Dengan langkah yah lebar dan ekspresi wajah yang marah, Luna berjalan masuk ke dalam rumahnya. Ia sangat benci dengan kakaknya karena selalu mengekang kehidupannya. Padahal ia ingin seperti gadis lain yang merasakan arti kebebasan gadis seumurannya. Tapi lagi-lagi kakaknya selalu saja tak memberikan dirinya kebebasan.
"Aluna Ritz sit down now. Kakak belum selesai berbicara," teriak William kepada Luna adiknya.
"Aku gak mau bicara sama kakak lagi. Aku benci sama kakak. Pokoknya aku gak mau ngomong sama kakak lagi." Luna pun mengacuhkan sang kakak dan memilih masuk ke kamarnya.
William pun melihat adiknya sudah masuk ke kamarnya. Dan ia mendengar Luna membanting pintu kamarnya karena ia marah dengan kakaknya. Ia tahu jika adiknya hanya ingin perhatian darinya. Sehingga ia selalu melakukan tindakan-tindakan yang membuatnya marah. William pun melangkahkan kakinya menuju kamar sang adik. Ia harus membujuk adiknya untuk bisa memaafkan dirinya. Ia pun membuka pintu kamar sang adik. Dan ia melihat sang adik masih saja menangis karena dirinya.
"Luna kakak tahu kakak belum bisa jadi kakak yang terbaik buat kamu. Dan kakak juga gak punya banyak waktu buat kamu. Karena kamu tahu sendiri kakak punya tanggung jawab dengan perusahan yang ditinggalkan papa. Jadi kakak berharap kamu bisa mengerti posisi kakak." William pun mulai membuka pembicaraan.
Luna yang mendengar kakaknya berbicara langsung mendudukkan tubuhnya dan menghadap ke arah William.
"Aku tahu kakak sekarang bukan kakak aku yang dulu lagi. Karena sejak papa meninggal kakak diberi tanggung jawab untuk melanjutkan perusahan papa. Aku bisa mengerti itu kak. Tapi aku cuma minta waktu kakak yang sedikit itu buat aku. Aku ingin seperti teman-teman aku di luar sana yang bisa menikmati waktu kebersamaan mereka bersama keluarganya masing-masing. Sedangkan aku hanya selalu sendirian. Atau mungkin jika aku pergi hanya Rossy dan beberapa pengawal yang ikut pergi. Apa kakak gak pernah merasa kalau aku kesepian?" tanya Luna pada sang kakak.
William sedikit tertegun mendengar isi hati sang adik. Ia tahu kalau dirinya memang tidak memiliki waktu dengan Luna karena ia harus menjalankan tanggung jawab yang besar yang telah papanya berikan padanya. Dan ia sedikit melupakan jika Luna juga butuh dirinya. Ia butuh sosok kakak yang ada disampingnya. Walaupun William sudah memberikan fasilitas yang banyak tetap saja Luna kesepian saat ini. Dan ia hanya meminta sedikit waktunya saja.
"Maafin kakak kalau kakak gak mengerti tentang kamu. Kakak akan mencoba untuk meluangkan waktu buat kamu. Tapi kakak mau kamu mengerti kalau kakak melakukan semua ini juga untuk kamu. Kakak mau memberikan yang terbaik buat kamu," kata William sambil memandang wajah sang adik penuh sayang.
Luna pun terharu dengan perkataan yang sang kakak ucapkan padanya. Setidaknya sekarang sang kakak sudah mengerti apa maksud dirinya. Dan sang kakak juga mau mencoba meluangkan waktu untuknya. Luna pun langsung menghambur ke pelukan sang kakak. Dan menangis dalam pelukan sang kakak.
"Makasi kak. Luna tahu kalau kakak sibuk. Tapi Luna senang kalau kakak mau mencoba meluangkan waktu kakak dengan Luna. Dan Luna berjanji tidak akan berulah lagi mulai sekarang." Luna pun semakin erat memeluk kakaknya.
William pun membalas pelukan dari sang adik. Bahkan ia menghadiahkan sang adik sebuah ciuman di pucuk kepala sang adik penuh rasa sayang.
"Besok kakak akan pergi ke Jepang selama seminggu buat ngurusin kerjaan disana. Kamu mau ikut kakak kesana? Nanti kalau kerjaan kakak udah selesai kita bisa jalan-jalan," kata William menawarkan liburan bersama sang adik.
"Aku mau kak Liam." Terlihat ekspresi wajah Luna kembali cerah ketika mendengar bahwa sang kakak mengajaknya liburan bersama.
"Ya udah sekarang kamu mandi dan istirahat. Besok kita berangkat ke Jepang sama-sama. Nanti biar kakak suruh pelayan bawakan kamu s**u coklat panas buat kamu." William tak akan pernah kebiasaan sang adik yang selalu meminum s**u coklat hangat sebelum tidur.
"Ok kak. Makasih ya kak." Dengan raut wajah senang Luna pun langsung bergegas masuk ke kamar mandinya.
Sedangkan Wiliam pun hanya bisa tersenyum melihat tingkah lucu sang adik yang bisa berubah hanya dalam hitungan menit saja.
"Xander besok Luna akan ikut saya ke Jepang. Jadi kamu pastikan keamanan untuk Luna juga. Dan persiapkan semuanya untuk keberangkatan saya dan Luna ke Jepang," perintah William ketika berbicara dengan Xander.
"Baik tuan. Saya akan mempersiapkan semuanya." Xander pun keluar dari ruang kerja William dan langsung melakukan perintah sang tuan.
William kembali duduk di kursi kerjanya. Ia sedang memandang fotonya bersama mama, papa, dan juga Luna. Foto yang akan selalu William rindukan sampai detik ini. Ia merasa baru kemarin dirinya merasakan kehangatan sebuah keluarga tapi dengan cepat rasa kekeluargaan itu diambil dalam sekejap hingga membuatnya harus hidup tanpa keluarga yang lengkap lagi.
"Ma, pa William kangen kalian. Andai saja mama dan papa masih disini mungkin suasana rumah ini gak akan sepi seperti ini." William pun hanya bisa memandang foto itu sambil mengingat kenangan masa lalu yang indah bersama kedua orang tuanya.
Sementara itu disebuah kamar tampak seorang gadis sedang terlelap tidur karena kemarin seharian ia harus kerja keras bekerja. Untung saja hari ini ia mendapatkan shift kerja siang jadi ia bisa bangun lebih siang untuk bisa melepaskan rasa lelahnya seharian bekerja kemarin. Ketika sedang tidur dengan nyenyaknya, tiba-tiba dering telepon mengganggu tidur nyenyaknya.
Dengan mata yang masih setengah terpenjam ia mencoba meraih HP jadul miliknya yang ia letakkan di meja dekat ranjangnya.
"Halo," jawab Eliza dengan mata yang terpejam.
"El toko roti kebakaran," kata seseorang di ujung telepon.
"Apa?" Eliza yang masih terpejam langsung membuat matanya ketika mendengar toko roti tempatnya bekerja kebakaran.
"Maksud kamu apa Mir?" tanya Eliza kepada Mira teman kerjanya.
"Aku gak bisa jelasin di telepon mending kamu langsung kesini aja. Cepat aku tunggu," kata Mira meminta Eliza untuk cepat datang.
"Ok aku kesana sekarang."
Setelah mematikan sambungan telepon dengan Mira, Eliza bergegas ke kamar mandi untuk bersiap.
"Om, El harus ke toko roti sekarang. Tadi teman El telepon kalau toko roti kebakaran," kata Eliza berpamitan dengan Om Rudi.
"Apa El? Kok bisa toko roti tempat kamu bekerja kebakaran?" tanya Om Rudi tak kalah panik.
"El juga belum tahu pastinya om. Makanya Eliza harus datang kesana. Om di rumah sendirian gak pa-pa kan?" Eliza pun sudah bersiap untuk berangkat sekarang.
"Ya udah sana kamu langsung berangkat aja. Om gak pa-pa kok." Om Rudi pun mengerti dan membiarkan Eliza pergi ke toko roti tempatnya bekerja.
Setelah berpamitan dengan Om Rudi, Eliza pun segera bergegas menuju toko roti tempatnya bekerja. Sepanjang perjalanan menuju ke toko roti itu Eliza terlihat sangat khawatir karena ia tak tahu bagaimana keadaan toko roti itu sekarang. Eliza pun mencoba untuk berpikiran positif saat ini. Karena ia tak mau berpikiran yang aneh-aneh dulu.
15 menit kemudian.....
Ekspresi wajah Eliza berubah sedih ketika ia sampai di depan toko roti tempatnya bekerja. Ternyata toko roti tempatnya bekerja sudah rata dengan tanah gara-gara kebakaran semalam. Dan Eliza tak bisa berkata apa-apa lagi.
"El kita gimana? Kalau toko roti ini kebakaran berarti kita gak bisa bekerja lagi. Padahal aku lagi butuh uang buat biaya sekolah adik aku," kata Mira yang sudah menangis di dekat Eliza.
"Aku gak tahu juga Mir. Aku juga masih merasa bingung. Aku juga butuh uang banyak buat beli obat om aku setiap bulannya. Sedangkan jika aku gak kerja gimana aku bisa dapat uang." Eliza pun tampak sangat sedih dengan peristiwa ini.
Eliza lagi-lagi tak bisa berpikir apa-apa lagi. Ia masih bingung dengan segala peristiwa yang baru ia alami. Ia bingung apa yang harus ia lakukan untuk ke depannya jika toko roti ini tidak beroperasi lagi. Padahal setiap bulan ia harus membutuhkan uang untuk biaya kontrol sang om dan biaya obatnya juga.
Happy reading