Adnan mencoba menikmati makan malam yang sudah dipesan oleh istrinya. Perutnya lapar tapi tidak ada selera. Raganya memang ada di hotel, tapi jiwanya sedang berkelana, entah ke mana.
“Mas, kok makanannya dilihatin aja. Nggak enak ya?” tanya Priscilla curiga.
“Enak kok, tapi perutku rasanya agak nggak enak aja.” Alasan saja Adnan bilang seperti itu.
“Apa perlu aku pesankan nasi goreng aja? Takutnya perut Mas makin sakit kalau makan yang pedes begini. Atau makan sop buntut ini aja Mas?” saran Priscilla menunjukkan perhatiannya.
Adnan mengibaskan tangan. “Tidak usah, kamu ‘kan yang pengen makan sop buntutnya. Aku tetap makan ayam penyet ini,” tolaknya seraya melirik ponselnya yang sejak tadi menerima panggilan telepon atau notif pesan masuk, lalu menyimpan ponselnya ke saku celananya.
“Kenapa Regan tidak kasih kabar juga? Apa dia baik-baik saja,” batin Adnan khawatir.
Pria itu melanjutkan makan malamnya tanpa mengeluarkan suara. Begitu pun dengan Priscilla dalam waktu beberapa menit, sampai akhirnya Adnan mengakhiri makan malamnya dan menyeduh kopi di bagian pantry kecil.
“Mas katanya perutnya tidak enak, tapi malah bikin kopi,” celetuk Priscilla sembari menghampiri suaminya yang masih mengaduk kopinya. Ia merangkul pinggang pria itu dari samping, dan menyandarkan tubuhnya ke sisi tubuh suaminya.
Pria itu tersenyum tipis. “Lagi kepengen minum kopi.”
“Mmm,” gumam Priscilla sembari menatap suaminya. “Mas, aku boleh ngomong sesuatu nggak? Tapi, Mas dengerin ya,” ujarnya begitu lemah lembut dengan meraba d**a suaminya yang begitu gagah. Memberikan sentuhan lembut dan sekiranya bisa membangkitkan hasrat.
“Mau ngomong apa?” tanya Adnan dengan lirikan matanya yang curiga.
“Begini Mas, aku ‘kan sama teman-temanku punya rencana mau buka bisnis resto nih di Jakarta. Terus, aku udah kejatuhan omong sama teman-temanku ... kalau aku akan yang akan menyediakan tem —“
“Kamu butuh uang untuk sewa tempatnya?” sela Adnan, sudah terbaca jalan pikiran istrinya.
Wanita itu tersenyum hangat, lalu mengecup bibir suaminya dan menekannya lebih dalam. Namun, sekejap bayangan wajah Indira yang muncul di pelupuk matanya, sehingga sentuhan bibir Priscilla membuat ia terangsang dalam beberapa menit, usai itu gairahnya mendadak surut setelah sadar bukan Indira yang menciumnya.
“Mas, tahu aja.” Suara Priscilla agak serak saat pagutan mereka lepas, jemari lentiknya mulai membuka kancing kemeja suaminya. Adnan menahan tangan istrinya dengan raut wajah dinginnya.
“Aku ingin malam ini kita habiskan waktu di ranjang yuk, Mas.” Tatapan Priscilla tampak menggoda, bahkan bibirnya menggigit kecil leher suaminya.
Adnan tersenyum kecut, ada rasa muak melihat tingkah istrinya yang akan menggodanya jika ada maunya. Sedangkan kalau ia sedang ingin walau tidak bisa maksimal dalam berhubungan, istrinya selalu mengeluh sedang capek. Padahal kerjaannya hanya bersenang-senang, tidak mengurus mansion atau anak. Ya, mereka belum punya anak.
“Katakan berapa yang kamu butuhkan?” tanyanya sembari menarik diri dari istrinya dengan membawa cangkir kopinya.
“Nggak banyak sih Mas, aku tuh baru survei tempatnya beberapa hari yang lalu. Dan, aku malah ingin beli aja tempatnya, tidak mau sewa. Karena, aku lihat prospek tempatnya sangat strategis untuk usaha cafe atau restoran,” jawab Priscilla semangat sembari mengikuti langkah suaminya yang menuju balkon.
“Berapa perkiraannya?”
“Mmm, mungkin sekitar 5 milyar Mas kalau dibeli.” Dengan entengnya Priscilla berkata seperti itu. “Lagian, uang Mas banyak ‘kan. Jadi 5 milyar itu kecil. Apalagi—“ Rahang Priscilla terkatup saat melihat sorot mata suaminya untuk kali ini berbeda daripada sebelumnya.
“Kamu bilang 5 Milyar itu kecil?” sindir Adnan terlihat tidak suka. “Ini bukan pertama kalinya kamu minta uang dengan alasan buat bisnis. Kamu tidak ingat waktu tahun lalu kamu pun minta aku modali usaha kamu saat mau coba usaha buka butik, yang katanya bersama temanmu itu. Hingga sekarang kamu tidak menunjukkan butik itu padaku?” cecarnya seraya menyesap kopi hangatnya.
“Oh ... butik itu ... a-ada kok, m-masih berjalan kok Mas, ta-tapi ya begitu, sepi. Makanya, aku agak malu buat tunjukkan ke Mas.” Suara Priscilla gelagapan menjawabnya.
Adnan terkekeh pelan, lalu menatap pemandangan kolam renang yang ada di depan president suite room yang ia sewa.
“4 Milyar aku berikan modal untukmu pada waktu itu untuk buka butik. Meski bagiku uang itu kecil, tapi itu jerih payah aku dari berbagai bisnis keluarga dan bisnisku sendiri. Dan, sekarang kamu dengan entengnya minta uang kembali.” Adnan menarik napasnya dalam. “Kalau kamu menginginkannya, buatkan proposal, dan nanti ada karyawanku yang akan terlibat mengawasi bisnismu itu,” lanjut kata Adnan.
“Loh!” Mata Priscilla terbelalak. “Kenapa seperti itu? Mas nggak percaya sama rencana bisnisku ini?”
“Bisa dikatakan seperti itu. Bisnis itu bukan mainan, butuh rencana dan strategi yang matang. Jika kamu tidak mau ikuti aturanku berarti tidak ada uang dariku,” tegasnya.
“Mas.” Priscilla menggeser duduknya agar lebih dekat. “Mas, kok kamu jadi begini. Aku ini istrimu, bukankah sejak awal kamu mengatakan jika apa yang Mas miliki berarti milikku juga. Aku hanya minta 5 milyar kok. Janganlah dipersulit,” rengek Priscilla. “Kalau tidak sampai tidak jadi ... apa kata-kata temanku nanti. Sedangkan mereka tahu jika suamiku pengusaha terkenal, bisnisnya ada di mana-mana. Masa keluarin uang 5 milyar saja sulit,” lanjut Priscilla, wajahnya dibuat memelas.
Adnan menarik napasnya dalam-dalam sembari menghentakan cangkir kopi dengan kasar di atas meja kecil. “Dulu saat aku menikah dengan Indira, dia tidak pernah meminta uang padaku sepeser pun. Ah ... kenapa aku jadi membandingkannya,” batin Adnan ngedumel sendiri.
“Mas, ayolah, tolong kabulkan permintaanku. Aku nggak mau dipermalukan di depan teman-temanku. Dan, kali ini aku mau jalani program bayi tabung yang selama ini kamu inginkan, Mas,” rengek Priscilla dengan mengguncang lengan suaminya.
“Anak!” seru Adnan terperangah. Sejak awal menikah dengan Priscilla, ia memang ingin langsung punya anak. Tapi, Priscilla minta menunda dengan alasan ingin menikmati masa pengantin baru mereka. Namun, kedua orang tuanya selalu menyindir ‘kapan punya anak' dengan lirikan yang tidak nyaman, setiap kali bertemu.
“Jadi, sekarang kamu mau jalani progam kehamilan demi uang sebanyak 5 milyar itu?!” sentak Adnan, matanya menyipit.
Priscilla menganggukkan kepala, dan Adnan menyentak tangan istrinya dengan kasar. “Oh, demi uang kamu mau hamil anakku. Jadi ... selama ini aku ini dianggap apa sama kamu, Cilla? Jangan-jangan selama ini kamu tidak pernah mencintaiku?”
“Mas ... enggak begitu ... aku—“
“Tinggalkan aku sendiri. Aku sangat kecewa denganmu, Cilla.” Adnan menunjuk ke arah pintu kaca pembatas antara ruang tamu dan balkon.
“Aduh Mas ... jangan salah paham. Aku menikah denganmu selama ini karena aku cinta sama kamu, bukan karena uang,” belanya, Priscilla mulai ketar ketir.
“Masuk, Cilla!” Suara Adnan semakin meninggi dengan kilatan matanya yang semakin menajam.