Greta menatap punggung Siska yang berlalu dengan tangan masih terkepal erat di bawah sana. Apa maksud dari teman dekatnya itu? Dia sudah merebut Neil dari tangannya, dan itu sudah ia relakan meski dengan terpaksa juga berat hati.
"Tapi kenapa dia masih membuat hatiku panas begini?" Greta tak habis pikir saja. Kenapa Siska seolah ingin membuatnya menderita sedalam-dalamnya. Padahal selama ini bila dikulik ulang, dia selalu bersikap baik pada eks teman dekatnya itu, tak pernah sekalipun dia berpikiran negatif atau bersikap buruk padanya. Tapi kenapa, kenapa malah kebaikannya dibalas dengan dusta?
Greta melangkah goyah menuju ke rumah.
Tiba di rumah, dia menuju ke ruang tengah. Dia menaruh tas selempang hitam yang masih tersampir di bahu ke sofa krem. Setelahnya ia hempas dengan keras tubuhnya dengan keras ke sofa.
Greta benar-benar tampak kacau. Jujur kepalanya seakan mau meledak rasanya bila teringat pada ucapan Siska yang masih terus berdengung di telinganya sampai saat ini. Dia benar-benar tak bisa menerima dan tak sanggup menerima kenyataan bila Neil, akan bertunangan dengan Siska minggu depan.
"Neil, betapa kejamnya kamu ..." Greta hanya mengambil cushion yang ada di sampingnya lalu mendekapnya erat. Tak ada yang menemani dirinya saat ini selain bantal kursi lembut itu. Ia bahkan meremasnya kala hatinya sakit teringat kejadian di kamar Neil. Dia masih amat sangat terluka hanya dengan mengingat saja.
"Neil ..." Greta pada akhirnya tak bisa lagi menahan rasa sesak didada, hingga air matanya tumpah ruah. Selama beberapa jam dia menangis, hingga air matanya kering dan tertidur.
***
"Miss Greta kenapa hari ini tampak sendu begitu?" lontar sebuah suara yang baru saja melintas di dekatnya. Greta yang saat ini sedang melamun sampai tersentak mendengarnya.
Greta ada di ruang dosen saat ini. Di sana ada banyak dosen lainnya yang sudah datang dan duduk di kursi mereka masing-masing. Di ruangan ini sendiri ada tiga puluhan kursi dosen yang ditata seperti bangku sekolah.
Greta sendiri adalah seorang dosen di sebuah universitas. Dia mengajar kimia di sana. Sudah empat tahun dia bekerja di sini, jauh sebelum dia mengenal Neil yang juga bekerja di kampus yang sama dengan Greta mengajar. Hanya saja Neil bukan dosen, tapi petugas administrasi.
"Oh ... tidak, Miss Feni salah menafsirkan tatapanku saja. Aku bukannya bersedih, tapi hanya teringat saja pada sesuatu yang menyedihkan," kilah Greta mengelak. Wanita yang kini duduk di samping kursi Greta hanya tersenyum tipis merespons. Bukannya yang diucap Greta itu sama saja? Intinya saat ini wanita itu sedang ada masalah.
Miss Feni adalah dosen Psikologi di kampus ini. Sebenarnya mereka berdua bukan teman dekat, tapi karena tempat duduk mereka yang berdekatan sehingga mereka juga bisa dibilang sebagai teman dekat. Bagi seorang dosen psikologi, tentu bisa langsung melihat dengan jelas arti sorot mata yang Greta tunjukkan, meski yang bersangkutan menyangkal.
"Ada masalah apa, Miss Greta?" Greta menggelengkan kepala. Selain belum siap untuk cerita, dia juga tak ingin ada seseorang yang mengetahui masalah ini.
"Tidak ada, Miss Feni. Hanya seseorang saja yang menyebalkan." Miss Feni mengangkat sebelah alisnya.
"Apa ini masalah hati?"
"Stop! Jangan tanya lagi Miss, please." Greta benar-benar tak ingin bercerita saat ini karena api itu masih membara di dadanya. Takutnya, api itu akan membakarnya sendiri.
Dosen psikologi tak mau memaksa temannya ini bila memang tak mau cerita. Lantas dia pun mengeluarkan sesuatu dari balik saku jas dark grey-nya.
"Makan ini Miss, ini bisa meningkatkan dopamine. Anggap saja ini mood booster." Dosen berambut panjang hitam berkacamata itu meletakkan satu batang coklat di meja Greta.
"Terima kasih." Greta menyimpannya dalam nakas dan akan memakannya nanti.
Beberapa saat setelahnya, Greta beranjak dari tempat duduknya. Ini saatnya mengajar sebuah kelas di tingkat satu. Pelan ia melangkah menyapukan heels ke lantai menuju tempatnya mengajar dengan membawa tas dan beberapa buku dalam dekapan tangan. Semuanya baik-baik saja, sampai dia lewat ruangan administrasi.
Itu kan ... Neil ... kenapa dia ada di ruangan ini?
Sebenarnya Greta tak ingin melihat pria itu lagi setelah kejadian beberapa hari yang lalu. Di mana pria itu tak membelanya sama sekali. Dan lebih memilih Siska. Melihat saja rasanya jijik. Ingin saja ia bakar pria itu jika boleh. Tapi mendengar suara Siska, membuatnya berhenti juga meski tidak tepat persis di depan pintu, melainkan di samping dekat jendela. Itu karena dia penasaran dengan percakapan mereka.
"Neil ... kamu kenapa ke sini?"
"Ini menyerahkan dokumen dari jurusan olahraga. Sekalian membawakanmu bekal makan siang." Greta sampai tercekat mendengarnya.
Secara selama ini dirinyalah yang membuatkan bekal untuk Neil. Pria itu sama sekali tak pernah membuatkan dirinya bekal. Tapi baru saja ia dengar pria itu membawakan bekal untuk Siska. Apakah dunia sudah terbalik? Sungguh, hati Greta kembali rasanya seperti diremas-remas. Karena kembali terdengar suara percakapan mereka berdua dan Greta tak ingin lebih sakit lagi bila mendengarnya, maka ia pun melangkahkan paksa kakinya menjauh dari sana menuju ke kelas tempatnya mengajar.
Greta tiba di kelas yang ada di lantai dua. Tak ada lift di sini, jadi dia lewat tangga. Bisa dibayangkan sendiri seperti apa lelahnya menaiki anak tangga.
"Ada apa, Miss?" sapa seorang mahasiswa yang bertemu Greta, sebelum masuk ke kelas.
Tampak Greta berhenti di depan pintu dengan napas tersengal.
"Kebetulan sekali, tolong bantu bawakan buku ini ke dalam." Greta menyerahkan beberapa buku tebal yang tentunya cukup berat pada salah satu mahasiswanya.
"Baik, Miss." Mahasiswa dengan senang hati membawakan buku tersebut ke kelas dan menaruhnya di meja.
Greta masuk setelahnya. Sebelumnya dia memberikan tugas kepada para mahasiswanya. Kali ini dia meminta tugas mereka dikumpulkan sekarang. Terlihat satu per satu mahasiswa maju ke depan untuk mengumpulkan tugas mereka. Selesai mengumpulkan tugas, beberapa menit setelahnya Greta mulai memberikan materi kuliah hari ini. Dia tinggal menyetel slide power point untuk menerangkan pelajaran hari ini. Setelahnya ia kembali memberikan tugas pada mahasiswa.
Greta kembali duduk ke kursinya untuk menunggu mahasiswa mengerjakan tugas. Pikirannya pun saat ini kembali melayang pada Neil dan Siska lagi. Sungguh, ia kira dengan berakhirnya hubungan mereka tak akan ada lagi rasa sakit hati yang dia rasakan. Rupanya pikirannya itu salah. Salah total! Mungkin ini adalah awal penyiksaan hati Greta.
Apa ada cara untuk menghindari bertemu dengan mereka?
Greta sampai ingin pergi dari kampus ini saja rasanya. Tapi itu juga tak mungkin dia lakukan. Dia sudah nyaman dan senang mengajar di kampus ini. Bila pindah tempat pengajar artinya dia harus mengulang lagi dari nol, mengulang dari bawah tentunya. Sedangkan saat ini sendiri dia menduduki jabatan sebagai ketua program studi di kampus. Sayang sekali bila harus melepasnya. Itu semua dia dapat dengan kerja keras, bukan dengan cuma-cuma.
Sampai sore, Greta baru keluar dari kelas. Hari ini dia mengajar enam kelas berbeda. Jadi, jadwalnya padat sampai sore.
Terlihat Greta keluar dari kampus dengan mengendarai motor menuju ke rumah. Namun dia enggan masuk ke rumah. Dia benar-benar ingin mencurahkan semua rasa sedihnya, semua rasa gundahnya kali ini agar benar-benar plong. Sayang, ia tak ada lagi tempat untuk berbagi. Dan yang ada di pikirannya saat ini adalah bar milik Kay. Mungkin di sana dia bisa melepas penatnya.
Greta menuju ke area tempat parkir bar. Ia memarkirkan motornya di sana. Lalu masuk dalam bar. Ia langsung menuju ke kursi kosong dan memesan minuman.
"Tolong satu bir." Greta kali ini benar-benar gila memesan minuman beralkohol kadar tinggi. Padahal mocktail saja dia tak kuat. Dan tentu dia tak pernah minum itu sebelumnya.
Saat itu bartender yang melayani adalah Chris. Entah,dia jadi bingung haruskah dia memberikan bir untuk Greta? Padahal aturan di bar ini melarang wanita meneguk minuman beralkohol.
"Kenapa diam saja?" tuntut Greta karena belum adanya respons dari sang bartender.