Bab 9. Jangan Salah Paham

1220 Kata
“Maaf, Pak Adnan!” Regan mencekal salah satu tangan Adnan ketika bosnya mau turut masuk ke mobil ambulans. Pria itu menoleh ke belakang bahu, masih dalam keadaan khawatir. “Istri Anda, Pak Adnan. Sebaiknya saya saja yang ke rumah sakit mengurus Indira,” lanjut kata Regan. Wajah Adnan pias saat menatap Priscilla yang berjalan perlahan-lahan dengan raut wajah yang tak bisa Adnan pahami. Kania yang posisinya turut mengikuti brankar yang ditempati Indira buka suara. “Saya yang mendampinginya saja Pak, kebetulan saya satu divisi dan teman Indira,” usul Kania mengajukan diri. Adnan lantas melangkah mundur seraya menatap Regan dan Kania bergantian. “Kalian berdua tolong urusi Indi. Regan, jika terjadi sesuatu segera kabari saya,” pinta Adnan, suaranya agak kecewa tidak bisa mendampingi mantan istrinya dikarenakan ada istri yang menatapnya. “Baik Pak.” Regan mempersilakan Kania untuk masuk ke dalam mobil ambulans, sedangkan ia segera masuk ke dalam mobil dinas yang telah standby, tak jauh dari sana. Tak lama kemudian, mobil ambulans tersebut meninggalkan pelataran lobi. Priscilla yang sudah berdiri di samping suaminya turut menatap kepergian ambulans tersebut. “Aku tidak menyangka Mas Adnan bisa terlihat se-cemas itu pada perempuan lain,” ucap Priscilla pelan. Adnan menoleh, menatap sejenak wajah istrinya yang terlihat sangat berbeda. “Jangan salah paham Cilla. Kalau kamu turut berada di dalam lift, aku juga akan seperti itu, khawatir denganmu. Kami di dalam sana mengalami guncangan hebat, dan dia mengalami sesak napas, kemudian pingsan. Maka dari itu aku takut terjadi sesuatu hal pada karyawan itu. Bagaimana kalau nanti aku yang disalahkan oleh para karyawanku di sini karena lalai menolongnya. Jadi ... tolong jangan berpikiran negatif, dan jangan cemburu. Aku berinisiatif seperti itu karena rasa kemanusiaan, " jelas Adnan, begitu lembut suaranya, dirangkullah bahu istrinya. Wanita itu menatap sendu suaminya, berusaha menghempaskan bayangan suaminya yang tadi membopong wanita lain di depan matanya itu. Maklum, selama ini hanya ia'lah satu-satunya wanita yang diperhatikan, yang dicemaskan oleh suaminya. Tidak ada wanita lain. “Maaf ya Mas, kalau aku sempat jadi berprasangka buruk. Tapi ... Mas ... nggak kenapa-napa, kan?” Pria itu memaksakan diri untuk tersenyum tipis. “Seperti yang kamu lihat ... keadaanku baik-baik saja.” Priscilla tersenyum. “Syukurlah, kalau begitu kita pulang.” “Sebentar, aku koordinasi dulu dengan teknisi. Aku tidak mau kejadian ini terulang kembali, kamu tunggu di sini dulu,” balas Adnan sembari mengurai rangkulannya. Kemudian kembali masuk ke lobi. Dalam hitungan menit Adnan koordinasi dengan para teknis dan salah satu kepala bagian operasional. Setelah itu kembali menghampiri istrinya, dan sama-sama pulang ke salah satu hotel yang tidak jauh dari perusahaan barunya. *** Di salah satu rumah sakit swasta yang tak jauh dari PT. Angkasa Putra, suasana IGD tampak sibuk seperti biasanya. Namun, di kursi tunggu yang menempel ke dinding, dua sosok terlihat tegang. Kania duduk sambil terus menggigit bibir bawahnya, sementara Regan mondar-mandir dengan raut khawatir. "Belum ada kabar dari dalam?" tanya Regan setelah berhenti di depan Kania. Wanita itu menggeleng lemah. “Baru saja perawat masuk untuk ambil tabung oksigen tambahan. Sepertinya Indira masih belum sadarkan diri.” Regan mendesah, matanya memandang lurus ke depan, ke arah pintu berlogo Instalasi Gawat Darurat. “Kamu tahu nomor hp keluarga atau kerabatnya?” Kania mengangguk. “Tapi tadi saya inisiatif ambil HP dari tasnya.” “Bagus. Siapa yang kamu hubungi?” tanya Regan cepat. “Di daftar kontak ada satu nama yang menarik perhatian—‘My Love’. Saya pikir itu pasangannya, ternyata bukan.” Regan mengernyit. “Lalu siapa?” “Ibunya.” Kania menunjukkan layar ponsel. “Tadi saya telepon, beliau kaget. Katanya mau langsung ke sini.” Regan mengangguk. “Baik, kita tunggu. Setidaknya ada keluarga yang bisa temani dan tandatangan persetujuan medis kalau dibutuhkan.” Tak lama, seorang perawat muda keluar dari IGD. Kania dan Regan refleks berdiri. “Maaf, apakah kalian keluarga pasien atas nama Indira Febriana?” tanya sang perawat. “Saya teman kerja sekaligus temannya,” jawab Kania cepat. “Ibunya sedang dalam perjalanan ke sini. Bagaimana kondisinya, Suster?” “Saat ini kami sudah berhasil menstabilkan saturasi oksigennya. Tapi pasien mengalami hypoxia akibat stres berlebihan dan kepanikan yang menekan sistem pernapasannya. Dia juga kemungkinan memiliki riwayat asma atau gangguan kecemasan yang belum kami ketahui. Saat ini masih belum sadar, tapi kondisinya perlahan membaik.” “Syukurlah,” gumam Regan lega. “Kalau ibunya sudah datang, mohon langsung ke bagian administrasi untuk proses selanjutnya,” ujar perawat, lalu kembali masuk. “Saya yang akan mengurus administrasinya, Sus. Karena ini ditanggung oleh perusahaan,” balas Regan sebelum ia kembali ke bagian administrasi. Kania duduk kembali, menarik napas dalam. Regan sudah meninggalkan untuk mengurus administrasi. *** Di tempat lain, di sebuah rumah kecil, Tria meletakkan kembali ponsel di atas meja dengan tangan gemetar. Air matanya terus menetes tanpa bisa dicegah. Ia memandangi cucu laki-laki yang begitu tampan, Ian Aprilio, berusia 3 tahun, yang terlelap di sofa setelah kelelahan menangis karena panggilan telepon dari Ian terputus begitu saja. “Ya Allah, Lindungi anakku,” gumamnya lirih. Tria menyeka air matanya dengan kerudungnya, lalu berdiri dan berjalan ke samping rumahnya. “Yanna! Yanna!” panggilnya tergesa. Tak lama kemudian, seorang wanita muda dengan rambut dikuncir keluar dari rumah sebelah. “Iya, Bulik?” Tria langsung menggenggam tangan keponakannya itu. “Tolong jaga Ian, ya. Bulik mau ke rumah sakit. Indi ada di sana." “Ha? Indira? Kenapa, Bulik?” “Terjebak di lift di kantornya. Kata temannya pingsan. Bulik harus ke sana sekarang.” Yanna menatap wajah tua bibinya yang mulai panik. “Iya Bulik, aku jagain Ian. Kebetulan Mas Banu lagi lembur, belum pulang.” “Terima kasih, Nak.” Tria memeluk keponakannya sebentar, lalu bergegas mengambil tas dan kerudung panjang. Ia kembali melihat Ian yang tertidur pulas. “Sayang ... sabar ya, Nak. Mama pasti nggak kenapa-napa.” Tria berlari kecil keluar rumah, naik ojek online yang sudah ia pesan dan langsung menuju rumah sakit sesuai alamat yang diberikan oleh Kania. *** Kembali ke rumah sakit, waktu terus berjalan. Regan dan Kania kini berdiri di luar ruang observasi, tempat Indira dipindahkan setelah kondisinya stabil. Sesekali Kania melirik ke arah koridor, menanti kedatangan ibu Indira. “Kalau nanti ibunya datang, kita serahkan ponselnya juga. Jangan sampai beliau makin cemas,” kata Regan. Kania mengangguk. “Baik Pak.” Beberapa menit kemudian langkah-langkah cepat terdengar mendekat. Seorang wanita paruh baya dengan wajah penuh kecemasan dan napas memburu terlihat datang, langsung menghampiri meja informasi. “Permisi ... pasien atas nama Indira Febriana ... saya ibunya ...” ucapnya terbata. “Dengan Ibunya mbak Indi ?” Kania langsung berdiri dan melambaikan tangan. “Saya Kania, teman kerja Indira. Mari saya antar.” Regan langsung mengalihkan pandangannya saat Tria sempat menatapnya. Tria segera mengikuti Kania, matanya mulai berkaca-kaca. Begitu sampai di depan ruang observasi, Kania menyerahkan tas dan ponsel Indira. “Dia sudah melewati masa kritis, Bu. Alhamdulillah kondisinya perlahan membaik, tapi masih belum sadar,” jelas Kania Tria mengangguk, lalu memeluk tas anaknya. Air mata menetes membasahi pipinya. “Terima kasih, Nak ... kalian sudah banyak membantu. Allah yang balas semua kebaikan kalian.” Tria kembali menatap Regan dan Kania secara bergantian. “Wajah laki-laki itu, kayak pernah lihat, tapi di mana ya?” batin Tria sembari berusaha mengingat. Regan dan Kania mengangguk. Mereka membiarkan wanita itu masuk ke dalam ruang observasi saat diizinkan oleh perawat jaga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN