Bandara Haneda, Tokyo. Musim gugur belum sepenuhnya tiba, tapi angin yang berembus membawa aroma dingin khasnya. Daun-daun mulai berubah warna di luar jendela kaca besar bandara. Di dalam, suasana hiruk pikuk: suara roda koper yang bergeser, pengumuman dalam tiga bahasa, dan derap langkah orang-orang yang terburu-buru atau berseri-seri menyambut orang tercinta. Adrian berdiri agak menjauh dari kerumunan, mengenakan hoodie hitam dan jaket bomber senada. Masker hitam menutupi sebagian besar wajahnya, menyisakan hanya sorot matanya yang tajam tapi gelisah. Ia tampak mencolok—bukan karena gaya, tapi karena tak bergerak, seperti patung di tengah keramaian. Matanya terus terpaku pada satu titik: gerbang kedatangan internasional. Tiap orang yang keluar dari sana membuat jantungnya berdetak le