12

1065 Kata
"Iya nggak, Sayang?" tanya Damian sembari menatap Jeje dan menekankan panggilan sayang untuk gadis itu. Allahuakbar ngapain nanya ke gue segala. Damian, Sialan! "Dam, kamu nggak seriusan kan ngomong begitu, Sayang?" Esmeralda bertanya pada Damian, membuat anak laki-laki itu mengedikkan bahunya. "Astaga! Mamah pusing. Kamu mandi sana deh, tutup ini pintu." titah Esmeralda. Esmeralda menatap Jeje yang terlihat tengah berpikir dari wajah gadis itu. "Ye, si Jeje malah bengong. Je, masuk! Tutup pintunya." "Ha?" "Tante.. Anu.. An-u.." gagap Jeje, sembari memainkan jemarinya di atas d**a. "Aaaaa... Nggak mau sekamar sama Damian. Aaaaa, takut hamil." teriak anak itu sembari berlari kencang meninggalkan Ibu dan anak yang menyaksikan kelucuan Jeje. Damial  melengkungkan garis bibirnya. Sedangkan Esmeralda menganga tak percaya. "Itu yang bakalan jadi mantu Mamah, Dam?" Damian tertawa, semakin membuat Esmeralda membuka lebar mulutnya. Mamah Damian itu terlalu syok melihat tawa dari putra kulkas--nya. "Damian mandi dulu, Mah." pamit Damian meninggalkan Esmeralda dengan keterkejutan wanita itu. Jeje berlari menuruni anak tangga dengan tergesa. d**a anak itu terlihat naik-turun ketika menghampiri orang-orang yang berada di ruang keluarga rumah Damian. "Aaa.... Papah, pulang hiks.. Nggak mau di sini." isak Jeje membuat Diki segera bangun menghampiri putrinya, begitu juga dengan sang istri. "Kamu kenapa sih, Je? Ada apa?" tanya Diki. Tangan laki-laki itu membelai punggung anaknya yang terlihat gelisah. "Nggak mau hamil Papah. Jeje mau sekolah. Jeje janji nggak bakal gangguin Damian lagi. Ampun!" Ferdinand menepuk keningnya. Entah kejahilan apalagi yang anaknya lakukan. Perasaan selama ini putranya bukan tipe anak jahil yang suka sekali menggoda anak gadis orang. Bisa sawan ini nanti anak tetangganya, pikir Ferdinand. "Kita nikahin aja gimana biar mereka nggak kaya kucing sama tikus terus? Lama-lama kita yang pusing, Dik." Ferdinand mencoba mencari solusi teraman agar kewarasannya tak terenggut hanya karena memikirkan urusan anak mereka. "Tapi mereka..." "Papah pulang." rengek Jeje karena mendengar ucapan horor Papah Damian. "Je.." "No, Om. Jeje masih mau sekolah, huhu. Jeje belom mau gendong anak dulu, hiks." Ferdinand menahan nafasnya. Memang yang nyuruh anak kecil buat anak siapa? Batin laki-laki itu gemas dengan tingkah Jeje yang terlewat ingin di gatak. "Jeje why you so stupid? Memang menikah harus selalu punya anak? Om hanya tidak mau kalian melakukan dosa sebelum waktunya." jelas Ferdinand sok bijak meski awalnya mengatai Jeje bodoh. Diki tadinya berniat protes karena putri kesayangannya di hina. Namun setelah mendengar keseluruhan kalimat dari Ferdinand, Papah dua anak itu menjentikan jarinya. "Cakep, setuju saya Fer." ucapnya girang, setuju degan pemikiran dewasa Ferdinand. "Nggak mau.. Enggak!" Jihan menahan tawanya saat melihat ekspresi sang kakak yang lebih mirip dikatakan sebagai orang menahan buang air besar dibanding ketakutan. Jarang sekali ia bisa melihat tampang tengil kakaknya seperti sekarang ini. Kalau bisa Jihan abadikan, Jihan mau buat story i********: deh. Sayang dia terlalu takut dimakan hidup-hidup oleh Jeje nanti. "Papah.." "Astaga, ini anak. Tante pikir kamu kemasukan jin apa lari sambil teriak-teriak. Baru mau tante sembur pake air bekas wudhu." Sembarang ini mantan calon Mamah mertua. Sembur juga nih! Batin Jeje kesal. "Om.. Tante.." Jeje memutar bola matanya malas saat melihat Damian dengan rambut basahnya tengah bersalaman pada ke dua orang tuanya. Cari muka aja pikir Jeje. "Lagi bicarain apa nih? Nggak tunggu Damian?" Buseet, beneran cari muka di Damian. "Ini kita lagi bicarain kalian mending dinikahin aja dari pada nanti buat dosa." ujar Diki memberitahu Damian tentang apa yang tengah ia dan Papah laki-laki itu rencanakan. Damian hanya bisa mengulas senyumnya sebelum kata maaf terucap dari bibir anak itu. Semua orang tentu saja bertanya-tanya mengapa Damian mengutarakan kata maaf pada Diki. "Sepertinya saya tidak bisa menikah dengan Jeje." Jeje meremas jemarinya. Ia merasa amat tersinggung dengan apa yang Damian katakan. Tidak bisa, eh? Lalu selama ini tujuan Damian mengganggu hidupnya apa. Jeje mengepalkan jemari yang tadi ia remas, dengan tenaga yang masih tersisa gadis itu berjalan mendekati Damian guna melayangkan tamparan di pipi putih laki-laki itu. "Lo orang terbrengsek yang pernah gue kenal, Dam!" desis Jeje sebelum berlari meninggalkan rumah Damian. Jihan yang melihat sang Kakak berlari ikut berlari mengejar Jeje. Adik lelaki Jeje itu tak luput memberikan tatapan tajamnya pada Damian yang dengan hati menyakiti kakak perempuan satu-satunya. Jeje tak mampu membendung lagi tangisnya. Di atas ranjang gadis itu menangis sesenggukan, merasa Damian mempermainkan dirinya. Hatinya terasa perih, bagai dicabik-cabik. Entah apa yang ada di otak laki-laki itu. Sudah puaskah Damian membalaskan rasa kesalnya? Inikah puncak dari pembalasan dendam laki-laki itu? Jika iya, Damian sungguh sangat berhasil dalam membuat hatinya terluka. "Kak.." "Keluar! Gue mau sendiri." usir Jeje pada Jihan dengan suara parau gadis itu. Jihan yang mendengar suara kesakitan kakaknya meremas jemari. Rasa sakit itu, Jihan pasti akan membalasnya. Air mata sang Kakak terlalu berharga hanya untuk seorang Damian yang tak memiliki hati. "Kak.. Jangan nangis." ujar Jihan, duduk di samping Jeje yang terbaring tengkurap di atas ranjang. Tangannya membelai rambut Jeje, membuat Jeje semakin keras mengeluarkan tangisnya. "Gue, hiks.. Gue.." "Sssst... Kalaupun Damian nggak mau sama lo, gue jamin cowok lain pasti mau." hibur Jihan. Bukannya diem, Jeje justru meraung sembari tangannya memukul-mukul ranjang. Hatinya semakin terasa sakit karena yang ia inginkan hanyalah Damian seorang selama ini. "Udah, Kak.. Kalau nangis gue sumpel ntar mulut lo!" ancam Jihan. "Jihaaan!" teriak Jeje saat adik satu-satunya itu menarik rambutnya. Jihan meringis mendengar teriakan sang Kakak. Udah sembuh nih kakaknya makanya udah bisa teriak kenceng begitu. "Makanya diem. Damian doang. Di tanah abang banyak noh yang kaya bule aspal kaya dia." Jeje memberenggut kesal sembari bangkit. Tangannya melayang ke kepala sang adik, membuat Jihan memekik kesakitan. "Sakit g****k!" "Sakitan gue, Bambang!" bentak Jeje * Di rumah Ferdinand, Diki Juliansyah menatap Damian dengan tatapan tajamnya. Ia tidak mungkin menyerahkan anaknya pada laki-laki plin-plan macam Damian. Bagaimana nasib putrinya nanti jika menikah dengan Damian. "Kita batalkan saja pertunangan anak kita Fer.. Saya nggak bisa melepaskan anak saya untuk laki-laki seperti anak kamu." ujar Diki pada Ferdinand. Ferdinand tentu saja hanya bisa berdiam diri, tak mampu mengeluarkan suaranya untuk menjawab perkataan Diki. Ferdinand tidak mungkin menjawab apapun yang dikehendaki oleh Diki. Putranya jelas bermasalah dalam kasus ini. Ia sendiri sudah tidak ada muka lagi pada Diki dan keluarganya.  "Saya harap setelah batalnya pertunangan ini kamu tidak akan mendekati putri saya lagi Damian. Saya har.."  "Om!" sela Damian. Laki-laki itu tahu kata apa yang akan di ucapkan oleh Papah Jeje.  Mengharamkan? Jangan sampai, batin Damian.  "Saya siap jika malam ini Om menghadirkan penghulu. Saya mau Jeje halal untuk saya pada malam ini. Di belakang Jeje tentunya."  "What?!"  "Sayang kamu serius?" tanya Esmeralda setelah memekik, kaget karena ucapan anaknya sendiri.  "Damian serius, Mah. Nanti setelah kami lulus, nggak apa-apa kalau semua memberitahu Jeje." "Gila!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN