Ia mengangkat kepala, menatap Adrian dalam-dalam. “Selama itu ... tolong jangan deketin aku dulu. Jangan nyari aku. Jangan DM. Jangan email soal skripsi. Aku butuh ini. Buat aku.” Adrian menarik napas panjang. Matanya sedikit berkaca, tapi tak ada air mata yang jatuh. Dia tahu Nayla serius. “Kalau itu yang kamu perlu ...,” ucapnya pelan. “Aku akan tunggu. Tapi janji satu hal.” Nayla menatapnya, hati berdegup. “Kalau kamu udah siap ... temui aku duluan. Jangan biarkan aku nunggu dalam tanda tanya terlalu lama.” Nayla mengangguk, lirih. “Aku janji.” Lalu, tanpa pelukan, tanpa genggaman tangan, Nayla berbalik dan berjalan pergi. Adrian tetap duduk di bangku, memandangi bayangannya menjauh perlahan—seperti sesuatu yang pernah dekat, tapi kini tak bisa digenggam. *** Hari-hari setelah