“Kalau benar itu mantannya,” kata Rani akhirnya, tenang tapi penuh tekanan, “dan mereka masih punya urusan yang belum selesai, lo harus siapin strategi.” Nayla mengangkat kepala. “Apa maksud lo?” Rani menatap sahabatnya dengan sorot tajam. “Lo udah di depan garis finish, Nay. Jangan mundur. Jangan kalah sama masa lalu.” “Tapi ... dia nyium cewek lain,” suara Nayla pecah, pelan, retak seperti kaca. “Gue tahu. Dan itu nyakitin. Tapi lo juga tahu, Nay ... hubungan lo sama Adrian bukan hubungan biasa. Lo tahu dia bisa dingin, bisa rumit. Tapi selama ini, siapa yang dia ajak makan malam? Siapa yang dia genggam tangannya diam-diam? Bukan Kirana.” Nayla terdiam. Dalam hati, ada perasaan remuk ... tapi juga marah. Bukan hanya pada Adrian. Tapi pada dirinya sendiri, yang masih berharap. Rani