Ch-10 Frustasi

1277 Kata
"Bapak bertengkar ya sama berandalan tadi?" Mengangkat poninya sambil nyengir melihat bibir memar dosennya. "Pak?! hahahaha! hahahaha!" Aiden memegangi perutnya yang tiba-tiba kram sambil meremas lengan Erlangga. "Kenapa kamu? habis ngakak malah pucat begitu? keseleg biji nangka, atau biji durian?!" Tanyanya ikut panik. "Kebelet pak! brooooot!" Buang angin sambil meremas perutnya. Lalu nyengir mengibaskan poninya dan berjalan mendahului Erlangga. "Astaga! anak jaman sekarang! apa semua kepalanya habis kejedot dinding! selalu sukses kalau ngerjain dosennya!" Gerutunya sambil melanjutkan berjalan menuju ke dalam kantor. Daniel sampai di ambang pintu kelas kimia, Verlona sedang duduk berbicara dengan Tiwi yang duduk di depan bangkunya. Agasta yang sedang berlari terbirit-b***t tidak bisa mengerem dan menabrak Daniel yang sedang setengah berdiri memegangi ambang pintu sambil mengatur nafasnya. "Braaak! jangan ngalangin pintu doong!" Teriaknya tanpa melihat siapa yang sedang dia tabrak. Mendengar ribut-ribut di depan, seluruh mahasiswa berkumpul untuk menonton kecuali Verlona. "Astaga pak Daniel! maaf pak saya tidak tahu jika bapak yang sedang berdiri di pintu." Agasta segera membantu dosen matematika itu kembali berdiri. Daniel melihat mahasiswa dan mahasiswi yang mengerubunginya tapi dia tidak melihat Verlona. Dia segera menerobos kerumunan, tapi Verlona yang tadinya duduk juga tidak ada di sana. "Kemana perginya gadis itu?" Bisiknya pelan. Aiden yang baru sampai melihat wajah panik Daniel dia tahu pasti sedang mencari Verlona. "Nyari Lona ya pak?" Mengangkat poninya ke atas. Mendengar pertanyaan itu Daniel memegang kedua bahu Aiden dengan wajah cerah dan mata berbinar-binar seakan-akan memiliki harapan besar. Para murid lainnya juga terheran-heran ternyata dosennya itu benar-benar memiliki perasaan pada Verlona. "Kamu tahu dia ada di mana sekarang?" Tanyanya segera. "Tidak tahu pak, kayaknya sih dia berjalan ke arah sana." Ujarnya asal-asalan. Pria itu segera berlari keluar kelas menuju arah yang di tunjukkan oleh Aiden. "Emang Lo serius Den lihat Verlona jalan ke arah sana?" Tanya Eny gadis berambut cokelat. "Nggak, aku cuma asal ngomong kan aku sudah bilang kayaknya! wueee!" Menjulurkan lidahnya sambil nyengir menuju bangkunya. "Ah dasar! payah Lo!" "Tahu tuh Aiden gak takut apa kena skors!" "Iya tuh! kenapa juga dia ngerjain dosen! biasanya cuek bebek gak pernah ikut campur! Buk!" Teriak Andre sambil menimpuk kepala botak Dendi. "Aduh! sakit tahu!" Gerutu Dendi sambil mengusap kepalanya yang licin. Verlona merangkak di bawah bangkunya, gadis itu sedang mencari bolpoinnya yang terjatuh. Setelah ketemu di kembali duduk di kursinya. Aiden berdiri di sebelahnya sambil mengetuk meja. "Minggir dong, mau gue gendong atau gue lompatin?" Ujarnya masih mengangkat poninya. Kali ini pria berponi itu tersenyum menatap wajah Lona. "Bayar dulu cepek!" Verlona meringis menggoda teman sebangkunya itu. Tanpa ragu Aiden mengeluarkan uang seratus ribu dan menaruhnya di atas meja Verlona lalu menarik tangan Verlona agar berdiri. Kemudian dia masuk duduk di bangku miliknya. Verlona kembali duduk sambil menempelkan uang seratus ribu tersebut pada keningnya sendiri. "Kalau setiap hari begini, bisa kaya!" Ujarnya sambil melirik Aiden. Anehnya mendengar celotehan Verlona dia tidak marah atau menggerutu. Gadis itu jadi kebingungan lalu meletakkan uang tersebut kembali di atas meja di depannya. "Nih aku balikin duit kamu." "Kenapa? Kurang banyak ya?" "Bukan! aku cuma bercanda tadi serius amat jadi orang!" Daniel berlari maraton keliling kampus, Wanda dosen bahasa Inggris menghentikan langkahnya. "Ngapain pak Daniel? berlari sampai basah kuyup begitu? nyari saya ya?" Melemparkan senyuman termanis. "Ah tidak Bu, saya sedang mencari kucing saya. Permisi." Berlalu sambil tersenyum. "Astaga! senyuman dosen muda dan tampan itu benar-benar mengoyakkan hatiku yang tenang dan damai." Daniel masih berkeliaran, dan hasil terakhir pria itu memilih duduk di kursi kantin menikmati sekaleng minuman dingin. Verlona dan teman-teman wanitanya melihat keringat membasahi sekujur tubuh Daniel hingga memperlihatkan lekuk tubuh atletis miliknya. Mereka semua menelan ludahnya, kecuali Verlona. Melihat kakak sepupunya ada di sana gadis itu otomatis berbalik arah. "Eit! kamu mau kemana sih? katanya mau sarapan di kantin?" Tanya Tiwi padanya. "Ah aku kebelet, mau ke toilet dulu. Kalian duluan saja." Ujarnya sambil tersenyum. Mendengar suara Verlona Daniel segera beranjak berdiri mengejar sepupunya itu. Saat menemukannya, Verlona sudah membuka pintu mobilnya yang ada di parkiran. Ketika gadis itu hendak menyalakan mesin mobilnya, tiba-tiba Daniel membuka pintu mobilnya dan mendorong tubuh Verlona ke samping. Dia mengambil alih, mengemudikan mobil Verlona menuju rumahnya. "Kenapa kak Daniel tiba-tiba mengantarkan Lona pulang?" Tanyanya tidak mengerti. Daniel menghentikan mobilnya di tepi jalan yang sedikit sepi dari kendaraan umum. Dia melepaskan sabuk pengamannya. "Kenapa kamu ingin pindah ke kampus lain? kamu sudah salah faham semalam." Ujarnya sambil menatap wajah Verlona dengan tatapan mata serius. "Haruskah aku menunjukkan perubahan kecil organ tubuhku! itu pasti sangat memalukan!" Gumamnya sambil meremas kepalanya. "Aku semalam sebenarnya, aku tidak bisa! aku tidak bisa menahan diriku! aku tidak bisa menahan ini ketika melihat itu." Menunjuk bawah tubuhnya sendiri kemudian menunjuk d**a Verlona. "Hahahaha! dasar m***m!" Teriak Verlona tertawa terbahak-bahak. "Siapa yang bilang kalau aku pindah ke kampus lain?" Tanyanya kemudian. "Erlangga bilang kamu berpamitan padanya." "Hahahaha, iya aku memang berpamitan padanya untuk masuk ke dalam ruang kelas." Ujarnya masih memegangi perutnya karena terasa mulas lelah tertawa. Dengan wajah merah padam karena malu, Daniel mengemudikan kendaraannya menuju rumahnya. Daniel bingung kenapa Erlangga tersenyum secerah itu padahal Verlona berpamitan ke ruang kelas bukan berpamitan untuk pindah kampus. Setelah sampai di dalam rumah Daniel mereka berdua bersama-sama menuju ke arah lemari es. Daniel mengambil segelas air mineral sedang Verlona mengambil semangkuk puding. Mereka berdua duduk berhadapan di meja makan. Verlona mulai menyuap bibirnya dengan puding rasa jeruk favoritnya. Gadis itu juga menyuap ke bibir kakak sepupunya itu. "Apa yang kamu bicarakan dengan Erlangga kenapa wajahnya terlihat sangat bahagia?" Meneguk air minum dari botol. "Ah itu, aku bilang sangat menyukainya." Meringis tanpa rasa bersalah. "Uhk! byuuuuur!" Menyembur wajah Verlona dengan air dari dalam mulutnya. Verlona menghapus air pada wajahnya dengan kertas tissue. "Kenapa kamu terkejut seperti itu? padahal aku hanya bilang aku sangat menyukainya." "Stop! jangan lanjutkan lagi! apa kamu pikir aku sedang bermain lompat tali denganmu kemarin!" "Astaga padahal dia sudah mengambil kesucian bibirku! lalu dia mengatakan bahwa dia menyukai pria lainnya!" "Aku menyukainya sangat menyukai cara dia memberikan penjelasan di depan kelasku! Buaaakkkkk!" Menimpuk kepala Daniel dengan puding jeruknya. "Aku tidak percaya pria cuek sepertinya menjadi posesif dan menggila ketika mendengar istilah itu!" Gumam Verlona sambil merentangkan kedua tangannya kesamping kanan dan kiri. Meregangkan otot tubuhnya yang terasa kaku. Daniel membersihkan rambutnya dan melangkah melewatinya menuju lantai atas untuk mandi. Saat dia turun ke bawah Verlona tidak ada di dalam kamarnya. Tasnya juga sudah tidak ada. "Kemana lagi sih tu anak? dikit-dikit ngilang kayak mahluk halus! mobilnya masih ada di rumah." Gerutunya lalu mencoba menghubunginya melalui ponselnya. "Di mana kamu?" "Dia sedang bersamaku." Jawab Erlando Eldana melalui ponsel milik Verlona. Verlona sedang berada di dalam restoran cepat saji, dia memesan spaghetti dan cola. Tasnya dia tinggalkan di atas meja, dia hanya membawa dompetnya saat melakukan pembayaran dan mengambil pesanan. Verlona tidak tahu jika Erlando sudah memegang ponselnya dan duduk menunggu dirinya. Verlona membawa pesanannya menuju mejanya, dia melihat kakak angkatnya sedang memeriksa ponselnya. "Kak Erlan? sejak kapan kakak duduk di sini?" Tanya gadis itu terkejut. Tempat restoran itu berada sekitar seratus meter dari rumah Daniel. Verlona jalan kaki ke sana. "Kenapa? kamu terganggu dengan kehadiranku? apa kamu sedang janjian dengan pria lain?" "Ti, tidak kak, Lona cuma mau makan di sini. Bukan janjian dengan orang lain." Verlona mulai menyuap makanan ke dalam mulutnya. Erlando menatapnya dengan tatapan mata tajam tanpa senyuman. Wajah khas dinginnya itu sangat membuat wanita disekitarnya tergila-gila. Siapa sangka jika pria dingin dan begitu tampan mempesona itu jatuh hati pada adik angkatnya. Dan berusaha mati-matian menahannya agar tetap berada di sisinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN