10

816 Kata
Keputusan telah dibuat dan Jeje tidak bisa membantah apa yang telah tetua sepakati. Rasa sakit karena kegilaan Damian menyeruak di dalam dadanya. Bukan ini yang ia inginkan meski ke duanya akan di nikahkan setelah ke duanya lulus sekolah nanti agar bisa menempuh pendidikan bersama. Jeje suka Damian, tapi tidak seperti dulu sebelum laki-laki itu memutar haluan untuk membuat hidupnya hancur. "Kalian harus ingat, tidak ada yang boleh mengetahui perjodohan ini. Saya hanya ingin Jeje bisa bersekolah dengan tenang." ujar Diki, memberikan kesepakatan yang harus Damian ikuti. "Jangan kekang Jeje, karena saya yakin anak saya sangat tahu batasannya." jelas Diki lagi, membuat Damian melirik Jeje yang sedari tadi diam, menyimpan semua argumennya. Damian tahu gadis itu ingin menolak dan Damian tidak akan pernah membiarkan penolakan itu meluncur dari bibir Jeje. "Hanya itu Dik?" tanya Ferdinand. Diki mengglengkan kepalanya, "no! Cincin ini, jangan ada yang memakai, agar orang tidak tahu ke duanya sudah saling terikat. Saya nggak mau Jeje tidak memiliki teman di sekolah barunya." Tanpa cincin itu, saya akan memastikan jika tunangan saya tidak akan pernah dekat lelaki manapun. "Saya mau yang terbaik untuk Jeje, karena dia putri saya. Saya harap Damian bisa bersikap dewasa. Toh jika jodoh, satu tahun bukanlah masalah yang besar. Mereka tetap akan menikah nantinya." Jeje yang sedari tadi meremas ponselnya, tersentak kala benda pipih itu bergetar di dalam rengkuhan jemarinya. Jeje mengadahkan wajahnya, menatap Damian yang duduk tepat di hadapannya setelah melihat siapa yang mengiriminya pesan. Damian : Hei, my fiancee.. * Malam hari berganti dengan pagi. Damian yang telah siap memakai seragam sekolah barunya, menyeringai saat melihat Jeje memasuki mobil gadis itu. Meski menolak untuk berdekatan, Damian tidak akan pernah membiarkan Jeje lepas dari pengawasan dirinya. Setiap langkah gadis itu, Damian akan memantaunya langsung. Bagaimana pun juga saat ini Jeje adalah gadisnya, miliknya yang tak akan pernah Damian biarkan berdekatan dengan laki-laki lain. "Setidaknya dia nggak berangkat sama Gabriel." ujar Damian sembari menaiki motornya. Damian mengikuti Jeje tepat di belakang mobil gadisnya. Bertindak sebagai pengikut setia, Damian dengan mata elangnya mengamati setiap pergerakan mobil itu hingga sampai di sekolah mereka. Janji dimana ia tidak akan mengekang kebebasan gadis itu, Damian akan memenuhinya, meski tak bisa sepenuhnya. Damian tentu tak ingin kebebasan yang ia berikan justru membuat petaka baru pada hubungan yang baru saja ia bangun dengan tunangan rahasianya itu. "Pagi, Je." sapa salah satu anak ketika Jeje tengah melintasi koridor, menuju kelas. "Yuhu, pagi." sapaan balik itu tentu saja tak lepas dari mata dan telinga Damian. Meski kesal karena Jeje terlihat ramah dengan orang lain, Damian mencoba untuk menahan segala emosi yang mulai mendera batinnya. "Pagi anak baru." Damian memicingkan mata saat seorang gadis yang sepertinya blasteran Arab, menyapa dirinya. Ia sedang tidak minat untuk mengurusi segala bentuk godaan dari gadis lain karena terikat dengan Jeje, gadis yang ia inginkan. "Nama lo Damian, kan?" "Bukan urusan lo. Bisa minggir? Gue mau ke kelas." ujar Damian sadis, membuat gadis itu menyingkir dari hadapan Damian. Damian sedikit berlari kala menuju kelasnya. Ia tidak akan membiarkan Jeje untuk duduk di samping Gabriel, karena pada detik ini dan selanjutnya gadis itu akan duduk di sampingnya. "Lo duduk di kursi lain, karena mulai saat ini gue akan duduk di samping Jeje." cegah Damian saat Gabriel terlihat akan duduk di samping tunangannya. Gabriel mengeram, kesal tentu saja. Memang apa hak Damian untuk melarang dirinya. "Gue bukan kacung yang setiap lo suruh harus nurut, Dam! Sebaiknya lo cari tempat lain." tolak Gabriel sembari melemparkan tasnya ke atas meja. Jeje yang merasa Damian terlalu melampaui batasnya, menatap laki-laki itu tajam. Bibirnya yang ranum terbuka, membuat ultimatum tegas agar Damian tak berbuat seenak jidat. "Gue mau duduk di sini sama Gab, jadi nggak usah berlaga kalau lo adalah raja di dalam hidup gue." Jika tak mengingat kesepakatan yang ia buat dengan Papah Jeje, Damian pasti akan menghajar Gabriel dan meneriakkan kepemilikannya atas Jeje. Di depan gadis itu agar ia tersadar posisi apa yang Damian tempati dalam hidup Jeje. Melangkahkan kakinya menjauh dari meja dan kursi Jeje, Damian mencoba untuk bersabar. Setidaknya tidak akan lama lagi Damian bisa memiliki gadis itu untuk dirinya sendiri. Ya, tidak sampai dua tahun dia bisa memiliki Jeje seutuhnya. Sialan! Itu terlalu lama! maki Damian dalam hati. Ia tidak menyangka begitu tersiksa memperjuangkan apa yang ia sukai. Terlalu sulit, jika gadis itu selalu mendorongnya untuk menjauh. Seperti apa yang selama ini ia lakukan pada Jeje. Begini rasanya ya? Ketika kamu mengejar dan aku menjauh? Menyakitkan! Batin Damian merasakan apa yang mulai menelusup pada hatinya karena penolakan Jeje. Damian mulai duduk di kursinya. Matanya yang setajam elang mulai kembali mengawasi gerak-gerik Jeje. Melihat betapa lepasnya Jeje bercanda dengan Gabriel, membuat Damian di liputi amarah. Laki-laki itu merogoh ponselnya di dalam saku. Mulai mengetikkan pesan yang akan ia kirim pada Jeje. Jenifer M : Jangan pernah lupa. Siapa aku dan siapa kamu? Kamu nggak mau kan pernikahan kita dipercepat besok? So, jadi anak baik ya Sayang. Jangan nakal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN