Tujuh

1954 Kata
Sopir taksi online itu terlihat sangat baik, bahkan membantu ayah Indira turun dari mobil dan memapahnya sampai duduk di kursi roda yang dibawakan petugas keamanan, Indira sudah membayar sekaligus memberikan tip, sopir itu juga mendoakan kesembuhan untuk ayah Indira. Terkadang Indira berpikir di antara sesaknya hidup, masih ada orang-orang baik yang tulus membantu meski tidak saling kenal. Indira kemudian membawa ayahnya ke bagian pendaftaran, ayahnya menunggu dalam diam. “Saya sudah janji temu dengan dokter Efrain Prasaja Rasjad,” ucap Indira. “Oh dengan mbak Indira ya?” tanya petugas administrasi itu ramah. “Iya Mbak,” jawab Indira lugas, petugas administrasi itu pun menyodorkan formulir untuk pendaftaran, setelah mengisi formulir, dia menelepon rekannya yang merupakan perawat untuk mengantar Indira dan ayahnya menjalani pemeriksaan. Indira menunggu di ruang periksa dokter Efrain, karena dokter itu berkata akan menemuinya sebentar lagi. Ayahnya duduk di sampingnya dengan wajah sedikit takut. “Tenang saja Pak, hanya periksa saja kok,” ucap Indira. “Iya Nak,” jawab ayahnya, Indira memegang tangannya yang gemetar, tangan yang hanya tulang berbalut kulit itu tampak legam dan kering. Bukti betapa dulu dia bekerja sangat keras untuk anak-anaknya. Sayangnya tidak ada dari mereka yang bisa membalas ayahnya sampai kapan pun. Jelas kasih sayang ayah untuk anaknya tak terbandingkan dalam kisah Indira. Indra, kakak Indira yang dikuliahi sampai sarjana pun tidak bisa membantunya, karena katanya dia juga harus sangat menghemat untuk kebutuhan keluarganya. Anaknya tiga dan masih kecil-kecil, istrinya pun ibu rumah tangga yang tidak memiliki penghasilan sehingga hanya mengandalkan Indra sebagai karyawan biasa. Pintu diketuk, lalu muncullah perawat membuka pintu itu mempersilakan Efrain masuk. Indira cukup terpukau melihat Efrain yang tersenyum ke arahnya, snelli dokternya tampak gagah dan pas sekali dikenakan olehnya, dia terlihat seperti berbeda dari yang biasanya. “Selamat siang,” sapa Efrain menyalami ayah Indira, Indira membantu ayahnya mengulurkan tangan lalu Efrain mengusap bahu Indira pelan. Perawat memiringkan wajahnya melihat sentuhan yang tak biasa dilakukan Efrain pada pasien atau keluarga pasiennya itu. Namun dengan cepat dia menepisnya mungkin memang Indira adalah kerabat dekat Efrain. “Langsung periksa, yuk,” ajak Efrain mendorong kursi roda ayah Indira, dia melakukan serangkaian pemeriksaan di hari ini. Setelahnya ayah Indira menunggu di luar ruang pemeriksaan, sementara Indira dan dokter Efrain kembali memasuki ruangan kerjanya. “Jadi bagaimana mas Rain, ehm maksudnya dokter Efrain,” ucap Indira mengulum senyumnya. Efrain terkekeh dan menggeleng geli. “Panggil senyaman saja, panggil sayang juga enggak apa-apa,” gurau Efrain membuat Indira nyaris memuntahkan tawanya, beruntung hanya ada mereka berdua di sini. “Semuanya bagus, lusa sudah bisa dilakukan tindakan, malam ya. Kamu kerja kan siangnya?” ucap Efrain. “Iya, Mas. Syukurlah jika semuanya dalam kondisi bagus,” jawab Indira. “Malamnya biarkan ayah kamu istirahat di sini, baru paginya boleh pulang,” ucap Efrain. “Jadi saya datang pukul lima sore saja ke sininya ya?” tanya Indira memastikan. “Iya, dua jam sebelum tindakan,” tutur Efrain. Dia kemudian merogoh saku jasnya dan menyerahkan kotak obat berwarna putih. “Ini apa?” tanya Indira. “Pil KB untuk kamu, jadwal bulanan kamu kapan?” tanya Efrain. “Mungkin dua minggu lagi,” jawab Indira. “Berarti minumnya dari sini,” tutur Efrain menunjuk salah satu tanda di pil-pil tersebut. Indira tersenyum menatap wajah yang sangat dekat itu. Efrain mengusap pipi Indira lembut. “Sudah ah jangan dekat-dekat nanti pengen, saya masih ada tindakan lagi,” kekeh Efrain membuat wajah Indira tersipu. Mereka pun berdiri untuk keluar ruangan bersama. “Terima kasih ya Mas, atas segala kebaikan Mas,” jawab Indira, Efrain memegang handle pintu juga memegang pinggang Indira, pinggang ramping yang kemarin menjadi bagian paling sering disentuhnya. “Maaf ya enggak bisa mengantar,” ucap Efrain, sebelum membuka pintu. Indira melihat ke atas ruangan itu, pantas Efrain tidak bisa melakukan apa-apa, ada kamera pengawas di ruangan ini. Karenanya Indira mengusap pipi Efrain dengan lembut dan mengangguk seolah berpamitan. Efrain meneguk salivanya, sial. Sentuhan wanita ini begitu menggodanya! Biarkan dia balas dendam minggu depan! Indira pasti akan kewalahan menghadapinya. *** Operasi berjalan lancar, Indira menunggui ayahnya yang istirahat di kamar yang sangat nyaman, bahkan kamar rumah sakit ini jauh lebih nyaman dibandingkan dengan kamar mereka. Entah mengapa Indira berharap hubungan dia berjalan lebih lama, agar dia bisa merenovasi rumahnya. Apakah dia salah? Apakah dia jahat? Dia pun tak tahu kapan Farhan akan melamarnya, pria itu saja sampai kini belum pernah mengenalkannya pada orang tuanya, terakhir yang Indira dengar dia sudah bicara pada ibunya, satu-satunya orang tuanya karena ayahnya telah meninggal. Namun, Indira belum mendapat jawaban lagi tentang itu, dia tak mau memaksanya, pernah dia menekannya tahun lalu namun membuat hubungan mereka hampir berakhir. Yang dia tahu Farhan tidak suka dikekang, karena itu dia mendiamkannya saja, dia sangat mencintainya. Jika tak terdesak kebutuhan pun dia mungkin akan tetap setia pada pria itu. Kini dia merasa menjadi wanita jahat, meskipun dia pun tak tahu apa yang Farhan lakukan di belakangnya selama mereka berpacaran secara LDR. Efrain hanya menemuinya sesaat setelah operasi, karena dia berkata ada urusan yang harus diselesaikannya. Indira kemudian tahu bahwa Efrain menjadi dokter di dua rumah sakit sekaligus, pantas saja dia memiliki uang yang banyak. Pria itu juga menjadi sosok yang dikagumi para rekan kerjanya, Indira sempat melihat banyak sekali perawat atau dokter wanita lain yang mencuri pandang ke arahnya sejak tadi. Indira menarik kursi untuk duduk dan bersandar di ranjang. Ayahnya sudah tertidur pulas, mungkin efek obat yang diminumnya tadi. Hingga dua perawat laki-laki masuk dan membawakan ranjang kecil tambahan yang memang dipergunakan untuk keluarga pasien. “Terima kasih ya, Mas,” ucap Indira tulus. “Iya sama-sama Mbak, ini titipan dari dokter Efrain tadi,” tutur perawat itu. “Oiya, baik Mas,” ucap Indira, Efrain benar-benar memperhatikannya. Apakah para wanitanya dulu diperlakukan seperti ini? Lalu apa yang membuat hubungan mereka berarkhir? Apakah karena Efrain yang sudah bosan dengan mereka? Bahkan sampai besok paginya ketika Indira pulang pun, Efrain tak menemuinya karena sangat sibuk. Pesannya pun hanya dibalas sangat singkat dengan kata ya atau tidak. Indira merasa dia sangat sibuk pasti lah. Kemudian setelah dia mengantar ayahnya pulang dia langsung mengemudikan sepeda motornya untuk berangkat kerja, berkat tidur di ranjang khusus itu dia mendapatkan tidur yang nyaman, tubuhnya tidak terlalu sakit. Dan entah mengapa dia tidak sabar untuk pertemuan berikutnya. Efrain memintanya menginap di rumahnya malam minggu. *** Indira sudah menunggu di minimarket depan gang rumahnya, mobil Efrain berhenti dan dia membuka kaca jendela. Indira tidak membawa apa-apa kecuali tas kecilnya seperti yang diminta Efrain. Dia masuk mobil Efrain dan mencium punggung tangan pria itu membuatnya terkekeh. “Kayak sama guru aja?” gurau Efrain. “Harus sopan sama yang lebih tua,” kekeh Indira. “Hmmm betul juga sih, lagian usia kita terpaut jauh juga ya hampir lima belas tahun,” ujar Efrain sambil melajukan mobilnya. “Paling jauh jaraknya berapa tahun Mas?” tanya Indira penasaran. “Dua puluh tahun, yang terakhir sama sebelum kamu. Kira-kira enam bulan lalu lah,” ucap Efrain. Indira menjadi tergelitik untuk bertanya lebih jauh, namun Efrain mendapat panggilan telepon dan meminta Indira tidak berbicara. “Ya, Mi?” sapa Efrain, bisa dipastikan ibunya yang menelepon. “Malam minggu ke mana? Enggak mau makan malam keluarga?” tanya ibunya, dari suaranya terdengar tegas. “Ada tindakan, capek,” jawab Efrain yang memang meloudspeaker ponselnya. “Kapan kamu mau nikah? Usia kamu sudah kepala empat lho!” “Di luar negeri kepala empat masih muda,” kekeh Efrain. “Ish kamu nih, anak papi kamu mau nikah minggu depan kamu dapat undangan di rumah mami, datang ya bawa cewek kamu siapa pun itu, jangan sampai orang beranggapan kamu penyuka sesama jenis,” ujar ibunya membuat Efrain mencengkram stir kemudi. “Hmmm, sudah dulu ya,” ucap Efrain yang kemudian memutuskan panggilan itu. Indira menatap wajah Efrain yang mengeras. “Mereka sudah bercerai sejak saya kecil. Papi sudah menikah lagi, begitu pula mami. Bahkan mami sudah empat kali menikah, yah kabar baiknya mami enggak punya anak lagi selain saya, jadi saya tidak punya banyak adik kecuali dari papi,” kekeh Efrain menyembunyikan getir. Indira hanya mengangguk pelan. Apakah ini yang membuat Efrain tidak ingin menikah? Ada trauma di masa kecilnya. “Keluarga mas, ada yang dokter?” tanya Indira. “Papi dokter, mami kerja di bank sampai pensiun,” jawab Efrain. Indira merasa jawaban Efrain yang sedikit ketus membuatnya tak mau berbicara panjang lagi. Efrain sempat mengajak Indira makan malam di salah satu restauran tak jauh dari rumah mereka berdua setelah itu barulah mereka ke rumah Efrain. Rumah itu terletak di perumahan mewah yang ternyata tak terlalu jauh dari mall tempat mereka bertemu pertama kali. Rumah tanpa gerbang yang terlihat sangat besar dengan dinding yang sebagian besar didominasi dengan dinding kaca. Warna cat yang putih membuatnya terlihat kontras, ada taman kecil di depan rumah itu dengan pohon hias. Meski mereka datang di malam hari, namun Indira merasa bahwa rumah ini pasti sangat nyaman dan sejuk. Efrain membuka kunci rumahnya dan mempersilakan Indira masuk ke dalam, sejujurnya ini kali pertama dia membawa wanita ke rumah ini. Sebelumnya jika dia ingin bermain, dia pasti menyewa hotel. Entahlah dia merasa Indira memiliki banyak pengecualian. Mereka pun menuju kamar Efrain yang juga didominasi warna putih bersih seperti keseluruhan rumah itu, Efrain membuka lemarinya dan mengeluarkan lingerie seksi berwarna putih, dia tersenyum ke arah Indira. “Pakai ini ya, mandi dulu di sana. Saya sudah siapkan sabun yang sangat harum,” tutur Efrain. Indira mengangguk. Dia pun mandi di kamar mandi itu, aroma sabunnya sangat harum, dia mengenakan lingeri seksi itu. Lalu dia keluar dari kamar mandi dan bergantian dengan Efrain, Indira menunggu di ranjang sambil melihat-lihat kamar itu. sungguh berbanding terbalik dengan kamarnya yang mungkin hanya berukuran seperempatnya. Setelah mandi, Efrain pun menghampiri Indira, mengukungnya yang masih duduk di tepi ranjang. Dikecup bibir itu, bibir Efrain terasa dingin dengan aroma mint. Indira mengalungkan tangannya ke leher Efrain. Sementara jemari Efrain sudah meremas gunung kembar Indira dari balik lingerie tipisnya. Efrain mendorong Indira sambil berpagutan untuk berbaring di ranjang dengan kaki terkulai. Dia menarik handuknya hingga terlepas dan Indira bisa merasakan benda menegang itu berada tepat di atas miliknya. Efrain menurunkan ciuman ke leher Indira terus turun mencumbu gunung kembar itu dengan meloloskan dari atasnya. Indira meremas rambut Efrain yang agak basah dengan gemas. Lumatan Efrain di gunung kembarnya membuat hasratnya membara. Seperti bayi yang kehausan hingga terdengar suara decakan lidah juga napas beratnya. Efrain mengangkat rok Indira dan melesakkan miliknya, dia tahu Indira tak memakai apa-apa lagi selain baju tipis itu. “Eunghhhh!” lenguh Indira ketika Efrain memasa memasukinya dengan agak kasar. Indira terus meracau, merasakan baru sebagian milik Efrain yang menyatu dengan tubuhnya, Efrain meremas kedua tangan Indira dan menekan pinggulnya kian dalam hingga Indira menjerit kecil ketika semua batangnya terbenam. Efrain mendiamkan miliknya beberapa detik, menatap wajah wanita yang berhasrat itu. “Lingkarin kaki kamu,” perintah Efrain, Indira melingkarkan kakinya di pinggul Efrain, lalu Efrain kembali menghisap bibir Indira seraya memompa tubuhnya dengan lidah mereka yang saling beradu mencecap rasa. Lama mereka lakukan dengan posisi tersebut, Indira bahkan sudah mendapat pelepasan pertamanya. Efrain terus menghujamkan miliknya. Indira melepas ciumannya dan memalingkan wajahnya, ledakan hasratnya di dalam sana ingin segera keluar. “Mas, euhmmm mau itu ... mau meledak,” ucapnya terputus. “Saya juga ayo bareng aja,” ucap Efrain. Indira melenguh panjang dan melepaskan ledakannya hingga merasa tubuh bagian bawahnya sangat basah, Efrain selalu senang dengan hal ini, dia pun mendapat pelepasannya dalam tubuh Indira. Dia mengecup kening wanita itu yang terengah mengatur napas. Kaki Indira terkulai. Efrain melepas miliknya dan membantu Indira berdiri, lelehan air itu membasahi kakinya. Indira meringis. “Ayo mandi lagi,” ujar Efrain membuat Indira semakin meringis. Dia merasa jijik pada dirinya sendiri yang sangat basah, namun mengapa Efrain justru terlihat bangga? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN