Berkali-kali gadis itu mengerjapkan matanya untuk menghindari tatapan tajam pria di depannya itu. Tatapan Erlando saat itu adalah tatapan mata menyelidik menggali isi hati kecil adik angkatnya.
Verlona serasa kehabisan kata-kata, segala penolakan sudah diucapkannya berkali-kali. Tapi pria itu tetap saja menahan dirinya agar berada di sisinya.
Erlando Eldana kembali mendekatkan wajahnya untuk menciumnya, mata Verlona yang terus berkedip terlihat sangat manis menggelitik hati kecilnya.
"Hah!" Dengus Verlona, gadis itu menahan kepala kakak angkatnya itu.
Erlando menatapnya sambil tersenyum, karena adik kecilnya itu menahan kepalanya.
"Apa! Kenapa kamu malah tersenyum?!" Teriaknya masih memegangi kepala kakaknya dengan kedua tangannya.
"Kamu sangat imut dan manis!" Bisik pria itu di telinga Lona.
"Kita bukan pasangan kekasih! klek!" Kunci pintu terbuka, Verlona melangkah mundur kemudian menguncinya dari luar.
"Brak! brak! braaak! Lona!" Teriak pria itu dengan wajah marah, terus menggebrak daun pintu.
Verlona berlari menyusuri jalan setapak, dia sengaja memilih jalan lain agar tidak di temukan oleh kakak angkatnya itu.
"Kamu di mana?!" Teriak Daniel saat Verlona menghubungi dirinya melalui ponselnya.
"Entahlah aku berada di jalan setapak yang ada di hutan pinus. Kak Erlando membeli rumah di sini." Jelasnya pada kakak sepupunya.
Satu jam kemudian Daniel menemukan keberadaan dirinya, Verlona segera masuk ke dalam mobil kakak sepupunya itu.
"Apa yang terjadi sebenarnya?" Tanya Daniel masih merasa was-was. Pria itu melihat sekilas bibir Lona, bibirnya sedikit terluka.
"Apakah sepupuku itu menciumnya sampai memar begitu?! jika aku salah menebaknya, jangan-jangan dia sariawan!" Bisiknya pelan.
"Hah! kamu cermat sekali kakak sepupuku. Kali ini kamu benar!" Sahut Verlona terang-terangan.
Verlona meraba bibirnya yang memerah dan terluka.
"Aku berdebar saat kakak angkatku menciumku selama itu. Dan ciuman pertamaku dia juga yang merampasnya saat usiaku masih tujuh belas tahun." Bisiknya di dalam hatinya.
"Tapi aku tidak memiliki perasaan cinta atau rindu yang menggebu-gebu, tapi kenapa aku seolah kadang sengaja menyerah? di mana sebenarnya hatiku berlabuh saat ini?!"
Gadis itu masih bertanya-tanya dalam hatinya.
Daniel melihat Verlona sedang melamun saat bersamanya, dia sedikit meragukan kesucian gadis di sebelahnya sekarang. Hampir seharian dia bersama kakak angkatnya Erlando.
Dan itu terlihat ketika mereka berdua sudah sampai di rumah Daniel. Pria itu mulai menjaga jarak dengannya dan mulai menjauhinya.
Sudah satu minggu berlalu tanpa tegur sapa di antara mereka berdua. Verlona tahu dari cara memandang kakak sepupunya itu.
Pria itu seakan-akan melihat dirinya seperti kotoran menjijikkan yang akan menempel di tubuhnya jika terlalu dekat.
"Kakak?" Tegurnya saat Daniel pulang ke rumah sore itu. Pria itu selesai mengajar pelajaran tambahan di kampus universitas lainnya.
Daniel hanya menatap wajah Lona dengan tatapan mata dingin. Tidak seperti dia yang biasanya, ramah dan lembut.
"Ada apa?" Tanyanya tanpa melihat ke arahnya.
"Aku sudah mengajukan surat pindah ke Yordania. Lusa aku akan pergi." Verlona menyembunyikan air matanya.
Mata gadis itu berkaca-kaca, dia tidak bisa mengucapkan kata perpisahan lebih dari itu. Daniel tidak berkata apa-apa, pria itu langsung melangkah ke lantai atas tanpa menoleh ke arahnya.
"Untuk apa aku bertahan di sini! aku akan mulai merintis karierku di sana! jauh dari pria-pria menyebalkan itu!"
"Persetan dengan perjodohan antara aku dengannya! Pria itu sekarang melihatku seperti sebuah noda yang menjijikkan!"
Gerutu gadis itu tanpa memelankan suaranya. Hari itu Verlona langsung menghubungi papanya.
"Pa? iya Lona akan berangkat ke Yordania lusa."
"Kenapa mendadak sekali?" Tanya Tuan Eldana terkejut.
"Pa, batalkan saja perjodohan Lona dengan kak Daniel." Ujarnya sambil melelehkan air matanya.
"Apa kalian bertengkar?"
"Tidak pa, Lona sudah punya kekasih yang Lona cintai." Ujarnya berbohong.
"Ya nanti akan papa bicarakan dengan pamanmu, kamu tenangkan diri dahulu. Oke?"
"Iya pa, Lona sayang papa mama." Ujarnya mengakhiri panggilan telepon. Lona menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidurnya.
Seharian gadis itu terisak di atas tempat tidurnya.
Keesokan harinya, di kampus jingga.
"Kenapa mukamu? kucel begitu?" Aiden membuka poninya berjalan di sebelahnya.
"Saudara gue meninggal dunia." Lona melangkah santai di sebelahnya menuju ruang kelas mereka.
"Siapa? bibi, adik, kakak?!" Mengejar jawaban dari gadis itu.
"Bukan!"
"Lalu? siapa?"
"Saudara ayam gue!" Jawabnya asal-asalan.
Daniel berjalan menuju ke arahnya dan Lona terus melangkah santai melewatinya, seolah mereka berdua adalah orang asing.
Aiden melongo melihat mereka berdua.
"Bukannya kalian berdua dekat?" Celetuknya tiba-tiba.
"Siapa bilang?!" Tanyanya balik dengan nada cuek.
"Awal kamu masuk kampus kalian sangat dekat."
"Itu hanya hubungan sesaat!" Verlona semakin memperumit keadaan, dia tidak peduli lagi dengan nama baik kakaknya itu.
Toh dia besok juga sudah meluncur ke luar negeri meninggalkan semuanya.
Hari itu adalah hari terakhir dia pergi ke kampus.
Proses belajar hari itu berjalan lancar seperti biasanya.
Erlangga yang awalnya tidak menyukainya, sudah setengah hati tertarik pada dirinya.
"Pak Erlang?" Sapa Verlona di depan pintu kantornya.
"Masuklah.." Ujar pria itu sambil tersenyum menatap wajah Lona.
"Pak Erlang, terima kasih selama ini sudah membantu saya belajar di kampus ini." Verlona menjabat tangan Erlangga lalu keluar dari kantornya.
Gadis itu melihat beberapa mahasiswa dan mahasiswi tengah bercanda dan tertawa di kantin.
Gadis itu tersenyum menatap wajah bahagia mereka.
"Aku pasti akan merindukan kalian!" Bisiknya di dalam hatinya.
Verlona menghapus air matanya yang diam-diam merembes melalui celah-celah bulu matanya.
Gadis itu segera masuk ke dalam mobilnya, dia menangis terisak di belakang kemudinya.
Perlahan dia menyalakan mesin mobilnya dan melaju keluar dari dalam kampus menuju rumah Daniel.
Sampai di sana dia segera mengemas semua barang-barangnya, semua sisa-sisa bukti kebersamaan dengan kakak sepupunya itu sudah dihapus olehnya.
Verlona bahkan membakar foto-foto saat dia bersama dengan Daniel.
Siang itu Daniel pulang ke rumahnya, dia tidak melihat Verlona di sana. Tapi semua barang-barangnya sudah ditata dan dimasukkan ke dalam kopernya.
Verlona masih duduk di beranda belakang rumah Daniel, gadis itu sedang membakar boneka dan semuanya pemberian dari kakak sepupunya itu.
Dia tidak ingin menyisakan apapun di hatinya.
Daniel mencium aroma barang terbakar, pria itu lupa mengunci pintu. Dia berlari menuju beranda belakang rumahnya.
"Apa kamu kamu lakukan?!" Melihat seluruh barang-barang pemberian darinya, milik Verlona dibakar habis oleh gadis itu.
Dia tertegun tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Verlona melihat sekilas wajah kakak sepupunya itu, lalu berjalan menuju ke dalam rumah.
"Aku sedang bicara denganmu! apa kamu tidak mendengarku?!" Berteriak lantang sambil menoleh ke arah Verlona yang melaluinya tanpa berkata sepatah katapun.
Gadis itu terus melangkah menuju ke kamar mandi yang ada di lantai atas.
Daniel dengan wajah geram terus mengejarnya. Verlona masuk ke dalam kamar mandi, Daniel menerobos ikut masuk ke dalam.
Pria itu menahan kedua tangannya dan mendorong tubuhnya ke dinding. Kran shower terpencet punggung Verlona, air mengucur deras dari atas kepala membasahi tubuh dua sejoli itu.
Verlona menatap tajam wajah kakak sepupunya itu, lalu melengos ke arah lain.
Lekukan tubuh atletis Daniel terlihat jelas karena pakaian yang sudah basah kuyup, begitu juga dengan pakaian Verlona.
"Kamu bahkan tidak mau melihat ke arahku?!" Ujar pria itu dengan wajah marah.
"Apa maksudmu? Kamu memutar balikkan fakta! Siapa yang tidak mau melihat siapa?? Bukankah aku di matamu adalah sampah kotor selama ini??!" Teriak gadis itu sambil melelehkan air matanya.
"Aku sudah bilang! aku mencintaimu!" Ujarnya sambil menatap serius wajah Verlona.
"Kamu tidak mencintaiku, kamu jijik denganku! kamu menghindariku! pura-pura tidak mengenalku! aku sangat membencimu!"
Teriaknya di depan wajah Daniel penuh tatapan kebencian.
Daniel dengan gemas meraih kepala Verlona dan mengulum bibirnya. Nafas pria itu mulai memburu, tangan kanannya mulai menarik helai demi helai pakaian adik sepupunya. Menghimpitnya rebah di lantai.
Verlona sangat terkejut dan takut. Dia segera mendorong tubuh Daniel dari tubuhnya.
Daniel menahan kedua tangannya, tidak membiarkan dia pergi.
"Apa kamu sudah kehilangan akal sehatmu? lepaskan aku!" Teriaknya sambil terus meronta-ronta.
Sebentar lagi pria di depannya itu akan merenggut satu-satunya miliknya, jika dia tidak bisa melepaskan diri darinya.
Daniel tidak mendengarkan teriakan gadis itu, dan terus menerjangnya. Menciumi lehernya.
"Tidak! jangan! aku mohon! kak Daniel!" Teriaknya dengan putus asa sambil menangis.