Esok paginya. Langit Jakarta masih redup. Udara pagi mengandung aroma nasi goreng dari dapur belakang, dicampur wangi teh melati yang mengepul di meja makan. Tapi bagi Nayla, semua itu hanya jadi latar dari hari yang terasa asing. Ia duduk di meja makan dengan wajah polos tanpa rias. Rambutnya dikuncir asal, dan mata sembabnya disembunyikan di balik tatapan hampa ke mangkuk bubur ayam yang mulai dingin. Sarapan itu disiapkan oleh ibu sambungnya—wanita baik yang tak pernah menyakitinya, tapi juga tak pernah benar-benar bisa memeluk lukanya. Suasana rumah sunyi. Tak ada obrolan pagi. Hanya suara sendok menyentuh mangkuk dan dentingan piring yang berpindah dari meja ke nampan. Lalu, suara klakson pelan terdengar dari luar. Ibunya buru-buru menuju pintu depan, dan tak lama kemudian suara