bibir Jeje dengan bibirnya sendiri
*
Air mata tak henti mengalir dari ke dua mata Jeje. Setan apa yang merasuk ke dalam diri Damian, hingga laki-laki itu tega berbuat hal b***t padanya.
Haruskah Jeje ingatkan pada Damian, bahkan bibir yang sedari tadi membungkam bibirnya agar tertutup, tak mengeluarkan suara apapun termasuk desahan, mengatakan jika laki-laki itu tak bisa menikahi Jeje. Haruskah?
Plak!!
"Keluar!"
Setelah melayangkan tamparannya, Jeje mengusir Damian dengan sisa-sisa tenaga yang wanita itu miliki. Ya, Jeje kini resmi menjadi seorang wanita yang kehormatannya direnggut secara tak elit.
Bagaimana Jeje mengatakan pada sosok suaminya kelak, jika hal paling berharga dari dirinya diambil paksa di dalam kamar mandi. Dengan cara berdiri pula. Rasanya Jeje tak akan sanggup membuat patah hati laki-laki baik yang nanti akan menjadi pendamping wanita itu.
"Keluar, Dam!" usir Jeje karena Damian tak mengindahkan perkataannya.
"Je!"
Jeje menggelengkan kepalanya, sembari mengenyahkan jemari Damian yang menghapus air matanya. "Keluar gue bilang!" teriak Jeje, membuat rasa bersalah semakin dalam Damian rasakan.
Damian menggelengkan kepalanya saat Jeje lagi-lagi mengusir dirinya untuk keluar dari dalam kamar mandi. Damian nggak mungkin meninggalkan Jeje setelah apa yang ia lakukan pada diri wanita itu. Ia tidak bisa melangkahkan kakinya untuk mundur.
"I told you for.."
Tangis Jeje pecah, semakin menggelegar layaknya petir saat Damian menarik tubuh bergetar itu kedalam rengkuhannya.
"Sorry.. Sorry, Je," dari sekian banyak kata, hanya itu yang mampu Damian ucapkan setelah kebrengsekkan yang laki-laki itu lakukan. Ia tidak tahu kata apa yang tepat untuk mewakili rasa bersalahnya.
"Sorry.. Aku janji buat tanggung jawab."
"No.." suara lirih itu, membuat seluruh aliran darah Damian serasa terhenti dari lajunya. Jantungnya seakan tak memompa pasokan darah yang harusnya mengalir stabil, agar terus berdetak.
"I said- no, Damian. Hubungan yang kamu paksakan, hentikan mulai detik ini."
Pelukkan lengan Damian semakin mengerat. Ia tidak menginginkan semua berakhir ketika ia baru memulai dengan Jeje. Entah mengapa harapan Jeje akan menjadi Ibu dari calon anaknya ada di dalam hati dan benak laki-laki itu.
"Please, kasih aku kesempatan buat mencintai kamu."