Malam merayap perlahan. Apartemen yang biasanya jadi tempat paling nyaman untuk Nayla kini terasa seperti kandang singa—setiap sudutnya penuh tekanan. Seharian tadi, ia sudah “diperiksa” dari kulkas sampai bumbu dapur. Riana, dengan tatapan tajamnya yang nyaris seperti sinar-X, bisa menemukan kekurangan sekecil apa pun. Saking tegangnya, bahkan saat Nayla sudah berbaring di ranjang, tubuhnya tetap kaku. Gelap kamar hanya menambah resah. Dari sisi lain ranjang, Riana sudah lelap—ngorok. Nayla membuka mata, menatap langit-langit kamar. Ngorok itu keras, bukan sekadar dengkuran biasa. Ritmenya stabil, keras, lalu berhenti sejenak seakan napas terputus, lalu melanjutkan lagi. “Ya Allah, ini bukan ngorok, ini mesin diesel,” bisiknya sendiri, nyaris putus asa. Akhirnya, setelah berguling-gul