“Beda gimana?” Nayla tersenyum tipis, tapi ada sedikit gugup di ujung bibirnya. “Beda yang bikin aku pengen ... lebih dari biasanya.” Adrian berdiri, jaraknya dengan Nayla hanya tinggal setengah langkah. Nafas mereka nyaris bertabrakan. Nayla sempat membuka mulut untuk membalas, tapi Adrian sudah lebih dulu menangkup wajahnya. Bibir mereka bertemu—hangat, dalam, tanpa permisi. Ciuman itu bukan hanya sekadar salam malam, tapi seperti undangan yang tak perlu kata-kata. Tangan Adrian turun ke pinggang Nayla, menariknya lebih dekat, sementara bibirnya menelusuri sudut bibir lalu turun ke rahang. Nayla memejamkan mata, tubuhnya merespon secara naluriah. Aroma Adrian, campuran sabun dan sedikit parfum yang familiar, membuat jantungnya berdetak lebih kencang. “Adrian ...,” bisik Nayla, nadany