Sore itu, kamar kos Nayla terasa lebih sunyi dari biasanya. Hening yang bukan sekadar karena tak ada suara, tapi karena ada sesuatu yang hilang—seperti detak yang lupa caranya berdetak. Ia berbaring menyamping di atas kasur tipis yang sudah mulai lembek. Bantal guling dipeluk erat, seperti satu-satunya pegangan agar ia tak larut dalam kekosongan. Aroma deterjen dan matahari sore yang hangat masih melekat di kain sprei, tapi semua itu tak cukup untuk menenangkan pikirannya yang riuh. Cahaya keemasan menyelinap dari sela gorden, membentuk pola tembaga di dinding. Bayangannya bergeser pelan—seolah waktu berjalan dengan malas. Seolah tahu, pemilik kamar belum siap untuk bergerak ke menit berikutnya. Di tangan Nayla, ponsel menyala. Getarannya tak ada, tapi cahayanya cukup untuk menampar ken