11

1312 Kata
Semua mata tak pernah melepas pandangannya pada sosok ayu Jeje. Tawa renyah milik gadis itu memukau semua orang yang mengerubungi dirinya. Tak terkecuali Gabriel yang duduk di samping Jeje. Gabriel sesekali bahkan mengacak rambut gadis itu, membuat si empunya rambut mengerucutkan bibir. Terkadang gadis itu memukul lengan Gabriel, sebagai respon  kekesalannya karena terus saja di goda. Damian sendiri berdiri tak jauh dari Jeje, menyandarkan punggungnya di salah satu kusen pintu kelas. Damian menatap lekat Jeje dan teman-temannya. Laki-laki itu rasanya ingin sekali mematahkan lengan tangan Gabriel.  Berani sekali anak itu  meletakkan tangan pada Miliknya. "Damian." mendengar namanya dipanggil Damian bereaksi dengan memberikan lirikkan sekilas. Laki-laki itu memicingkan matanya saat orang masa lalu yang pernah hidup dengannya tersenyum sembari melangkahkan kaki menuju dirinya. "Jadi bener kamu pindah ke sini?" tanya gadis itu membuat Damian mengangguk. Ke dua tangan yang tadi ia letakkan di saku celana sekolah, ia tarik untuk mengulurkan jemarinya, menyalami penyebab kenapa pintu hatinya tertutup rapat untuk Jeje- dulu. "Kok salaman? Nggak peluk?" Damian menggelengkan kepalanya sembari melempar senyum sekilas. Andalan anak itu. Kebiasaan lama itu tidak akan Damian lakukan lagi kecuali pada Jeje, tunangannya sekarang. "Gue ke sana dulu ya." pamit Damian membuat garis lengkung di bibir Yohana-  gadis yang berada di hadapan Damian menghilang digantikan garis lurus dan tatapan kecewa yang ia layangkan pada sosok yang saat ini meninggalkan dirinya. "Gue bahkan nggak tahu apa salah gue Dam." lirih Yohana. Gabriel menggertakkan gigi-gigi putih milik laki-laki itu. Tawa gadis di sampingnya lenyap begitu saja, melihat Damian dan Yohana yang tengah berbincang tadi. Posisi mereka memang begitu jauh, tapi interaksi itu masih bisa mereka lihat dari tempat mereka duduk saat ini. "Je.." "Ih, sakit, Combro! Maen tabok paha gue aja. Gue asuransiin nih!" amuk Jeje sembari membelai-belai pahanya yang terasa panas. "Yee.. Berapa dah? Lapan puluh juta? Sini gue kasih cash dari pada lo ntar kena sapu bersih gara-gara menjemput impian. Lagian gue sukanya misrok, bukan combro!" Jeje membuka mulutnya tak percaya. Gabriel ngomong apa sih, batin gadis itu tak mengerti kemana arah pembicaraan Gabriel. Memang yang tengah membahas soal makanan kesukaan siapa? "Mau nanya dong?" "Jeje memutar bola matanya malas saat Daniel- salah teman Gabriel kembali mengajukan pertanyaan pada dirinya. Sedari tadi anak itu memang aktif memberikan dirinya sejumlah pertanyaan, membuat Jeje ingin melempar si muka Jawa yang memiliki nama sok kelondoan itu. "Apaan sih, Jawir! Nanya mulu lo! Gocap sini, emang gue google lo tanyain geratis yang cuman perlu isi kuota internet aja." sembur Jeje membuat semuanya tergelak karena panggilan yang Jeje buat untuk Daniel. Daniel sendiri hanya bisa mendengus karena lagi-lagi dia di bully oleh gadis yang ditaksir oleh kepala sukunya. "Je lo kenapa nggak pacaran sama Gab.." "Eh, bentar-bentar!" sela Jeje saat ponselnya bergetar. Gadis itu merogoh saku kemeja sekolahnya, mengambil ponsel super slim miliknya. Piktor is Calling... Sialan! Ngapain si Damian telepon! gerutu Jeje saat melihat ID Caller Piktor, nama Damian yang telah ia ganti. Bagi Jeje julukan itu sangat tepat untuk ia sematkan pada laki-laki kurang ajar itu. Piktor : KUA siap kok kalau besok buat halalin kamu.. Aku juga udah siap buat ngurung kamu di rumah kita nanti! "Si t***l!" pekik Jeje berdiri ketika selesai membaca pesan yang Damian kirimkan. Gadis itu bahkan sampai berdiri dari tempat duduk, membuat ke lima laki-laki yang mengerubungi dirinya sampai ikut memekik karena kaget. "Nih anak! Bisa nggak sih, nggak bikin jantung gue mau copot. Kaget, Dodol!" Daniel segera menutup mulutnya saat melihat tatapan yang diberikan oleh Gabriel. Sesegera mungkin laki-laki itu kabur dari tempatnya, menghindari amukan Gabriel karena beraninya membentak Jeje. "Saya terima nikahnya Jenifer.." Damian menyeringai sembari melewati Jeje dan gerombolan Gabriel. Ia sengaja memang, mengeraskan volume suaranya agar orang-orang mendengar kegilannya. 'Next time bukan mereka yang akan denger aku ngucapain itu, tapi papah kamu dan seluruh keluarga kita yang akan mendengar itu sebagai saksi kalau aku berani ucapin itu di depan penghulu, Je!' batin Damian. * Damian mengacak rambutnya. Sedikit banyak laki-laki itu merasakan emosi yang ia sendiri tidak mengerti. Jika di katakan frustasi, Damian mengakuinya meski enggan. Ia tidak tahu apa yang membuat Jeje begitu menghindari dirinya, padahal sebelumnya gadis itu selalu menempel seperti lintah. Memutar lagu kesukaannya, Damian sedikit merenungkan nasib untuk masa depan yang terlihat abu. Entah mengapa lagu Always milik Bon Jovi mengusik kewarasannya. Meski tidak semua lirik dalam lagu itu menggambarkan dirinya, namun ada saja kalimat yang membuat diri anak berusia enam belas tahun itu terbawa suasana. When he holds you close, when he pulls you near (Saat dia mendekapmu erat, saat dia memelukmu lekat) When he says the words you've been needing to hear (Saat dia ucapkan kata-kata yang telah lama ingin kau dengar) I'll wish I was him 'cause those words are mine (Aku kan berharap aku adalah dirinya karena itu adalah kata-kataku) To say to you till the end of time (Yang kuKatakan padamu hingga akhir waktu) "s**t! Gue nggak tahu apa yang udah gue lakuin sampai gue tiba-tiba kaya gini." gerutu Damian sembari mengacak rambutnya. Damian merasa tidak memiliki perasaan yang dinamakan cinta untuk anak tetangga yang saat ini resmi menyandang status tunangannya. Rasa cinta yang banyak di agungkan oleh banyak manusia itu bagi Damian telah lama tak ia rasakan. Sejak gadis yang ia sebut sebagai pacar, lebih banyak menghabiskan harinya dengan Gabriel untuk acara sekolah. Katakanlah Damian seorang posesif akut yang tak mengerti situasi, tapi memang begitulah dirinya. Dan di saat Jeje mulai menjauhinya, Damian merasa apa yang dilakukan gadis yang selama ini selalu mengganggunya salah. Tak seharusnya gadis itu menarik diri dari dirinya. "Huft!" desah Damian merebahkan dirinya sendiri ke atas ranjang. Matanya menerawang, menatap langit-langit kamar. Terlalu banyak yang Damian pikirkan. Ia tidak mau salah langkah dan akhirnya menyakiti banyak pihak. Ya, Damian harus mencari tahu jenis perasaan apa yang membuatnya begitu posesif pada sosok yang selama ini ia hindari, sebelum semuanya terlambat dan dirinya sendiri tersiksa. Menghindar dari Jeje mungkin adalah pilihan paling tepat untuk saat ini. Mungkin dengan begitu, Damian bisa mengerti alasan mengapa dia menjadi seperti ini. Tok.. Tok... "Damian, ayo turun, Sayang. Di bawah ada keluarga tunangan kamu, makan malem bareng yuk." Damian menghembuskan nafasnya. Baru juga dia akan menghindari Jeje, kenapa justru gadis itu ada di rumahnya. Lagipula kenapa sang Mamah tidak memberitahu jika malam ini akan di adakan makan malam bersama? Sungguh bukan mamahnya sekali. "Damian.." teriak sang Mamah karena Damian tak juga keluar dari kamarnya. Bangkit dari tidurnya, Damian berjalan lesu menunju pintu kamar. Laki-laki itu membuka pintu kamar melihat sang mamah dan.. "Tuh kan bener, kamu belum mandi. Jeje kamu di kamar Damian ya, dia harus di tungguin kalau nggak bakalan susah buat ajak dia ke meja makan. Susah banget dia keluar dari kamarnya kalau udah belajar." Damian memicingkan matanya ke arah sang Mamah. Belajar? Kapan? Besok hari minggu, batin anak laki-laki itu. "Kamu mandi sana biar tambah ganteng, nanti papah kamu marah-marah kalau anaknya jelek. Jeje sana masuk, nanti kalau Damian udah kelar kamu tarik. Kamu jadikan, buat jadi mantu Tante?" Jeje meringis. Ingin berkata tidak tapi dia tidak enak pada Mamah Damian. "Ih, lama! ini anak biasanya agresif kaya cacing di siram alkohol." ujar Esmeralda- Mamah Damian, sembari menarik lengan Jeje dan mendorong gadis itu untuk masuk ke dalam kamar putranya. "Tante.. Anu.." "Udah, nggak papa. Dam dijagain, kalau dia kegatelan pengen di apa-apain, kamunya yang kabur ya. Jangan sampai khilaf sebelum waktunya Mamah nggak mau cucu mamah nanti kaya Maminya yang nggak bisa diem." Mata Jeje tentu saja membulat. Mamah Damian minta di bacain surat yasin ini nih, pikir gadis itu merasa geram dengan sikap Mamah Damian. Di pikir dia gadis macam apa coba yang mau di khilafin anaknya yang m***m. "Iya nanti Damian baca do'a biar cucu Mamah nggak kaya dia." kata Damian membuat sang Mamah menganga. Pasalnya Damian tidak pernah bisa di ajak bercanda selama ini. "Iya nggak, Sayang?" tanya Damian sembari menatap Jeje dan menekankan panggilan sayang untuk gadis itu. Allahuakbar ngapain nanya ke gue segala. Damian, Sialan!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN