Kamar hotel bergaya klasik Jepang itu terasa begitu sunyi. Lampu kuning temaram menyinari ruangan sederhana namun hangat. Tatami di lantai mengeluarkan aroma kayu yang menenangkan, sementara suara hujan rintik-rintik terdengar lembut dari balik kaca. Adrian duduk bersandar di dinding, masih mengenakan yukata putih yang dipinjamkan penginapan. Di hadapannya, Nayla berdiri diam. Rambutnya masih sedikit basah setelah mandi. Pipinya bersemu merah, bukan hanya karena hawa hangat, tapi karena gugup yang tak bisa ia sembunyikan. “Kamu yakin?” suara Adrian terdengar serak, menahan segala kemungkinan yang bisa membuat Nayla mundur. Tatapan matanya penuh kehati-hatian, tapi juga mengandung harap yang dalam. Nayla menggigit bibir. Ia menunduk sebentar sebelum mengangguk pelan. “Aku yakin. Kalau ma