Erlando memeluknya dengan paksa dan menahan tubuh rampingnya dalam dekapannya. Tubuh Verlona terasa terbujur membeku dalam dekapan pria dingin itu.
Verlona mungkin bisa mengatasi pria begundal berandalan dan lain sebagainya di luar sana, tapi dia selalu takut jika berhadapan dengan pria satu ini. Yaitu Erlando Eldana.
Dia sempat memiliki teman dekat dan sangat akrab semasa tinggal di bangku SMP, dan kakak pertamanya itu memukulinya habis-habisan sampai pria itu hampir kehilangan nyawanya.
Erlando melakukan hal itu di hadapan Verlona untuk menunjukkan padanya, kalau dia tidak boleh terlalu dekat dengan pria manapun.
Pikirnya saat itu pria itu tidak ingin dirinya kenapa-kenapa, dia tidak tahu jika kakaknya yang berada di bangku kuliah itu tengah merasa cemburu setengah mati melihat dia dekat dengan temannya.
"Kak Erlan?" Lona mendongak menatap wajah kakaknya.
"Kenapa?" Tanyanya tanpa senyuman menatap wajah ketakutan di bawah wajahnya.
"Kenapa kakak melakukan semua ini?"
"Karena aku mencintaimu..."
"Tidakkah kakak mempertimbangkan bagaimana perasaan Lona sekarang? Lona juga manusia yang memiliki perasaan dan kebebasan. Lona bukan binatang piaraan kakak!" Verlona terisak sambil memukul-mukul d**a Erlando.
Air matanya terus mengalir membasahi kedua pipinya dan d**a pria tampan berwajah dingin di hadapannya itu.
Dengan tidak sabar Erlando segera mencium bibir Verlona untuk menghentikan suara tangisnya. Verlona meremas lengan kekar yang masih menahan pinggangnya itu.
Daniel berdiri di ambang pintu, dia mendengar apa yang dibicarakan oleh kedua bersaudara itu.
Daniel menarik baju sepupunya itu agar menjauh dari Verlona. Sekilas dia melihat bercak-bercak merah di leher Verlona.
Pria itu melemparkan Erlando keluar pintu dan berikut kopernya. Kemudian dia mengganti password pintu rumahnya.
Daniel melihat Verlona kembali menata bajunya. Pria itu diam saja, mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk kecil duduk di tepi tempat tidur Verlona.
Verlona meliriknya sekilas, Daniel terlihat cuek dan tidak peduli sama sekali dengan kejadian yang baru saja dilihatnya.
Verlona jadi sedikit ragu apakah sepupunya itu hanya berpura-pura jatuh cinta padanya dan sekedar menyenangkan hatinya ketika menciumnya tadi.
"Kakak punya salep untuk menghilangkan ruam merah?" Cetusnya tiba-tiba sambil berdiri di sebelahnya.
"Itu tidak perlu diobati nanti juga hilang sendiri." Sahutnya cuek bebek.
"Hah! kamu pikir ini bekas ciuman?? Dasar pria m***m!" Verlona merebut handuknya dan memukuli punggung pria itu dengan marah.
"Ah, sudah sakit!" Teriaknya sambil memegangi kedua tangannya.
"Ambillah di laci ruang tengah." Verlona melemparkan handuk ke wajah Daniel dengan muka masam.
"Memangnya dia pikir aku wanita macam apa? sejauh ini aku belum pernah melakukan hubungan sejauh dalam angannya itu dengan pria manapun!" Gerutunya tanpa memelankan suaranya sedikitpun.
Daniel mendengarnya, pria itu buru-buru melangkah keluar dari dalam kamar Verlona menuju ke ruang tengah.
Gadis itu mengoleskan salep kulit di sekitar dadanya di depan cermin ruang tengah, terlihat setengah dadanya mencuat membuat Daniel melarikan pandangannya ke arah lain.
Pria itu bersikap senetral mungkin, dia duduk di kursi ruang tengah dengan santai. Terlihat Lona kesulitan mengoleskan salep pada punggungnya.
"Sini aku bantu mengoleskannya pada punggungmu."
Verlona berjalan menuju ke arahnya tanpa mengancingkan bajunya, gadis itu duduk membelakangi Daniel.
Dia segera mengoleskan salep pada punggungnya. Verlona menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa kemudian tertidur.
Melihat gadis itu tertidur Daniel mengangkat tubuhnya masuk ke dalam kamar. Di lihatnya dua buah ranum hampir melompat keluar terpampang jelas di depan matanya.
Pria itu buru-buru segera menutupi seluruh tubuh Verlona dengan selimut. Tapi Verlona segera menarik tangan Daniel membuat tubuhnya jatuh menggencet di atas tubuh gadis itu.
Verlona mendadak membuka kedua matanya, menatap lekat-lekat wajah pria di atas tubuhnya.
"Jika kamu melakukan ini lagi aku tidak akan berbicara lagi denganmu!" Menepis tangan Verlona dan segera melangkah keluar dari dalam kamarnya.
Mendengar ucapannya, mendadak wajah Verlona berubah pucat.
"Padahal aku hanya ingin mengambil tisu ini dari atas kepalanya! kenapa dia malah berfikir aku w************n! dasar pria berkepala m***m!"
Teriaknya sambil melemparkan bantal ke daun pintu yang tertutup, dan meremas sobekan tisu yang ada di genggaman tangannya.
Di luar pintu kamar Verlona, Daniel melihat ke arah celana jeans pendeknya. Ada satu sedang bangkit berdiri di sana.
"Aiiissshhh! memalukan sekali! kenapa kamu merespon secepat ini! dasar bodoh! m***m!"
Memaki-maki dirinya sendiri melihat perubahan kecil dari organ tubuhnya.
Pagi hari....
Daniel sudah berbaju rapi menunggu Verlona di luar pintu, akan tetapi gadis itu tidak kunjung keluar dari dalam kamarnya.
"Lona? kamu sudah siap-siap belum?" Sunyi senyap tidak ada jawaban apapun dari dalam kamarnya.
"Kemana perginya gadis itu sepagi ini!? tidak seperti biasanya dia selalu kesiangan jika aku tidak membangunkannya?"
Daniel mengusap tengkuknya dengan kesal dia berpikir gadis itu merajuk karena kesalahannya kemarin.
Karena tidak mendapati Verlona di dalam kamarnya Daniel langsung menuju ke kampus dengan mengendarai mobilnya.
Saat sampai di parkiran dia melihat Verlona sedang bersama dengan Erlangga. Pria itu tengah tertawa renyah bergurau dengan adik sepupunya itu.
Verlona melihat mobil Daniel sedang di parkir, gadis itu segera berpamitan pada Erlangga untuk masuk menuju ke dalam kelasnya. Dia dengan sengaja menghindari Daniel.
Daniel merasa tidak nyaman melihat Verlona tertawa renyah bersama dengan Erlangga. Dia segera menghampiri Erlangga.
"Apa yang barusan kalian bicarakan? kenapa kelihatannya seru sekali?" Tanyanya sambil memakai jam dari sakunya di pergelangan tangannya.
Daniel tadi buru-buru ke kampus karena khawatir Verlona tidak ada di sana. Dia tahu Verlona salah faham atas kejadian semalam.
"Ah aku senang sekali, cewe pindahan Australia itu berpamitan padaku tadi." Ujar Erlangga sambil tersenyum.
"Apa kamu bilang Lona berpamitan padamu?! dia bilang mau pindah ke kampus mana, dan kenapa berpamitan?!" Daniel kebingungan takut gadis itu pergi meninggalkannya.
"Tolong bawa tasku ke kantor! Baaak!" Menimpukkan tasnya pada bibir Erlangga lalu berlari mengejar Verlona.
"Woi! dasar gila! bibirku masih perjaka ini!" Teriaknya sambil menutupi bibirnya yang jontor akibat tertimpuk tas Daniel.
Erlangga berjalan dengan pelan sambil menutupi bibirnya. Agasta setelah lima menit menata jambul merahnya dia berjalan menuju ke ruang kelasnya.
Dia melihat Erlangga berjalan sangat pelan sambil menoleh ke kiri-kanan takut ada yang memperhatikan dirinya.
"Bak!" Memukul bahu kiri Erlangga.
"Khamu thuluan kih." Ujarnya pada Agasta masih menutupi bibirnya dengan tas.
"Pak ngomong apa sih?" Merebut tas Erlangga dengan kasar. Agasta melongo melihat bibir memar seperti habis ciuman terlalu lama.
"Wah! bapak habis kencan ya!? melihat dari bekas ciumannya sepertinya wanita itu sangat panas!" Serunya sambil menggoda Erlangga.
"Panas kepalamu! sudah sana! pergi ke kelas! atau mau nilaimu yang sudah minus itu dikurangi lagi jadi minus dua kali jadi minus minus?!"
Tanpa menunggu lagi dalam satu detik Agasta sudah menghilang dari pandangan mata Erlangga.