9

870 Kata
Sungguh kali ini Gabriel tidak lagi bisa untuk menghentikan segala kata yang sedari tadi ia pendam dalam hatinya. "Hormon kehamilan apa? Lo hamil Je?" Jeje menggelengkan kepalanya. Damian sungguh-sungguh sangat keterlaluan. Apa yang laki-laki itu lakukan saat ini audah melebihi batas. Plak! "Gue nggak nyangka lo sekejam ini." usai melayangkan tamparan di pipi Damian, Jeje memilih untuk pergi. Jika kemarin dia malu karena gosip yang menyebar di sekolah lamanya. Kali ini Jeje muak dengan kehadiran Damian. Lebih baik dia dirunah, meminta sang Papah untuk menghadirkan guru ke rumahnya. "Dam.. b******k lo!" maki Gabriel, melayangkan tinjunya ke wajah Damian. Meski meringis, Dmian masih sempat terkekeh. Membuat buku-buku tangan Gabriel yang terkepal, memutih. "Lo mau bekas gue?" tanya Damian tak mengingat siapa hang saat ini tengah ia ajak berseteru. "Gue sih nggak mau lepas cewek yang uda gue rusak. Jadi simpen tenaga lo, karena bekas gue mau gue pake seumur hidup." ucapnya membut Gabriel meradang. "Lo beneran udah pake Jeje?"  "_" "Jeje bukan orang kaya gitu, Dam!" hardik, Gabriel. Damian terbahak. Satu kalimat yang laki-laki itu lontarkan mampu membungkam bibir Gabriel rapat. "Tapi dia suka sama gue dari lama. Apa yang bisa bikin gue nggak lakuin apa-apa ke dia, and damn' Bro! She is very hot ketika naked." "Bang..." "Sebangsat itu gue buat cewek yang udah gue rusak, El." ujar Damian. Gabriel menggeleng kepalanya, tidak percaya dengan apa yang Damian katakan. Damian yang dia kenal tidak sebrengsek ini. Dia laki-laki baik yang berada pada jalan yang lurus. "Lo tahu gue suka sama dia sejak SMP, Sialan!" teriak Gabriel kencang. "Dan lo jelas tahu, rasa suka lo bertepuk sebelang tangan." balas Damian dengan suara tenangnya. "Sebagai lelaki gentle, gue mau bertanggung jawab dengan apa yang gue rusak, gue harap sebagai sahabat lo dukung, bukan nusuk." Gabriel menatap punggung Damian yang berjalan meninggalkan dirinya. Apa yang laki-laki itu katakan tadi? Sebagai sahabat harusnya dia mendukung? Bukan menusuk? "Harusnya kata-kata itu buat diri lo sendiri, Sialan!" * Diki Juliansyah tidak tahu apa yang membuat putrinya datang ke kantornya dengan urai air mata dan isakan gadis itu. Seingat Diki, putrinya adalah gadis ceria dengan kegilaan yang tak pernah luput menghiasi tingkah polah gadis itu. Lalu mengapa putrinya datang dengan isakan yang mencekik ulu hatinya. "Jeje, kenapa? Ada apa? Cerita dong, Nak?" tanya Diki. Laki-laki itu semakin panik saat anaknya malah meraung, bukannya menjawab pertanyaan yang ia ajukan. "Je.. Hei! Kalau kamu nggak bilang, gimana papah bisa tahu, Je." Jeje tidak tahu harus menceritakan dari mana permasalahannya dengan Damian. Ia jelas tahu Papahnya tidak akan percaya pada apa yang ia katakan. "Pah, hiks!" Diki melambaikan tangannya saat ponsel yang ia letakkan di atas meja berdering. "Bentar ya, Je. Papah ada telepon masuk." Jeje mengangguk, mengerti jika mungkin telepon yang masuk ke papahnya adalah panggilan penting. "Ya, Hallo." "...." "Iya, sama Saya kok." "...." "Ngomong aja, nggak apa Dam." Dam? Damian? "Iya dia dateng-dateng nangis. Ini baru om tanyain kenapa nangis, Dam." "....." "Apa? Kamu hamilin Jeje?" Jeje meremas ujung rok sekolah berwarna abu-abunya. Setelah mendapatkan telepon dari seseorang yang sangat Jeje kenal, Diki sang Papah menarik Jeje untuk pulang dan alangkah terkejutnya Jeje saat ke dua kakinya masuk ke dalam rumah. Gadis itu melihat Damian yang duduk dengan santainya di sofa ruang tamu. Laki-laki itu juga masih menggunakan baju yang sama dengannya. "Om.." Bugh! "Apa yang sudah kamu lakukan pada anak saya bule KW!" bentak Diki setelah melayangkan bogeman ke wajah Damian, membuat anak itu tersungkur kembali ke atas sofa yang tadi ia duduki Damian meringis, menahan sakit di wajahnya. Laki-laki itu tak menyangka jika pernyataan palsunya akan mendatangkan bogeman mentah dari papah sang gadis. "Kamu jangan bercanda hal yang tidak lucu, Damian. Om sangat yakin putri om tidak akan melakukan hal bodoh itu. Tapi mengingat cerita kamu, Om yakin jika kali ini Jeje akan merengek agar ia dipindahkan lagi sekolahnya." "Om.." panggil, Damian setelah laki-laki itu kembali berdiri. "Apa mau kamu?" tanya Diki to the point. Ia bukan tipe orang yang sabar jika itu berurusan dengan keluarganya. "Saya mau anak Om menjadi pendamping saya mengingat saya pernah bertindak kurang ajar pada Jeje." Diki menatap Damian lekat. Diki akui jika laki-laki di depannya adalah sosok gentleman sejati, namun laki-laki berusia enam belas tahun itu terlalu salah dalam mengambil langkah. "Kalian tidak bisa menikah. Usia kalian belum memenuhi syarat." Damian mengerang. Apakah ini bentuk penolakan secara halus yang diberikan padanya. "Tapi jika kamu serius, kamu bisa bawa orang tua kamu ke sini. Kami akan membahasnya." Damian mengangguk mantap. Dia pasti akan membawa orang tuanya menghadap ke dua orang tua Jeje. Damian tidak akan melepaskan Jeje begitu saja, tidak akan pernah! "Baik, Om. Nanti malam saya akan membawa orang tua saya kemari untuk membahas ini. Om tunggu saja. Saya harap, Om tidak akan mengecewakan saya ." ucap Damian membuat Diki terbelalak tidak percaya dengan keberanian anak  di hadapannya. Dulu ketika muda, Diki tidak pernah seperti itu. Berpikir untuk melamar gadis di usia muda saja, tidak pernah! Jeje yang mendengar itu berlari cepat meninggalkan sang papah dan Damian. Dia tidak ingin mendengarkan omong kosong yang tengah berlangsung antara papahnya dan Damian. Jeje ingin sekolah dengan tenang. Dia tidak mau lagi memikirkan Damian. Dia ingin meraih cita-citanya. Bukan menikah muda dan akhirnya kehilangan apa yang telah ia rancang untuk masa depannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN