Bab 14. Defa

1189 Kata
Vio mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk melawan preman itu. Entah keberuntungan atau apa, Vio melihat ada balok kayu yang cukup kuat untuk memukul preman itu. Dengan langkah hati-hati Vio mendekat dan dia pun langsung memukul area yang membuat orang langsung pingsan. Dua preman itu langsung pingsan di tempat. "Mbak, ayo mbak, cepat bangun. Mbak tidak mau kan, jika preman-preman ini bangun dan akan manarik-narik mbak lagi?" tanya Vio dengan mata yang menatap bergantian wanita itu dan kedua preman yang masih pingsan. Wanita itu masih diam, "Mbak, ayo mbak," ucap Vio yang terdengar panik itu. "Saya tidak bisa membantu mbak lagi kalau mbak tidak ingin segera bangun dan pergi dari sini. Saya juga tidak bisa membantu mbak untuk berjalan" ucap Vio. "Kenapa, aku butuh bantuanmu. Kakiku masih gemetar karena takut," ucap wanita itu. Vio yang melihat pergerakan salah satu preman akhirnya menarik tangan wanita itu. Walau dia harus manahan rasa ketakutannya itu. Banyang-banyang Jarek pun tiba-tiba melintas. Saat ini rasanya dia ingin berteriak histeris. Tapi ada seseorang yang membutuhkan bantuan, bahkan Vio bukan hanya sekedar menarik, kini Vio merangkul piggang wanita itu, satu tangan wanita itu ia kalungkan ke lehernya. Tubuh wanita itu sedikit terangkat agar bisa cepat pergi dari sana. Vio benar-benar sudah hampir kehilangan kewarasannya karena kejadianya dengan Jarek itu terputar bagaikan kaset rusak di otaknya. "Tunggu, mobil saya," ucap wanita itu membuat Vio menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah wanita di sampingnya. "Dimana mobi, mbak?" tanya Vio. "Itu, sebelah sana," jawab wanita itu seraya menunjuk di mana mobilnya berada. "Akan saya antarkan mbak ke mobil, setelah itu mbak segeralah pergi dari sini sebelum preman-preman itu menyusul mbak," ucap Vio. "Tapi mobil saya mogok," jawab wanita itu. "Mobil mbak sudah terkunci rapat, kan?" tanya Vio. "Sudah," jawab wanita itu. Vio mengangguk dan ia kembali berjalan dengan masih memeluk pinggang wanita itu dan tangan wanita itu meligkar di lehernya. Ia berjalan cepat karena ia mendengar teriakan laki-laki yang ia pastikan itu preman tadi yang sudah sadar dari pingsannya. "Mbak, mau di bawa kemana saya? Saya harus ke mobil saya," ucap wanita itu. "Ke mobil dan mbak tertangkap lagi oleh preman itu, atau mbak ikut saya?" tanya Vio yang menatap lurus ke depan dengan terus mempercepat langkahnya. Wanit itu tidak menjawab, jadi Vio terus melangkah cepat dan membawa wanita itu ke tempat yang ia rasa aman dari kejaran para preman itu. Vio membekap mulut wanita itu agar tidak berbicara karena satu preman sedang ada di dekat mereka. Di rasa aman, Vio segera menjauhkan tubuhnya dari wanita itu dan meminta maaf atas apa yang baru saja ia lakukan. "Saya akan pesankan taxi online untuk mbak," ucap Vio yang kemudian mengambil handphonenya. Vio menjatuhkan handphonenya karena tanganya yang bergetar. "Mbak, apa alamat rumah mbak?" tanya Vio seraya menatap wanita itu. Wanita itu memperhatikan wajah pucat pasi Vio dan keringat yang membasahi pelipis Vio. Ia kemudian melihat ke arah tubuh Vio, ia pun bisa melihat tangan Vio yang bergetar. "Mbak, pesanlah," ucap Vio seraya mengulurkan handphonenya pada wanita itu. "Apa mbak tidak apa-apa?" tanya wanita itu dengan raut wajah tidak bisa di artikan. "Cepat pesan mbak, saya harus segera pulang juga," ucap Vio tanpa menjawab pertanyaan dari wanita itu. Wanita itu segera mengecek keadaan Vio, dirinya adalah seorang dokter jadi paham jika ada sesuatu yang terjadi dengan Vio. Vio segera menepis tangan wanita itu. "Apa yang mbak lakukan?" tanya Vio seraya menatap wanita itu. Wanita itu bisa melihat dari dekat bagaimana tatapan Vio sekarang. "Apa yang terjadi? Katakan mbak, biar saya bantu mbak," ucap wanita itu. "Saya seorang dokter," ucap wanita itu lagi. "Segeralah memesan taxi, dok. Saya harus segera pulang," ucp Vio tanpa menjawab pertanyaan dari dokter tersebut. "Bernafaslah dengan tenang mbak." ucap dokter tersebut. Vio tidak menjawab, wanita itu pun memesan taxi. Saat ia sedang memesan taxi, sebuah panggilan masuk tampil di layar handphone Vio. Wanita itu mengernyitkan dahinya, ketika melihat foto dari si penelpon. Foto pria yang sangat ia kenali. "Mbak, ada yang menelpon," ucap wanita itu seraya mengulurkan handphonenya. Vio menerima handphonenya, ketika melihat siapa yang menelpon, ia pun langsung mematikan sambungan telponnya. "Dokter sudah memesan taxinya?" tanya Vio yang wajahnya masih begitu pucat. "Belum, mbak," jawab wanita itu kemudian menerima handphone Vio lagi. Wanita itu segera memesan taxinya, tetapi nama yang sama sewaktu menelpon kembali tampil di layar handphone Vio. "Mbak, orang yang tadi menelpon," ucap wanita itu. "Matikan saja mbak," jawab Vio. "Ini bukan jam kerja saya, jadi lebih baik mbak matikan saja jika nama bos itu muncul," ucap Vio lagi dan wanita itu pun mereject panggila bos Vio yang tidak lain adalah Jarek. Setelah memesan taxinya, wanita itu mengembalikan handphone Vio. Keadaan Vio sudah jauh lebih baik walau wajahnya masih pucat. Vio hanya memeluk tubuhnya sendiri dengan kedua kaki tertekuk dan ia peluk. Wanita itu hanya diam memperhatikan Vio. Mobil taxi yang di pesan sudah datang dan Vio mengantarkan wanita itu ke mobil taxi, "mbak, ayo ikut saya. Biar saya antarkan pulang," ucap wanita itu. "Tidak perlu, dok, saya bisa pulang sendiri," jawab Vio. "Tidak apa-apa mbak, dari pada preman tadi nantinya malah mengganggu, mbak," ucap wanita itu. Vio menimbang beberapa saat sebelum ia menganggukkan kepalanya. Wanita itu tersenyum, ia kemudian masuk terlebih dahulu setelah itu barulahVio masuk. "Mbak tinggal dimana?" tanya wanita itu. "Appartement xxx," jawab Vio. Wanita itu meminta supir taxi mengantarkan mereka ke appartement yang di maksud dan wanita itu juga berkata jika ia akan membayar dua kali lipat jika di antarkan terlebih dahulu ke appartement yang Vio sebutkan. Supir taxi pun mengantarkan mereka ke appartement Vio. "Oh iya, perkenalkan nama saya Defa," ucap dokter Defa seraya mengulurkan tangannya. Ia memperkenalkan namanya ketika mobil sudah mulai melaju meninggalkan tempat itu. "Vio," jawab Vio seraya menangkupkan tangannya di depan d**a saat Defa mengulurkan tangannya. Defa mengenyitkan dahinya, ia bukan laki-laki, tapi, kenapa Vio malah menangkupkan tanganya, alih-alih harus berjabatan tangan dengannya. "Ah, iya," ucap Defa yang hanya bisa bingung dengan sikap Vio. Namun, ia ingat bagaimana tadi Vio yang wajahnya pucat pasi bahkan kedua tangannya bergetar. Vio mengambil handphonennya yang kembali berdering, Defa sempat melihat siapa yang menelpon. Vio kembali mematikan panggilannya tanpa peduli jika mungkin esok ia akan mendapaat amarah bosya. Taxi pun sampai di apartement Vio, Vio keluar dari taxi dan akan membayar taxi tapi Defa mengatakan jika dia yang akan membayar. Vio pun mengucapkan terima kasih kemudian masuk ke dalam. Taxi pun menjauh, Vio pun masuk ke apartemenynya dan tidak lupa menyapa satpam apartement. Didalam mobil, tidak sengaja Defa menyentuh sesuatu. Ternyata sebuah handphone. "Apa ini handphone Vio?" tanyanya pada diri sendiri, ia pun memastikan dengan menekan tombol layar untuk memastikan dan benar saja, jika itu handphone Vio. Defa pun memutuskan untuk kembali ke apartemant Vio. Setelah sampai Defa meminta supir taxi menunggu karena dirinya hanya ingin mengembalikan handphone Vio sebentar. Supir taxi pun mau menunggu, ia pun segera bertanya pada satpam tentang wanita yang baru saja masuk memakai hoodie berwarna hitam itu tinggal di mana. Satpam memberitahu karena Defa mengatakan jika ia ingin mengembalikan handphone Vio yang tertinggal di mobil taxi. Setelah satpam memberi tahu Defa pun segera masuk dan akan menuju lift. Namun, apa yang ia lihat sekarang di depa lift? Ia hanya mampu terdiam di tempatnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN