Malam itu. Langit Jakarta kembali menangis. Hujan turun pelan, nyaris malu-malu, tapi cukup untuk membuat jendela kamar Nayla basah oleh embun dan suara rintik yang menyayat sunyi. Nayla baru pulang dari fitting baju lamaran—ritual yang seharusnya menjadi bagian dari kisah cinta. Tapi yang ia rasakan hanyalah tubuh yang lelah karena berdiri terlalu lama, dan hati yang lebih lelah karena terus berdiri sendiri dalam hubungan yang bahkan tak ia pilih. Begitu sampai di kamar, Nayla menutup pintu pelan. Tak ada salam. Tak ada obrolan dengan ibu atau ayah. Ia langsung melempar tas ke sudut ruangan dan melepas blouse pastel yang masih meninggalkan bekas bedak dan parfum dari butik tadi. Lalu, ia duduk di ranjang dengan piyama favoritnya—warna abu-abu kusam, penuh kenangan, penuh rasa nyaman.