"Kamu sudah mengotori nama baikku, sekarang malah mau pergi begitu saja! dasar tidak punya belas kasihan sama sekali!"
"Lalu aku harus bagaimana??" Ujarnya sambil menopang dagunya kembali.
"Aku minta kamu bertanggung jawab atas tindakanmu selama ini!" Teriaknya dengan suara lantang.
Verlona tiba-tiba berdiri melangkah memutari meja berjalan mendekat ke arah Daniel.
"Kamu mau apa?!" Daniel menjauhkan wajahnya, karena Verlona mendekatkan wajahnya.
"Kakak bilang aku harus bertanggung jawab? aku ini wanita! seharusnya aku yang dirugikan di sini! kenapa tiba-tiba kamu memutar balikkan keadaan! berhentilah berpura-pura menjadi pria lemah dan tertindas! huh!" Teriaknya di depan wajah Daniel, membuat wajah pria itu basah.
Daniel mengusap wajahnya dengan kertas tissue di atas meja.
"Oke! tapi itu benar-benar ciuman pertamaku! dan itu pelukan pertamaku! dan itu adalah cinta pertamaku!" Tidak mau kalah.
"Aku lelah sekali berdebat denganmu." Verlona melangkah menuju lemari es, Daniel mengikutinya dari belakang ikut mengambil air mineral.
Tanpa sengaja Verlona menoleh dan bibirnya menyentuh pipi Daniel, membuat pria itu menoleh menatapnya. Dan membuat bibir mereka bersentuhan.
Mereka terdiam seribu bahasa, saling menatap wajah satu sama lain. Lemari es masih terbuka. Udara dingin dari lemari es menyapu wajah mereka berdua.
Daniel membuka bibirnya, bersiap mengulum bibir Verlona. Verlona segera menjauhkan wajahnya.
"Lihat kamu sendiri yang penuh rasa ikhlas memberikan bibirmu padaku!" Teriak gadis itu sambil menutup pintu lemari es.
"Itu adalah naluri, naluri itu berjalan sendiri tanpa sadar! bukan kesengajaan!" Masih berkilah mencari alasan.
"Apa kamu bilang? berjalan sendiri!? aku tidak melihat naluri itu punya kaki yang bisa berjalan sendiri! Duaaang!!!" Teriaknya tidak sabar menimpuk kepala kakaknya dengan botol air mineral.
Verlona menyalakan televisi di ruang tengah, sambil tengkurap mencari stasiun televisi swasta.
Daniel duduk di sebelahnya.
"Kamu satu pekan menjauhiku, kenapa sekarang sepanjang hari menempel seperti lem????!" Keluh gadis itu, masih memencet tombol remote control.
"Aku menjauhimu, kamu mengeluh! sekarang aku menempel kamu bilang aku lem??! sebenarnya apa maumu???" Menarik bantal yang ada di bawah tubuh Verlona.
Verlona menahan bantalnya dengan wajah cemberut, tidak membiarkan Daniel merebut darinya.
"Kamu bahkan melihatku seperti melihat kotoran!" Ujarnya berterus terang.
"Dari mana kamu tahu aku melihatmu seperti orang yang melihat kotoran??" Tidak terima, lalu meraih Lona ke dalam pelukannya.
Daniel menatap wajah Lona dengan jarak lima belas sentimeter.
"Dari caramu melihatku, aku mengetahuinya! dari caramu mengabaikanku!" Ungkapnya lagi.
"Kamu salah sangka! aku tidak pernah memandangmu seperti memandang kotoran! aku saat itu marah padamu! aku marah kamu sepanjang hari bersamanya!"
"Aku dan kakakku, dia menahan ponselku, dan aku tidak bisa keluar dari dalam rumahnya." Jelasnya pada kakak sepupunya itu.
"Sekarang aku ingin kamu bertanggung jawab atas tindakanmu selama ini! sebelum kamu menyelesaikan tanggung jawabmu! jangan harap kamu bisa pergi!" Masih menahan tubuh Verlona dengan kedua lengannya.
"Kakak.." Panggilnya dengan suara lirih..
"Apa?" Tanya Daniel tidak mengerti.
"Kamu terlalu erat memelukku, aku tidak bisa bernafas.." Meringis kesakitan.
Daniel merenggangkan pelukannya, tapi masih tidak mau melepaskan pelukannya.
"Kakak.."
"Kenapa lagi?"
"Jangan memelukku seperti ini."
"Sebelum kamu benar-benar berjanji untuk tidak pergi, dan mau bertanggung jawab atas tindakanmu. Aku tidak akan pernah melepaskanmu." Masih terus menatap wajah Verlona.
"Kamu membuatku takut!" Beringsut mundur, tapi Daniel menariknya kembali.
"Kakak?" Panggilnya lagi.
Hembusan nafas pria itu terasa hangat menyapu wajah Lona.
Daniel masih menatap wajah Verlona. Menempelkan ujung hidungnya di ujung hidung Verlona. Perlahan-lahan kembali mendekatkan bibirnya.
"Huuaaaaahhh!" Gadis itu tiba-tiba menguap, mengerjapkan matanya beberapa kali. Melepaskan pelukan hangat Daniel, berdiri melangkah menuju kamar tidur.
"Kamu sengaja membuatku terlihat bodoh! buaaakkkkk!" Teriaknya sambil melemparkan bantal ke arah pintu kamar Verlona.
Verlona mengunci pintu kamarnya dengan kunci engsel. Sudah berkali-kali kakak sepupunya itu menerobos masuk ke dalam, dia membuka kunci pintu kamarnya dengan kunci cadangan.
Tebakan gadis itu benar, setengah jam kemudian terdengar suara kunci pintu kamarnya berputar.
"Besok aku harus pergi! jika tidak, aku tidak bisa menjamin diriku bisa selamat dari genggaman pria yang mulai menggila itu!" Gerutunya lalu terlelap.
Entah bagaimana caranya saat dia terjaga dirinya sudah berada di dalam dekapan Daniel.
"Kamu sudah bangun?" Tanyanya sambil tersenyum.
"Dasar pria gila! bagaimana mungkin kamu bisa masuk ke dalam kamarku?!" Verlona segera turun dari tempat tidurnya, dia melihat ke arah daun jendela.
Gadis itu baru ingat, kebiasaannya selalu membiarkan jendela kamarnya tidak terkunci.
Verlona sudah bersiap-siap, gaun indah berwarna ungu muda selutut membalut kulit tubuhnya yang mulus, Daniel juga sudah memakai pakaian rapi bersiap untuk pergi ke kampus.
Pria itu memakai jam tangan, dia berdiri di depan pintu kamar Verlona. Sengaja menunggunya, untuk pergi bersama-sama ke kampus.
Verlona berkacak pinggang menatap marah wajah kakak sepupunya itu.
"Kenapa malah mendelik? ayo buruan berangkat!" Berjalan mendekat hendak meraih tangan Verlona.
Verlona sengaja mengangkat tangannya menghindari genggaman kakak sepupunya itu. Lalu menyeret kopernya keluar dari dalam kamar menuju mobilnya sendiri.
"Kamu serius akan pergi?" Tanyanya lagi, pria itu terus mengekor kemanapun Lona melangkah.
Lona hanya melihatnya sekilas lalu membuka pintu mobil.
"Braaakkkk!" Daniel membanting menutup pintu mobil itu kembali.
Dia menghimpit tubuh Verlona di depan mobilnya menahan kedua tangannya dan mengulum habis bibirnya.
"Aku sudah bilang kamu tidak boleh pergi!" Menatap wajah Verlona dengan tatapan mata tajam memaksa. Baru kali ini Verlona melihat sisi dingin pada Daniel.
Pria itu dengan wajah serius mengambil koper Verlona, kembali memasukkannya ke dalam kamarnya.
Verlona berlari mengejar mengikutinya dari belakang punggungnya.
"Tapi kak, Lona sudah mengambil penerbangan hari ini. Lona harus pergi." Gadis itu menatap wajah kakak sepupunya itu.
"Apa kamu berniat untuk membatalkan pernikahan kita!" Teriaknya sudah tidak sabar lagi.
"Apa maksudmu??" Lona menjatuhkan tasnya ke lantai menatap bingung ke arahnya.
"Kita akan menikah satu bulan lagi, aku sudah menelepon paman Eldana semalam."
"Kenapa kakak tidak membicarakan tentang pernikahan itu terlebih dahulu padaku?" Lona menjatuhkan tubuhnya di atas sofa.
Daniel melangkah masuk mendekat ke arahnya, pria itu berjongkok di depannya menggenggam jemari tangannya lalu menciumnya.
"Bukankah kamu juga menginginkan pernikahan kita?" Masih menatap lekat-lekat wajah adik sepupunya itu.
"Maafkan aku kak, Lona tidak bisa." Gadis itu menarik tangannya dari genggaman Daniel, dia berdiri dan kembali menyeret kopernya keluar dari dalam kamar.
"Braaakkkkkkk!" Daniel melangkah lebar merebut kembali kopernya dan membantingnya di tengah ruangan. Barang dan pakaian Verlona jatuh berserakan di lantai. Roda kopernya juga patah.
"Apa kamu sedang memainkan perasaanku?! kamu satu minggu yang lalu juga menyatakan bahwa kamu menginginkanku! dan sekarang kamu ingin membuangku seperti sampah?!" Teriaknya pada gadis itu.
"Tidak! aku tidak berfikir membuangmu seperti sampah! kamu tetaplah kakak sepupuku." Verlona memunguti baju-baju miliknya dari atas lantai.
"Kamu tidak akan bisa membuangku, ataupun menyingkirkanku! Dan jangan harap aku akan membiarkanmu pergi dariku!"
"Pernikahan kita akan tetap berlangsung!"
Teriaknya lagi sambil mencengkeram kuat lengan adik sepupunya, mengguncang tubuh Verlona.
"Kakak, lepaskan aku, sakit!" Gadis itu meneteskan air matanya.
"Pernahkah kakak mempercayaiku sekali saja? aku tidak ingin menikah dengan pria yang terus menanam keraguan di dalam hatinya.."
"Aku melihat sisimu yang itu, dan aku juga sudah menghapus perasaanku padamu." Jelasnya lagi sambil menangis.
"Entah aku meragukanmu atau tidak, kamu akan tetap menikah denganku! jangan berfikir untuk lari atau kabur!" Ucapnya lagi tidak mau diganggu gugat.
Daniel melihat Verlona mulai jatuh cinta pada kakak angkatnya sendiri, dan dia tidak akan membiarkan gadis itu menderita. Daniel memaksakan pernikahan dengannya karena dia ingin melindunginya.
Dia tidak ingin melihat kesulitan dalam hidupnya. Dia sudah dijauhkan dari Erlando Eldana oleh papanya untuk menjaga keutuhan keluarga Eldana.
Tapi gadis itu kini telah mulai menumbuhkan benih rasa cinta pada kakak angkatnya sendiri.
Daniel berangkat menuju ke kampus, dia meninggalkan gadis itu sendirian di dalam rumahnya. Dalam fikirannya campur aduk tentang perasaannya pada Verlona.
Lona mau tidak mau ikut pergi ke kampus, menyusulnya.
Dia sampai di parkiran kampus melihat Daniel sedang berbicara dengan Erlangga. Mereka berdua sedang membahas soal ujian kelulusan.
Daniel melihat Verlona sedang berada di belakang kemudi menatap ke arahnya.
Gadis itu segera turun dari mobilnya dan melangkah santai menuju ke dalam kelasnya. Daniel membiarkan gadis itu melalui harinya di kampus berjalan seperti biasa.
Pekan depan adalah hari libur satu minggu akhir tahun. Kampus jingga akan mengadakan workshop di daerah pegunungan menjelang kelulusan, seluruh mahasiswa diwajibkan untuk mengikutinya.
Acara tersebut diadakan tepat lima hari sebelum hari pernikahan dirinya dengan Daniel Pratama.
Aiden memegangi poninya seolah menghitung helai demi helai rambutnya sambil mendengarkan ulasan untuk acara tersebut.
Agasta menopang dagunya dengan kedua tangannya.
Verlona sendiri malah membenamkan wajahnya di atas meja.
"Apa kamu tidak tertarik untuk mengikuti acara akhir tahun?" Tanya Aiden padanya.
"Malas sekali, sangat membosankan." Ujarnya tanpa ingin mengangkat kepalanya. Sudah berkali-kali dia mengikuti acara akhir tahun seperti itu.
Di akhir acara Verlona selalu mendapatkan penghargaan dan pengakuan prestasinya. Dia sudah familiar dengan acara seminar seperti ini.
Acara tersebut akan di adakan bersama-sama dengan beberapa kampus lain. Tidak hanya kampus jingga.
Hari demi hari berlalu seperti biasa, Daniel tidak lagi mengganggunya saat berada di rumah.