Bab 16. Tolong, Pergi

1116 Kata
Jarek berjalan medekati Vio, Vio pun berusaha lari dari sana. Ia mecoba menghindari Jarek hingga dirinya akan masuk ke kamarnya dan mengunci pintu kamarnya, tetapi terlambat karena Jarek segera menariknya ke dalam pelukannya. Ia memberontak, berusaha lepas dari Jarek. Menangis, Vio mulai menangis dan berteriak karena tidak ingin di perkosa lagi. Jarek semakin mengeratkan pelukannya, "berhentilah berteriak dan menangis, saya hanya igin kamu ikut dengan saya ke acara kantor," ucap Jarek di sela-sela Vio yang terus berteriak. Vio sama sekali tidak mendengar apa yang Jarek katakan, karena yang ia dengar dan isi kepalanya hanya berusaha untuk lepas dari Jarek. Vio tidak bisa mengendalikan dirinya sama sekali saat ini. Ia butuh obatnya, tetapi bagaimana bisa meminum obatnya jika Jarek seperti ini. Jarek mengurai pelukannya dan memegang kedua bahu Vio dengan kuat. "Vio, berhenti!" tegas Jareka dengan nada meninggi. Vio tidak menghentikan tangisannya, tetapi ia semakin berusaha mendoroang tubuh Jarek menjauh. Tangisannya juga begitu keras, kata-kata memohonnya sampai tidak terdengar jelas."Berhenti menangis atau saya benar-benar akan mengganti pakaianmu!" marah Jarek bahkan tatapannya sudah sangat marah. Namun, Vio sama sekali tidak berhenti menangis dan berusaha lepas dari dirinya. Jarek mengambil handphonenya dan menelpon temannya yang istrinya seorang dokter untuk datang ke appartement Vio. Katakan pada resepsionist jika dirinya akan ke kamar 301 di perintahkan oleh Jarek Anderson. Setelah itu Jarek yang memang sudah melapaskan Vio tetapi tidak membiarkan pintu kamar Vio tertutup. Ia pun kini menatap Vio yang duduk di samping tempat tidur dengan memeluk kakinya dan terus menangis serta bergumam untuk tidak di lakukan lagi. Jarek terus menatap Vio tanpa ingin beranjak dari depan kamar Vio selain dirinya yang membukakan pintu appartement yang saat ini terdengar ada yang mengetuk. Seorang wanita dan seoarang pria itu pun masuk ke dalam appartemen ketika Jarek sudah mempersilakan masuk. "Ada apa nyuruh gua bawa istri gua ke sini? Dan ini appart siapa?" tanya pria itu seraya memicingkan matanya. "Cal, orangnya di dalam. Tolong periksa, ya," ucap Jarek seraya menatap seorang wanita yang adalah dokter. "Oke," jawab Calista – dokter wanita itu. "Bajing** gua tanya di cuekin!" ucap pria itu yang tidak lain adalah Dean. Satu pukulan pun mendarat di belakang kepalanya setelah mengumpat. "Hehe, maaf sayang, kelepasan," ucap Dean seraya tersenyum memamerkan giginya pada Calista yang menatapnya kesal. Dean pun duduk di sofa yang ada di sana sedangkan Calista masuk ke kamar. Jarek pun mengikuti Calista ke kamar, tetapi ia hanya menunggu di depan kamar Vio. Ia bisa melihat Calista yang mendekati Vio dan Vio kembali menangis. Calista terus mencoba berbicara hingga Vio menatap ke arah Calista. "Semua akan baik-baik saja, mbak tenang ya. Saya dokter, jadi mbak jangan takut lagi ya," ucap Calista. Vio masih terdiam dengan air mata yang masih mengalir di pipinya. Calista bisa melihat tatapan sedih Vio, Vio juga terlihat sangat berantakan menurutnya. Calista kembali mendekat, tetapi Vio menjauh. "Tolong pergi, dok," pinta Vio. "Saya periksa terlebih dahulu, ya. Setelah itu saya akan pergi," ucap Calista dengan nada suara lembutnya. Jarek berjalan masuk karena dirinya yang kahwatir dengan sikap Vio, tetapi Vio tidak mau di periksa padahal yang memeriksanya juga dokter wanita. Vio segera beringsut menjauh ketika menyadari Jarek di hadapannya. "Pak, jangan," mohon Vio yang reflek ia lontarkan ketika melihat Jarek. Ia sekarang menjadi bingung karena di kanan dan kirinya ada orang. Dean yang tadinya menunggu di ruang tamu sekarang ikutan masuk ke dalam kamar. Jarek berjongkok dan mendekatkan dirinya ke Vio. "Kamu harus di periksa," ucap Jarek dengan nada suara lembut membuat Calista juga Dean cukup terkejut dengan cara Jarek berkata. Jarek bukan tipe orang yang berbicara dengan lembut seperti ini. Sepanjang mereka mengenal, Jarek tipe orang yang irit bicara dan terkesan suaranya itu datar tidak banyak ekpresi. Dean mengernyitkan dahinya ketika menyadari sesuatu. "Bukankah itu Vio?" tanya Dean dalam hati. Vio berusah untuk menghindar, tetapi tidak ada jalan selain ia kembali meringkuk dengan memeluk kakinya yang tertekuk. "Pak pergi, saya mohon, " mohon Vio dengan suara bergetar takut. Calista memperhatikan hal itu, Jarek kembali mendekat. "Kamu harus di periksa, Vi. Biarkan dokter Calista memeriksa mu. Aku akan menunggu di luar, tapi kamu harus mau di periksa. Atau kamu mau aku memaksamu untuk pergi ke rumah sakit?" tanya Jarek dengan nada peringatan di akhir kalimatnya. "Bapak pergi, pak," ucap Vio masih memeluk kakinya suaranya serak dan juga ketakutan. "Lakukan sesuatu, Cal," ucap Jarek seraya menatap Calista. "Tinggalkan dia sendiri, itu caranya," ucap Calista kemudian berdiri dari jongkoknya. "Tidak bisa, dia harus pergi denganku," tolak Jarek menatap marah pada Calista. "Lakukanlah, karena aku tidak bisa membantumu. Dia hanya butuh waktu sendiri," ucap Calista kemudian mengambil sebuah botol obat yang ada di samping tempat tidur. "Dean, tolong ambilkan air minum," ucap Calista seraya menatap Dean. Dean pun mengambilkan air minum, Calista sudah berjongkok di depan Vio yang masih terduduk dengan memeluk kakinya. "Minumlah obatmu," ucap Calista seraya meletakkan obat di depan Vio. Vio mengangkat kepalanya dan menatap Calista yang tersenyum padanya. "Minumlah, aku pastikan tidak akan ada yang mengganggumu," ucap Calista lagi seraya tersenyum. Vio menggelengkan kepalanya, "aku akan tertidur, aku tidak mau tertidur. Dokter pergi saja," ucap Vio dengan nada suara seraknya. "Aku akan menemanimu, memastikan semuanya baik-baik saja. Percayalah, aku tidak akan membuatmu kenapa-napa," ucap Calista dengan nada suara lembutnya. Vio menatap ke arah Jarek yang juga menatapnya, "kamu tenang, dia tidak akan mengganggumu setelah kamu meminum obatmu," ucap Calista lagi masih tersenyum. "Apa kamu sudah lebih baik tanpa harus minum obatmu?" tanya Calista karena ia melihat Vio lebih tenang walau raut ketakutan itu masih ada. Vio menggelengkan kepalanya, "jadi, minumlah obat," ucap Calista. Vio menggelengkan kepalanya, "dokter pergi saja," ucap Vio. "Bapak juga pergi, saya tidak bisa pergi ke hotel. Maaf pak," ucap Vio seraya menatap Jarek, hanya sebentar sebelum ia mengalihkan pandangannya ke arah Calista. "Saya ingin kamu tetap ikut," ucap Jarek seraya menatap Vio serius. Calista menatap suaminya dan Dean pun paham jika sang istri memintanya untuk membawa Jarek dari sana. "Ikut gua," ucap Dean dan menarik lengan Jarek. "Lo apa-apaan, sih!" marah Jarek seraya menepis tangan Dean. "Lo yang apa-apaan, brengse*! Ikut gua sekarang!" marah Dean dengan suara meninggi. Calista memejamkan matanya mendengar keributan ini. Vio menutup telinganya dan menatap takut ke arah Jarek dan Dean. "Gua mau ..." "Ikut gua brengse*!" umpat Dean membuat Jarek langsung naik pitam. Ia segera berdiri dan memukul Dean. Tetapi Dean untungnya sigap menghindar. Ia pun segera keluar dari kamar yang tentu saja langsung di ikuti oleh Jarek. Calista segera berdiri dan langsung menutup pintu kamar Vio. Setelahnya, ia pun kembali ke Vio. "Sudah aman sekarang, kamu bisa meminum obatmu," ucap Calista seraya tersenyum. Ia mengambilkan obat untuk Vio, mengulurkannya pada Vio. Vio menatap obatnya kemudian menatap Calista. "Aku pastikan si Jerk itu tidak akan mengganggumu," ucap Calista meyakinkan Vio. Vio pun mengambil obatnya dan meminumnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN