Beberapa wanita yang dikencaninya, selalu menghabiskan uang untuk diri mereka sendiri. Berbelanja barang mewah, liburan ke luar negeri atau untuk gaya hidup. Namun, Indira berbeda. Dia melakukan ini untuk keluarganya.
“Bawa ke rumah sakit saya, saya yang akan mengoperasinya,” ucap Efrain.
“Saya sudah banyak merepotkan Mas,” tutur Indira.
“Enggak kok, santai saja. Lusa ya, saya atur jadwalnya nanti. Jadi besok lakukan pemeriksaan,” ucap Efrain.
“Besok kan hari minggu, ada dokter yang memeriksa di rumah sakit?” tanya Indira.
“Ya saya ada jadwal tindakan besok, jadi sekalian saja kita periksa,” ucap Efrain yang memang merupakan dokter bedah.
“Terima kasih ya Mas, Mas baik banget,” ucap Indira.
“Cium dong, masa makasih aja?” goda Efrain. Indira memajukan wajahnya dan mengecup pipi Efrain membuat pria matang itu terkekeh lalu menyodorkan pipi sebelahnya. Indira pun mengecup pipi yang sebelahnya hingga Efrain memalingkan wajah membuat bibir mereka menyatu.
Ciuman itu terasa lembut, tidak liar seperti malam tadi, sebuah perasaan asing menyelinap dalam relung hati Indira. Terlebih ketika jemari Efrain menyentuh tengkuknya untuk memperdalam ciuman mereka. Lalu mereka berdua saling melepaskan diri. Indira tersenyum malu dengan wajah memerah dan memalingkan perhatiannya menuju jalanan yang mulai bergerak meski perlahan.
“Kok malu? Semalam aja buas banget,” gurau Efrain membuat Indira tertawa.
“Jangan diingat deh, saya malu sendiri jadinya,” tutur Indira, meskipun dia tengah mabuk, namun dia masih bisa mengingat apa yang dia lakukan, hanya saja dia merasa kesulitan mengendalikannya. Efrain tertawa dengan menutup mulut memakai punggung tangannya yang terkepal, sangat maskulin.
“Tuh kan diketawain?” rajuk Indira.
“Enggak apa-apa, sering-sering seperti itu, saya suka,” ucap Efrain. Indira mendengus, sejurus kemudian tertawa sambil menggeleng geli. Sepertinya dia cocok menjadi sugar baby karena dia pun menikmatinya meskipun sebagian hatinya tercubit dengan apa yang dia lakukan.
***
Efrain mengantar Indira sampai depan gang rumahnya, menghentikan mobil itu di depan minimarket. Indira membeli jajanan untuk kedua adiknya dan meminta Irvan menjemputnya dengan sepeda motor. Sementara mobil pribadi Efrain yang disopiri oleh sopirnya itu meninggalkan tempat itu ketika Indira berbelanja. Ada hal yang harus Efrain kerjakan.
Irvan menunggu di depan minimarket, melihat kakaknya yang sudah keluar dari minimarket sambil menyeret koper berwarna pink yang tampak lucu.
“Kakak beli koper?” tanya Irvan membantu memindahkan koper itu ke motor.
“Dikasih sama bos kakak,” jawab Indira, kemudian dia membonceng di belakang Irvan, motor pun melaju menuju rumah mereka. Melewati kumpulan ibu-ibu yang tengah bergosip di bawah pohon rindang.
Indira mengangguk sopan dan sempat membalas sapaan para tetangganya yang tentu saja sering membicarakannya, namun Indira tak pernah ambil pusing. Toh dia tidak makan dari tangan mereka, jadi dia mencoba tidak peduli.
Ayah Indira keluar sambil meraba pintu ketika mendengar suara motor Irvan. Indira menyalaminya dan masuk ke dalam seraya menggandeng ayahnya. Dia tak mau ayahnya ikut menjadi bulan-bulanan para tetangga.
Izan menarik koper Indira dan mendudukinya, “Kak ini cara pakainya bagaimana?” tanya Izan.
“Lho bisa dinaikkin ya?” tanya Irvan yang baru sadar.
“Ih Bang Irvan norak, adek sering liat video itu lho yang sering jalan-jalan naik koper,” kekeh Izan. Indira mengusap kepala adiknya lalu menekan tombol on.
“Dah tinggal pencet aja terus jalan, di dalam rumah aja ya,” ucap Indira lembut.
“Ih tau gitu enggak usah Irvan jemput deh, kakak bisa naik koper pulang,” seloroh Irvan membuat Indira tertawa.
“Bisa rusak rodanya jalan di jalanan batu-batu,” dengus Indira. Beruntung di perjalanan tadi Efrain sempat mengajak makan siang dan dia membelikan makanan untuk keluarganya. Memang sangat baik pria itu. Indira berpikir pasti beruntung sekali wanita yang menikahinya nanti.
Indira menyiapkan makanan yang dia bawa, lalu menatanya di lantai yang tidak dialasi karpet itu, mereka memang terkadang makan bersama sambil nonton televisi meskipun hanya dengan lauk telor atau ikan asin.
Jika sangat tak ada uang, biasanya Indira berhutang mie instan, lalu memasaknya untuk lauk, satu mie untuk berempat. Dia membagi rata dengan memperbanyak kuahnya yang ditambah garam juga lada agar tetap terasa.
Kini dia menghidangkan ayam bakar dengan tumisan capcay yang kaya sayuran dan bakso. Bahkan ada nugget kesukaan Izan yang sengaja dipesannya tadi.
“Wah makan besar,” ujar Irvan menyendok nasi, dia hanya memasak nasi pagi tadi dan mereka makan mie karena Irvan yang bingung mau beli lauk apa? Kemarin dia sudah membeli lauk nasi padang, dia merasa terlalu boros dan takut menghabiskan uang kakaknya.
Indira menyendokkan nasi dan lauk untuk ayahnya, memisahkan daging dari tulangnya dan memberikan ayahnya sendok.
“Kerjaannya lancar, Ndi?” tanya ayahnya.
“Lancar, Pak,” ujar Indira dengan hidung memerah. Seolah meminta maaf jika dia harus melakukan ini karena terdesak kebutuhan. Izan yang puas berputar-putar dengan koper itu pun ikut duduk. Indira menyendokkan nasi dan lauk untuk Izan yang sudah pandai makan sendiri.
“Kakak kerja apa kemarin?” tanya Izan.
“Jadi asisten Bos, dia kalau ke luar kota butuh asisten jadi kakak yang diminta, ngurusin segalanya.” Lancar sekali kebohongannya Indira, pikirnya sarkastik.
“Nanti kakak kerja lagi?” Kali ini giliran Irvan yang bertanya. Indira mengangguk.
“Iya kalau dia butuh pasti dia hubungi kakak, karena dia puas dengan kinerja kakak,” ucap Indira. Jelas puas mereka melakukan sampai dua kali kan? Mungkin jika tidak terburu untuk ke bandara mereka bisa melakukan sekali lagi tadi pagi.
“Oiya Pak, besok kita ke rumah sakit ya, periksa mata bapak, kalau bagus, hari Selasa atau Rabu bapak bisa dioperasi,” ucap Indira.
“Jangan Nak, simpan uangnya sayang-sayang,” ucap ayah Indira dengan senyum terpaksanya.
“Gratis Pak, tenang saja,” ucap Indira.
“Oh gratis, kalau gratis bapak mau, semoga bapak bisa lihat lagi, biar bisa bekerja lagi,” ucap ayah Indira. Indira hanya tersenyum saja dan menyeka sudut bibir ayahnya yang terkena kecap dari ayam bakar.
Indira juga menanyakan adiknya yang ingin masuk SMA itu, Irvan sudah memikirkan akan ke sekolah mana? Dia mencari sekolah swasta yang murah saja di sekitarnya ada. Namun, Indira meminta dia mencoba sekolah negeri dulu dengan jalur nilai, jika tak masuk baru lah dia sekolah swasta. Karena meskipun gratis, namun untuk masuk sekolah negeri pun butuh uang untuk seragam dan lain sebagainya. Dia tak tahu bagaimana dengan hari esok? Yang penting saat ini dia bisa memenuhi perut keluarganya yang lapar. Memenuhi kebutuhan yang mereka butuhkan! Dan itu cukup!
***
Keesokan harinya, Indira menunggu mobil taksi online yang dia pesan di depan rumah. Para ibu-ibu yang duduk seperti biasanya di bawah pohon itu tampak penasaran.
“Nunggu siapa Indira?” tanya ibu itu.
“Taksi Online, Bu. Mau antar bapak ke rumah sakit,” jawab Indira.
“Bapak kamu mau periksa? Diperiksa saja Indira kasihan, sudah kurang bisa lihat,” ucap salah satu dari mereka.
“Iya Bu, jika hasilnya baik mau dioperasi. Bantu doa ya,” ucap Indira berbasa basi.
“Pasti kita bantu Doa, kalau butuh apa-apa kabari ya, sebagai sesama tetangga kita harus saling bantu kan?” ucap mereka membuat Indira tersenyum meski hatinya meringis.
Tetangga harus saling bantu? Bantu bagian mananya? Ketika dia harus bekerja dan meninggalkan adiknya yang bayi sementara mereka saling melempar tak mau membantu merawat adiknya meski hanya satu dua jam padahal Indira sudah merundingkan uang pengasuhannya, hingga ayah Indira terpaksa bekerja malam bergantian dengan Indira untuk merawat adiknya.
Saling bantu yang seperti apa? Ketika adiknya menangis kehausan karena kehabisan s**u, mereka justru menyarankan memberinya air tajin? Memang bukan kewajiban mereka, Indira tahu itu, namun mendengar kata saling bantu membuatnya agak muak.
Beruntung taksi online yang dipesan Indira pun tiba, Indira memanggil Irvan untuk mengantar ayahnya ke depan, membantu ayahnya duduk di mobil, sementara dia menitipkan Izan agar dijaga Irvan.
Mobil pun melaju meninggalkan pemukiman itu diiringi dengan bisk-bisik para tetangga yang menanyakan uang dari mana Indira bisa mengoperasi ayahnya?
“Ah badannya aja kebentuk gitu? Yakin uang halal? Perawan enggak ada yang badannya kayak gitu, lihat noh anak saya badannya cungkring!” ujar seorang wanita gemuk dengan rambut keriting yang dicepol.
“Iya yah ini badannya sudah kayak ibu-ibu yang pernah hamil, atasnya gede, bawahnya juga!” imbuh lainnya. Irvan yang mendengar hanya mengepalkan tangannya kesal, namun dia tak bisa berbuat apa-apa atau kakaknya akan marah padanya. Irvan kemudian masuk ke dalam, mengajak Izan dan menutup rapat pintu itu.
***