Tokyo tidak bersuara keras seperti Jakarta. Tak ada klakson bertalu-talu, tak ada teriakan pedagang kaki lima di sudut jalan. Tapi justru dalam diamnya, Nayla bisa mendengar suara yang sudah lama ia abaikan—suara hatinya sendiri. Sudah lima hari sejak ia mendarat di Jepang. Lima hari sejak bandara Haneda menyambutnya dengan angin musim gugur yang lembut dan tatapan sepasang mata yang pernah menjadi rumah. Kini ia tinggal di sebuah asrama pelajar internasional di daerah Bunkyō, sebuah distrik tenang yang dipenuhi perpustakaan dan taman. Lokasinya hanya dua puluh menit dari kampus tempat Adrian mengajar—Tokyo University. Kamarnya mungil namun bersih: satu tempat tidur sempit, meja kayu polos, dan jendela besar yang menghadap taman belakang. Di luar, daun-daun maple berguguran perlahan se