“Kalau gitu ... good luck kuliahnya,” kata Adrian, suaranya pelan. “Thanks ya ... buat nasi uduknya. Dan ... ya, segalanya.” Adrian melirik lengan yang dicubit, lalu mendekat sedikit. “Kamu juga thanks. Udah bikin pagi aku gak kosong.” Nayla nyengir. “Gombal terus ya kerjanya?” “Profesional ini. Sertifikasi nasional.” Mereka tertawa lagi. Tapi kali ini, tawa mereka lebih ringan, lebih dalam. Seolah tak ada yang perlu dibuktikan. Cinta mereka tidak perlu diumumkan ke seluruh dunia, cukup saling tahu, dan terus dijaga. “Masih ada lima menit sebelum bel masuk,” gumamnya. Adrian menatapnya dari kursi pengemudi, satu tangan bersandar santai di setir, yang satu lagi menopang dagu. Senyumnya pelan-pelan muncul—senyum jail yang Nayla hafal betul. “Lima menit cukup banget,” katanya. “Cukup