Malam hari Efrain meminta Indira memakai gaun yang dia beli untuknya. Indira menata rambut dan merias wajahnya. Efrain memakai kemeja hitam sehingga mereka tampak sangat pas bersanding malam ini.
Mereka menuju restoran mewah yang berada di Bali. Efrain sudah melakukan reservasi, karena dia pun akan bertemu koleganya di sana.
Membawa Indira bukanlah hal yang memalukan, wanita itu sangat cantik dengan tubuhnya yang seksi. Benar-Indira menjadi pusat perhatian. Gunung kembarnya yang terbentuk indah dengan bongkahan b****g yang sangat molek membuat para pria meliriknya. Ditambah dia memakai gaun seksi yang mempertontonkan punggungnya yang mulus.
Sejujurnya Efrain sangat bangga berada di sampingnya malam ini, para koleganya pun mencuri pandang pada Indira meskipun mereka membawa pasangan masing-masing, para wanita muda yang kebanyakan berusia mahasiswa yang mungkin juga butuh uang seperti Indira.
Penampilan mereka cukup cantik dan nakal, namun tidak seseksi Indira yang terus dipegang pinggangnya oleh Efrain menandakan kepemilikannya.
Mereka duduk di meja besar yang melingkar, Indira melipat kakinya hingga roknya tersingkap. Seorang pria di hadapannya sengaja menjatuhkan handuk ke lantai demi bisa melihat kakinya yang mulus di bawah meja. Efrain melihat gelagatnya. Ditutup rok Indira.
“Kenapa?” tanya Indira setengah berbisik, Efrain mendekatkan wajah ke teling Indira.
“Saya tidak mau orang ikut menikmati tubuh kamu, lagi pula Indira apa kamu tidak memakai celana ketat?” tanya Efrain.
“Saya lupa, karena buru-buru, saya pikir kita hanya akan makan berdua,” ucap Indira. Efrain tersenyum tipis dan mengecup pipinya.
“Jangan lakukan itu lagi ya, tutup kaki kamu,” ucap Efrain mengusap paha Indira. Indira mengangguk pelan.
Mereka makan sambil berbincang banyak hal, para wanita makan dengan anggun membuat Indira mencontohnya.
Setelah makan malam dengan pertunjukkan musik jazz clasik, mereka pun kembali ke hotel dengan mobil masing-masing. Efrain dan Indira duduk di belakang.
“Mereka suami istri semua Mas?” tanya Indira.
“Tidak ada yang suami istri, mereka simpanan. Istri mereka tidak ada yang dibawa,” tukas Efrain.
“Hah serius?” tanya Indira seraya melipat kakinya, dia pikir sudah di mobil akan aman, namun pandangan sopir di depan yang melihat kaca di atasnya tak dapat disembunyikan, yang entah mengapa membuat hasrat Efrain meninggi? Dia mengusap paha Indira hingga roknya semakin tersingkap.
Sopir itu terlihat menelan salivanya kasar. Bahkan Efrain mengecup bibin Indira. Indira sedikit menolak dan berbisik malu.
“Enggak apa-apa,” balas Efrain dengan suara yang berat, dia bahkan memainkan jemarinya di bawah rok Indira.
“Euhm,” lenguh Indira tak tertahan membuat Efrain tersenyum miring, dikecup leher Indira dan terus turun ke bawah, gunung kembar Indira tampak mencuat meski puncaknya masih tertutup gaun belahan d**a rendah itu. Digoda bagian gunung kembar itu, Indira melebarkan kakinya, miliknya terasa lembab karena permainan jari Efrain. Namun pria itu menghentikan aksinya dan menutup kaki Indira lagi.
“Lanjut di kamar,” ucapnya agak keras. Sopir itu tampak berkeringat, meskipun dia mungkin sudah biasa melihat yang lebih dari ini, namun tetap saja tubuh Indira mengandung maghnet. Sial! Dia harus mengeluarkannya sendirian malam ini.
***
Sesampai di kamar. Efrain memutuskan untuk mandi. Pintu kamar diketuk, Indira membuka pintu dan mempersilakan staff membawakan minuman dan dessert yang dipesan Efrain. Setelahnya mereka keluar.
Indira merasa haus, dia mengambil anggur itu dan menuang ke gelasnya. Cukup banyak yang langsung menandaskannya.
Rasanya manis dan sedikit aneh, namun cukup nikmat, terlebih ketika dia memasukkan es batu dalam gelas itu.
Indira merasa kepalanya agak pusing hingga dia duduk bersandar di sofa dengan kaki terbuka lebar. Dia tak tahu minuman yang diminumnya memabukkan.
Efrain keluar dengan hanya mengenakan handuk, dia menghampiri Indira yang sudah setengah mabuk dan menggeleng pasrah.
“Kamu habiskan setengah botol?” tanya Efrain. Dia saja tak pernah meminum sampai satu gelas karena mengkhawatirkan kesehatannya. Indira mengangguk. Efrain meletakkan gelas di tangan Indira.
“Mas Rain, seksi banget, mau lagi,” ucap Indira tak tahu malu.
“Ayo pindah di kasur,” ajak Efrain membantu Indira berdiri. Indira mengikuti langkah Efrain. Pria itu berbaring di ranjang dan melepas handuknya.
“Kamu yang pimpin permainan sekarang,” ucap Efrain.
“Maksudnya?” tanya Indira.
“Ya di atas,” ujar Efrain.
Indira melihat milik Efrain yang belum menegang sepenuhnya, dia melepas semua pakaiannya hingga tak berbusana. Rasa mabuk menguasainya, dia menggoda milik Efrain itu dan memasukkan dalam mulutnya.
Efrain mengumpulkan rambut Indira dan sedikit menariknya. Wanita itu sudah mengulumnya sambil mendesah, bahkan gunung kembarnya sengaja disentuhkan ke kaki Efrain, sepertinya rasa mabuk membuat libidonya naik.
Setelah menegang, Indira tersenyum lebar dan duduk di pangkuan Efrain, dia melesakkan milik Efrain dengan sedikit kesusahan.
“Benar kata Mas Rain, ini susah, eunghhhhh!” lenguh Indira mendorong tubuhnya agar benda itu masuk kian dalam. Lenguhan juga terdengar dari bibir Efrain, wanita ini benar-benar terasa nikmat, miliknya sangat sempurna.
Indira menggerakkan tubuhnya seperti memacu kuda, dia terus mendesah nikmat. Efrain membantu memegang pinggulnya. Indira seperti kesetanan, gerakannya semakin liar tak terkendali. Dia mendapat pelepasan pertamanya meski tidak sederas siang tadi.
“Capek, gantian dong, Mas,” ucap Indira. Efrain pun memutar tubuhnya menjadi berada di atas Indira.
“Masih mau lagi?” tanya Efrain.
“Terus Mas!” racau Indira mengeluarkan kata-kata kotor yang tampak tak terdidik.
“Mulutnya harus dikasih pelajaran ini,” goda Efrain menggigit bibir Indira pelan.
“Auh sakit,” rengek Indira.
“Jangan ngomong kotor, oke?” pinta Efrain. Indira mengangguk seperti anak kecil.
“Mau lagi, buat kayak tadi siang,” pinta Indira memelas. Efrain menyeringai dan mengecup bibir Indira, dia bermain lebih kasar dan Indira jauh lebih suka.
Bisa dibilang tubuh Efrain memang sangat prima, dia berolah raga rutin dan menjaga kesehatannya dengan multivitamin yang dibutuhkan.
Dia terus menghujamkan miliknya dengan gerakan panjang dan dalam.
“Mas mau keluar lagi,” ucap Indira.
“Tahan,” ujar Efrain. Dia melepas miliknya dan menggeser Indira hingga kaki wanita itu terkulai di lantai sementara sebagian tubuhnya di ranjang.
Efrain kembali melesakkan miliknya meski bibir kewanitaan Indira sudah agak bengkak dan tebal. Diangkat kedua kaki Indira ke bahunya. Dia mulai memompanya lagi dengan lebih cepat. Indira memegangi seprai dengan cengkramannya yang keras. Kepalanya menggeleng ke kiri dan kanan dengan wajah dipenuhi kenikmatan, sementara gunung kembarnya bergoyang sangat seksi.
Setengah berdiri Efrain melakukan itu, dengan posisi seperti ini miliknya kian dalam memasuki Indira semakin sampai ke ujungnya. Indira kembali mengeluarkan cairannya dengan deras, hingga mereka berdua basah. Disambut Efrain yang juga sengaja mengeluarkan miliknya di dalam. Toh siang tadi dia sudah memberi Indira pil KB darurat yang sengaja dibawanya.
Dengan begini cairan itu tak mengenai kasur dan langsung meluncur ke lantai. Efrain melepas miliknya diikuti lelehan cairan mereka berdua yang menyatu.
“Ayo mandi dulu,” ajak Efrain. Karena kondisi Indira setengah mabuk, maka dia membantu Indira mandi.
Setelah mandi, mereka tidur tanpa mengenakan sehelai benang pun. Efrain memandang wajah pulas Indira dengan tubuh mereka yang berada di balik selimut. Wajah tidur itu terlihat sangat polos seperti tanpa beban. Ada rasa aneh menyeruak, rasa yang langsung ditepisnya dengan cepat!
***
Setelah sarapan pagi, Efrain dan Indira pun membereskan barang-barang mereka karena pesawat yang mereka tumpangi akan berangkat di siang hari. Agar tidak terlambat mengingat long weekend biasanya jalan ke bandara akan sangat macet dan padat oleh kendaraan.
Benar dugaan mereka, jalanan sangat padat di hari sabtu siang ini. Ada yang pulang dan banyak juga yang baru datang.
Karena yang mengantar adalah sopir dari hotel, maka Efrain pun duduk di belakang bersama Indira yang sibuk memainkan ponselnya. Farhan baru saja mengiriminya pesan hingga dia tampak asik berbalas pesan meski hatinya tak karuan, khawatir Farhan meminta mengirim foto dirinya saat ini. namun, itu tak terjadi. Kebanyakan pecakapan didominasi oleh pertanyaan dari Indira.
Jarang sekali Farhan menanyakan kegiatannya, apa yang dirasa atau apa pun itu kecuali Indira yang membuka percakapan lebih dulu. Komunikasi mereka seperti satu arah. Terkadang Indira merasa apakah dia wartawan yang mewawancarai narasumber?
Setelah tiga kali mengirim pesan terakhir tak mendapat balasan, Indira pun kemudian meletakkan ponsel di tas kecil khas Bali yang dibelinya di hari pertama dengan bibir mengerucut.
“Kenapa?” tanya Efrain. Indira menggeleng pelan.
“Kamu lulusan kampus mana?” tanya Efrain kemudian. Dia juga mulai merasa jenuh dengan perjalanan yang macet ini.
“Saya hanya kuliah sampai semester tiga Mas, ibu saya meninggal setelah melahirkan jadi saya yang mengurus adik saya, ayah juga sakit-sakitan sejak itu, matanya kurang bisa melihat.”
“Oiya kenapa? Glukoma?” tebak Efrain.
“Katarak, mungkin karena terlalu kecapekan bekerja kala itu,” tutur Indira.
“Gulanya normal?”
“Normal sih.”
“Terus kenapa enggak dioperasi?”
“Belum ada biaya, tapi rencananya memang saya mau bawa bapak operasi semoga uang dari mas cukup,” kekeh Indira sambil tersenyum ke arah Efrain, senyum indah yang terlihat tanpa beban.
Efrain menatap mata bulat yang berbinar itu. Uang pemberiannya mungkin tidaklah seberapa bagi Efrain yang memiliki pemasukan dari berbagai aset dan pekerjaan yang dia miliki. Namun, ternyata sangatlah berharga bagi Indira.
***