Beberapa hari kemudian, Nayla menyadari satu hal yang menohok— bahwa tanpa ia sadari, dirinya sudah masuk ke dalam proses pertunangan. Tidak ada lamaran resmi. Tidak ada cincin yang diselipkan dengan janji manis. Tidak ada pelukan hangat dari calon pria yang mencintainya. Hanya … kesepakatan keluarga. Kesepakatan yang terasa seperti stempel dingin di dokumen legal: hitam di atas putih, tanpa ruang untuk kata “setuju” dari dirinya. Pagi itu, ia baru saja pulang dari kampus. Matanya lelah. Pundaknya pegal. Ranselnya setengah terbuka karena skripsi dan buku catatan berhamburan. Tapi belum sempat ia rebahkan tubuh, ponselnya bergetar di atas meja. Rendy. Nayla menarik napas, lalu menjawab. “Halo?” “Besok kamu ikut ke Bandung, ya?” suara Rendy terdengar biasa. Terlalu biasa. “