Kay tak langsung menelepon balik. Ia mengasah otak kecilnya terlebih dulu. Quinn, adiknya tak mungkin mendadak mematikan telepon begini bila tidak terjadi sesuatu. Inginnya dia menelepon balik tapi takutnya bila ponsel itu saat ini bukan berada di tangan Quinn, tapi berada di tangan ayahnya, bagaimana? Terus terang saja dia masih malas bicara dengan ayahnya.
"Jika begitu apa sebaiknya aku telepon Finn saja?"
Finn adalah adik lelaki Kay, tepatnya dia adalah kembarannya Quinn. Adiknya itu kembar sepasang, terlahir dari ibu yang berbeda dengan ibunya. Namun kasih sayang ibu sambungnya ini pada Kay selama ini melebihi kasih sayang pada anak kandungnya sendiri. Malahan bisa dibilang ibunya ini lebih menyayangi dirinya daripada ketiga adiknya. Itu yang salah satu adiknya bilang pada Kay. Padahal dia merasa ibunya itu tidak pilih kasih pada keempat anaknya.
Kay lalu mencari nomor Finn dan meneleponnya.
"Halo, Finn. Ini Kakak. Kamu di mana sekarang? Di rumah atau di luar rumah?"
Suara di ujung telepon kemudian menjelaskan bila dia ada di rumah, sekaligus bertanya balik ada apa menelepon dirinya?
"Kamu tahu di mana Quinn? Coba lihat dia, ada apa dengannya? Kakak mengandalkanmu."
Suara dari ujung telepon terdengar malas merespons, Finn bilang bila ia sedang malas keluar dari kamar. Ia tak tahu kenapa kakaknya yang satu ini selalu perhatian pada Quinn saja, apapun itu bila menyangkut Quinn, Kay akan perhatian. Berbeda dengan dirinya yang terkesan lebih dicuekin daripada saudara kembarnya itu. Maka, dia pun malas untuk menunaikan tugas ringan kakaknya ini yang terlalu khawatir berlebih.
"Ayolah Finn, bantu Kakak. Suatu saat Kakak akan penuhi permintaanmu. Tolong lihat Quinn sekarang, dia ada di kamar atau bersama ayah?!" Suara Kay sampai sedikit menyentak, barulah Finn yang saat ini berebah duduk lalu beringsut turun dari ranjang.
Kay menunggu selama beberapa menit baru bertanya kembali, "Sudah ketemu belum Quinn?"
Finn kemudian menjelaskan bila kembarannya itu saat ini bicara dengan ayahnya.
"Oke, Adik tampanku. Terima kasih. Lain kali Kakak traktir kamu sesuatu." Kay langsung mematikan telepon begitu mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Dia tak peduli suara di ujung telepon sana masih bicara.
Kay menaruh kembali ponsel ke atas nakas. "Pantas saja telepon terputus seketika, rupanya ada ayah. Jadi, dia langsung putuskan panggilan. Hm, beruntung ayah tidak tahu Quinn meneleponku. Bisa gawat nanti." Kay kembali mendesau.
Dia tatap lantai marmer cokelat di bawah kakinya sejenak. Tiba-tiba saja dia mendengarkan bunyi nyaring yang berasal dari perutnya. Ya, perutnya itu kosong sejak tadi pagi. Terpaksa, ia pun keluar dari kamar menuju ke lemari es mengambil bahan yang bisa dimasak untuk mengisi perutnya.
Kay mengambil telur, sosis dan mentega dengan sedikit kecambah. Dia bikin omelet. Biasanya kalau di rumah, dia tinggal makan saja tak perlu repot masak begini. Ini membuatnya kembali teringat pada ibunya.
"Ibu ... sekarang aku bikin omelet sendiri," desaunya mulai memasak. Setidaknya Kay tahu cara memasak lauk favoritnya ini yang spesial di masakan oleh ibunya. Khusus untuk lauk yang satu ini dibuatkan oleh ibunya Kay, bukan pelayan yang ada di rumah.
Omelet matang. Kay lalu mengambil dua lembar roti tawar dan menaruh omelet di tengahnya, Dia tidak menemukan roti brioche kapan lalu di swalayan jadi ia pakai roti tawar sebagai hamburger. Setelahnya ia olesi saus kecap dan mayonais di atasnya. Kay mulai memakannya dengan lahap.
Selesai makan, Kay masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang terasa lengket. Beberapa menit setelahnya dia keluar dari kamar mandi dengan membelitkan handuk pada bagian pinggang. Tubuh bagian atasnya yang setengah basah ia biarkan terbuka agar kering maksimal.
"Apa sebaiknya aku tidak ke bar hari ini?" Kay merasa punggungnya masih kaku dan sedikit pegal meski tidak tidur seharian. Sejenak dia berpikir kala berdiri di depan kaca lemari. Pada akhirnya, ia membuka lemari dan mengambil kemeja serta celana panjang untuk ia pakai.
"Sepertinya aku tidak bisa meninggalkan bar dalam tiga hari ini. Kecuali setelah tiga hari mungkin aku bisa istirahat." Kay memakai pakaian dengan cepat. Tak lupa ia semprotkan parfum aroma cedarwood ke seluruh tubuh.
***
"Bagaimana bar hari ini?" Tiga puluh menit setelahnya Kay tiba di bar. Dia lewat pintu belakang, sekaligus untuk mengambil apron yang memang ada di ruangan bagian belakang bar. Ada lemari minimalis kecil yang dipakai untuk menyimpan apron dan perlengkapan lain untuk bekerja. Bisa dilihat ada banyak tumpukan apron di dalamnya. Mulai dari yang berwarna hitam, cokelat dan hijau botol. Semua tertata rapi sesuai warna.
"Grand opening kedua ini masih ramai seperti hari sebelumnya," timpal Chris. Kay hanya mengangguk saja merespons. Ia bersiap keluar dari ruangan ini menuju ke bagian depan. Tapi Chris menahan langkahnya.
"Kay, tadi ada yang mencarimu. Ralat! Maksudku ada seorang gadis yang menanyakan namamu." Kay mengangkat sebelah alisnya.
Pekerja Kay memanggil namanya langsung tanpa gelar awalan, itu Kay sendiri yang meminta dengan alasan agar lebih akrab hubungan bos dan anak buahnya.
Tentu Kay langsung tahu siapa gadis itu tanpa perlu dia bertanya. Dia masih ingat hari kemarin meninggalkan Greta dengan wajah penasaran. Ia menyakini gadis itulah yang menanyakan dirinya. Siapa lagi?
"Di mana dia sekarang?" Beberapa menit yang lalu masih ada di depan tapi entah sekarang, masih ada atau tidak." Kay yang sudah bergeser di depan pintu kemudian menarik tuas pintu tanpa bertanya lagi.
Sikap Kay yang tidak penasaran sama sekali membuat Chris berdecak, "Kenapa dia tidak bertanya sama sekali mengenai gadis yang mencari dirinya itu? Dia benar-benar dingin dengan seorang gadis.
Kay tiba di luar bar.
"Mana, Greta tak ada di sini. Mungkin dia sudah pergi." Bahkan Kay menatap lurus ke arah pintu, melihat pengunjung di luar. Tak ada sosok yang dicarinya.
"Buatkan aku tequila." Seorang pria memesan minuman. Kali ini Kay tak menyarankan mengganti minuman pada pelanggan yang memesan. Ia lihat kondisi pria itu dalam keadaan normal tidak kosong pikirannya seperti Greta kemarin, lagipula dia seorang lelaki. Jadi aman saja memberikan jenis minman itu padanya. Tak perlu khawatir terjadi sesuatu. Karena pasti pelanggan ini bisa mengurus sendiri tidak terjadi sesuatu padanya.
"Baik, Pak." Kay mengambil gelas lalu meramu pesanan pelanggan dengan atraksi juggling yang memukau. Tak hanya pelanggan itu yang terpukau, tapi beberapa pelanggan lain yang ada di sana yang ikut menyaksikan juga terpukau.
"Ini pesanannya, Pak." Kay menyajikan tequila setelah selesai meramu.
Setelahnya, pengunjung lain yang berdatangan antre memesan.
Di luar sana, Terlihat Greta berjalan beberapa meter dari bar. Ya, tepat di saat dia keluar, Kay masuk lewat pintu belakang bar. Jadi mereka berdua tak bertemu. Baru saja berjalan beberapa meter, langkahnya terhenti karena kembali bertemu dengan seseorang.
"Greta ... kenapa di jalan kita juga bertemu lagi?" Greta menatap tajam wanita yang menyapanya sinis tersebut.
"Siska ... bila bisa, aku juga tak ingin bertemu denganmu di manapun di tempat ini. Bahkan aku haram melihatmu, wanita perebut pacar orang." Saat ini bola mata Greta sampai mau keluar dari tempatnya, menatap Siska.
"Aku bukan perebut pacar orang, ya. Asal kamu tahu saja. Beberapa bulan setelah kamu jalan dengan Neil, pria itu juga menyatakan cintanya padaku. Apa artinya itu bila bukan aku lebih menarik darimu?" Siska bahkan melangkah maju mengikis jarak, lalu dia mengetuk d**a Greta dengan jari telunjuknya membuat Greta langsung menepis jari itu jari tubuhnya.
Mendengar penjelasan Siska, hati Greta tentu panas berkobar. Baru ia tahu Neil rupanya berselingkuh sudah lama dengan Siska dan bodohnya dia baru saja mengetahui ini. Terlihat tangannya di bawah sana terkepal gemetar.
Siska yang melihat itu tersenyum lebar, puas melihat Greta terluka.
"Aku beritahu kabar baiknya padamu. Sebenarnya ini bersifat rahasia. Tapi karena kamu teman dekatku, maka aku akan memberitahumu."
Siska lalu bergeser di dekat telinga Greta, dia lalu berbisik. "Minggu depan aku dan Neil akan bertunangan." Jangan lupakan suara Siska yang berdengung di telinga. Setelahnya Siska pergi dengan senyum penuh kemenangan, meninggalkan Greta yang sesak terbakar panas.