Hari-hari Nayla kini seperti drama yang ditulis orang lain. Ia hanya aktor figuran yang kebetulan diberi peran utama. Tapi dialognya bukan pilihannya, dan panggungnya terlalu asing untuk diinjak. Dulu, ia mahasiswi cerdas yang dikenal vokal di kelas. Penuh tawa. Ambisius. Sesekali keras kepala tapi selalu punya mimpi yang jelas. Dulu, ia gadis yang tertawa tanpa beban sambil menyuap mie ayam hangat di ambang jendela kos. Tangannya memukul-mukul lengan Adrian karena kuahnya tumpah ke bantal. Dulu, ia pacar dari dosen muda yang terlalu serius, tapi diam-diam manis. Sekarang? Ia hanya … seorang anak perempuan yang terlalu penat untuk melawan. Kini ia duduk diam di ruang tamu rumah besar calon mertuanya—ruang yang lebih mirip galeri mebel mewah ketimbang tempat tinggal manusia. Lampu ga