Hari-hari setelah lamaran itu berjalan seperti mimpi—tapi bukan mimpi ala drama Korea yang penuh bunga sakura berjatuhan dan soundtrack romantis di latar. Justru, ini mimpi versi realistis: udara pagi Jepang yang menggigit sampai membuat malas bangun, piring-piring kotor yang tetap menumpuk walau hati sedang berbunga, dan jadwal kerja di perpustakaan kampus yang tidak bisa Nayla tinggalkan. Tapi di sela rutinitas itulah, di antara secangkir kopi panas dan tumpukan dokumen legal yang membosankan, mereka mulai menyusun masa depan mereka. Secara diam-diam. Bukan karena malu, tapi karena mereka tahu—terlalu banyak suara bisa mengaburkan hal yang paling penting: niat mereka sendiri. *** “Kamu yakin kita gak perlu bikin pesta atau apa gitu?” Nayla bertanya sambil menyeruput cokelat panas