Selama makan, Nayla tidak berhenti menatap jarinya. Cincin itu—sebuah berlian mungil tapi berkilau—tampak terlalu cantik di tangannya. Jemarinya beberapa kali memutar-mutar cincin itu, seperti memastikan benda itu nyata. Adrian memperhatikan. “Kalau kamu tatap itu terus, cincinnya bisa malu dan lari loh.” Nayla mendengus. “Aku cuma … takut ini cuma mimpi. Besok bangun, semuanya hilang.” Adrian meletakkan garpu, lalu meraih tangannya di atas meja. “Kalau besok kamu bangun dan semua ini hilang … aku bakal lamar kamu lagi. Di tempat yang sama. Dengan cincin yang sama. Sampai kamu yakin.” Nayla mengedip pelan. “Itu manis … tapi juga agak menyeramkan, kamu tahu.” “Kenapa?” “Karena kedengarannya kayak kamu bakal ngikutin aku sampai ujung dunia.” Adrian tersenyum lebar. “Oh, itu udah masuk