Damian mengetukkan jemarinya di atas meja kerja sang Papah. Anak lelaki yang masih menggunakan seragam sekolahnya itu, menunggu Ferdinand menuangkan wine ke dalam gelas di hadapannya.
"Damian, sejujurnya you buat Papah kecewa. Sangat!"
'Baiklah, drama akan dimulai', batin Damian.
"You tahu, Papah saja melihat aset berharga mamah kamu ketika papah dipaksa untuk menjadi muslim, sesaat setelah ijab kabul papah dendangkan."
Dendangkan?
Dangdutan si Papah?
"Damian, apa you dengar?" hardik Ferdinand.
"Dengar, Papah." jawab Damian lesu sembari menatap gelas berisikan setengah cairan berwarna pekat di hadapannya.
"Huft.. Papa dan Mama sangat malu ketika, em saat dia, 'Jeje' papa means, bercerita kamu dengan tidak sopannya membuka kamar dia saat dia tengah naked."
Belum, baru bagian atasnya. Dan itu buat Damian nggak tidur semalaman.
"Damian, kamu tahu bukan apa yang harus kamu lakukan setelah mendengar cerita papah?" tanya Ferdinand seserius mungkin sembari menatap mimik wajah Damian yang menegang. Ya, putranya itu menegang. Wajahnya!
"Me-menikahinya?"
"Hem.. Harusnya begitu." dengus Ferdinand.
"Harusnya?" tanya Damian tidak mengerti dengan satu suku kata sebagai penekanan dalam otaknya. Apa maksud dari kata 'harusnya', itu?
"Em, Papah sudah mencoba untuk menjodohkan kalian. Tapi,", Ferdinand mencoba merangkai kata setepat mungkin agar anaknya mengerti, jika laki-laki itu di tolak mentah-mentah oleh tetangga mereka. Ya, meski Ferdinand tahu Damian jelas menghindari gadis itu karena sikapnya yang seperti cacing kepanasan.
"Em, dia bilang tidak perlu tanggung jawab seperti itu. Cukup meminta maaf karena dia sudah punya kekasih. Em, Dam. Jeje sudah nggak tergila-gila sama you ya?" Ferdinand mencoba bertanya seserius mungkin, mengingat pertanyaan itu mengarah pada melunturnya pesona sang putra.
"Pap.. Jadi Damian tidak bisa mendaki gunung?"
"What? Menda..." Ucapan Ferdinand terpotong oleh pekikan Damian yang mengatakan jika wine yang dibuka laki-laki itu terasa sangat nikmat.
"Papa harus bawa pulang wine ini.. Mamah pasti akan sangat senang. Damian pamit dulu Pah." pamit anak itu membuat Ferdinand menggelengkan kepala. Darah muda itu, Ferdinand pernah merasakannya.
"Setelah ini Papah yakin kamu yang akan menempel seperti lintah pada gadis cacingan itu."
*
Racun dunia mana yang akan Jeje tenggak?
Gila adalah kata yang tepat untuk ia sematkan di otak tumpulnya. Bagaimana bisa kemarin malam dia mengatakan sudah mempunyai kekasih.
Kekasih p****t ayam!
Dekat dengan laki-laki saja tidak. Haruskah Jeje mempertimbangkan Gabriel? Lumayan dari pada nganggung malu berkepanjangan nanti.
Terus perjuangan dia selama ini untuk Damian bagaimana? Mengingat itu, Jeje tambah lemah tak berdaya.
Dasar lelaki c***l! Maki Jeje dalam hati, sembari menendang-nendang kaleng kosong di pinggir jalan.
Ini lagi dia ngapain pake jalan di pinggir jalan macam gembel aja. Kan tadi dia bawa mobil ya? Duh, kapan sih otaknya bisa bekerja dengan baik. Masa mobil mahalnya dia tinggal di restonya Papah Damian, sedangkan dia ngacir jalan kaki saking malunya sama Damian.
"Balik lagi nih gue ambil mobil?" gerutu Jeje, memutar tubuhnya.
"Arrgg! Setan!" pekik Jeje saat tubuhnya menabrak d**a bidang seseorang. "Eh, Calon Imam masa depan? Ngapain?" tanya Jeje gugup saat mengadahkan kepalanya.
Damian memutar bola matanya. Calon Imam dari Hongkong? Orang si Jejenya juga udah punya pacar. Pake masih bilang dia calon imam segala!
"Lo mau apaan Dam liat-liat?" Jeje memundurkan langkahnya saat Damian ingin mengikis jarak mereka.
"Gue cuman mau buktiin satu hal. Penasaran gue sampe nggak bisa tidur. Mumpung lo udah punya pacar, jadi gue nggak papa kan penuhin rasa penasaran gue?"
"Hah?"
Sedetik kemudian, suara teriakan Jeje menggema dengan rasa syok yang membuat gadis itu hampir pingsan karena sebuah tangan dengan gerakan cepat meremas aset miliknya yang berharga.
"Damian, kampretr!! Ngilu g****k!"