Sepeninggal Priscilla, Adnan mengeluarkan ponselnya, ia sempat menimbang-nimbang antara mau telepon Regan atau tidak. Hatinya agak gelisah, karena belum dapat kabar mengenai mantan istrinya.
“Eh, tunggu dulu, kenapa aku harus peduli dengannya.” Hati Adnan menepis pergulatan hatinya sendiri. Lalu, ia melanjutkan menyesap kopinya. Tapi, itu hanya bertahan hanya beberapa menit saja. Perasaan penasaran lebih kuat dari pada perasaan tidak ingin tahunya.
“Halo Regan, kenapa sejak tadi kamu tidak memberikan kabar sama saya. Bagaimana keadaannya?” Adnan langsung menembak pertanyaan saat panggilan teleponnya dijawab.
Regan meringis kecut mendengarnya. “ Maaf Pak, sebenarnya sebentar lagi saya mau kasih kabar. Tapi, saya pikir takut mengganggu waktu istirahat dengan istri, Pak. Lagi pula keadaan di sini sudah terkendali,” jawab Regan dengan tenangnya.
Adnan membuang napas kasarnya. “Bukan itu jawabannya, Regan. Saya tanya apa ... kamu jawabnya apa,” balasnya dengan ketus. “Yang saya tanyakan itu bagaimana keadaan karyawan itu,” lanjut kata Adnan tanpa meninggikan suaranya.
“Oh, Mbak Indira ... keadaannya baru saja siuman Pak, dan sekarang sedang diobservasi Dokter.”
“Siapa yang menemaninya di sana?”
“Tadi Kania menghubungi keluarganya, ibunya yang datang,” balas Regan dengan hati-hati.
Adnan terdiam. Ia baru teringat jika saat ini ia ada di Surabaya, yang tidak mungkin Indira tinggal sendiri, pasti ada ibu dan sanak saudaranya. Berbeda saat Indira di Jakarta, hanya ia dan kedua orang tuanya yang dikenal Indira.
“Pak Adnan.” Merasa tidak ada celotehan dari bosnya, Regan memanggil.
“Rumah sakit mana dia dirawat?”
“Rumah sakit H, tidak jauh dari kantor, Pak.”
“Baiklah, kamu urus semua administrasi. Jika sudah selesai kamu bisa kembali ke hotel. Dan, tolong jangan banyak basa basi dengan ibunya.”
“Baik Pak.”
Sambungan telepon berakhir, Adnan memejamkan matanya sejenak, hatinya pun kembali bergulat.
Sementara itu, di rumah sakit, ruang observasi, dokter sedang mengecek keadaan Indira kembali.
“Apa yang dirasakan sekarang, Mbak Indira?” tanya dokter Kamal.
“Masih ada rasa sesak, lemas, dan agak pusing.” Suara Indira terdengar lemah.
“Baik, Mbak tetap dibantu pakai oksigen, nanti kita juga imbost vitamin. Kemudian, perlahan-lahan usahakan makan meski sedikit. Makanannya sudah kami siapkan. Dan, malam ini menginap di sini dulu, sampai keadaannya lebih baik,” tutur pria berjas putih itu dengan ramahnya.
“Terimakasih, Dok.” Indira mengangguk paham.
Usai kepergian dokter, Tria mendekat bersama Kania, sementara Regan memilih menunggu di ruang observasi.
“Bu, Kania.”
“Alhamdulillah kamu sudah siuman, kamu minum dulu ya,” pinta Tria sembari menyodorkan pipet dari botol minum.
Kania berinisiatif mengatur posisi ranjang agar sedikit meninggi di bagian kepala. Lalu, lanjut menggeser overbed table yang sudah disediakan makanan dari rumah sakit.
Di saat seperti itu, mata Indira seperti sedang mencari seseorang, dan sangat berharap ibunya tidak bertemu dengannya.
“Ayo Nak diminum, kok kamu malah bengong begitu,” pinta Tria.
“Eh, iya, Bu.” Pandangan mata Indira buyar.
“Habis itu ... makan ya, Mbak, biar cepat sehat. Wajah kamu tuh masih pucat,” sambung Kania yang sudah berdiri di sisi ranjang temannya.
Bibir yang masih memucat itu melengkung tipis. “Makasih ya, Mbak Kania udah ada di sini. Mbak sama siapa?” tanya Indira penasaran.
“Hanya sama Pak Regan, asisten bos baru kita.”
Baru saja Indira ingin mengedipkan matanya pada rekan kerjanya agar tidak keceplosan menyebut nama Adnan, untung saja Kania mengatakannya.
“Alhamdulillah, untung saja dia tidak ada di sini. Bisa gawat kalau ibu lihat,” batin Indira lega.
Pada saat itu, Kania pun bercerita saat Indira terjebak di lift dan mengapa bisa dibawa ke rumah sakit, sembari Tria menyuapi anaknya makan.
Sejam kemudian Kania pamitan pulang, begitu juga dengan Regan yang diwakilkan oleh Kania. Tinggallah Indira bersama ibunya.
“Bu, Ian siapa yang jaga, kalau Ibu ada di sini?” tanya Indira.
“Ada Yanna. Ibu titipkan sama Yanna, jadi kamu tidak usah khawatir. Lagian Ian juga udah dekat sama Yanna dari bayi.“
“Bukannya begitu Bu, sebaiknya Ibu nggak usah menginap di sini. Aku khawatir Ian cari aku, Bu. Setidaknya kalau ada Ibu di rumah ... Ian nggak terlalu rewel,” pinta Indira dengan memelasnya.
“Lah, nanti kamu di sini sama siapa, Indi?”
“Di sini banyak perawat, Bu. Ibu nggak perlu khawatir. Nanti kalau aku kenapa-napa bisa panggil suster,” alas Indira, ia sangat berharap ibunya pulang karena rasa khawatirnya.
Tria sempat terdiam sebentar. “Baiklah kalau begitu Ibu pulang, besok pagi Ibu akan datang ke sini,” putus Tria akhirnya mengalah. Ia mengambil tas kecilnya, tampak bersiap-siap untuk pulang. Namun, tiba-tiba saja ia teringat sesuatu.
“Indi, Ibu kok ngerasa pernah lihat laki-laki yang bersama Kania itu? Dia karyawan tempat kamu bekerja?” tanya Tria penasaran.
“Waduh, gawat nih,” gumam Indira pelan.
“Iya, Bu. Ah, mungkin wajahnya saja yang sama. Di dunia ini kita ‘kan punya tujuh kembaran. Dan, mungkin aja hanya terlihat mirip, Bu. Lagian, aku juga baru bertemu hari ini.” Indira berharap penjelasannya masuk akal.
“Oh.” Mulut Tria membulat, kemudian pamit pulang, walau berat hati meninggalkan anaknya seorang diri.
***
Sementara itu, di hotel.
Regan sudah memberikan kabar jika ia sudah berada di hotel. Urusan Indira telah ia selesaikan Adnan yang sedang duduk di sofa panjang depan pemandangan televisi menyala terlihat gelisah. Sejak tadi memejamkan mata rasanya susah, tidak bisa diajak kompromi.
Sedangkan Priscilla yang sudah mengenakan gaun malam sutranya yang begitu menggoda tampak kembali kecewa. Ia pikir amarah suaminya bisa diredam jika ia bisa menggoda kembali dengan mengajaknya tidur bersama. Rupanya tidak! Bahkan Adnan tidak mau masuk ke kamar, ia memilih berada di ruang tamu.
“Mas Adnan kok jadi tiba-tiba aneh begini ya. Padahal kemarin selama ada di Jakarta tidak pernah seperti ini. Apa benar kata temanku ya, kalau di sini banyak perempuan pakai pelet buat jerat bosnya,” gumam Priscilla curiga.
Adnan yang tidak bisa meredam kegalauan hatinya, dan tak mau menunggu hari esok, ia masuk ke kamar untuk mengambil jaket kulitnya. Sontak saja Priscilla bangun.
“Mas mau ke mana?” tanya Priscilla semakin curiga dengan tingkah suaminya yang menurutnya tidak biasa itu.
“Aku mau pergi dengan Regan dulu, kamu istirahat saja, dan jangan menungguku,” jawab Adnan dingin, lalu kembali keluar.
“Mas, tapi ini udah malam. Memangnya tidak bisa pergi besok aja,” cegah Priscilla dengan menahan tangan suaminya.
“Harus malam ini, ada yang harus aku urus, tidak bisa ditunda. Dan, kamu tidak berhak melarangku. Aku saja tidak pernah melarang kamu buat pergi ke mana pun. Kamu ke club saja bersama temanmu, aku tidak pernah melarangmu.”
Jika sudah dibalik keadaannya, Priscilla hanya bisa terdiam. Adnan pun benar-benar pergi meninggalkannya.
“Argh! Mas Adnan ini kenapa sih!” Priscilla geram dan tak bisa mencegah kepergian suaminya.
***
Setengah jam kemudian, Indira sudah terlelap tidur dengan pencahayaan lampu temaram. Napasnya terlihat teratur meski masih dibantu pakai selang oksigen. Perlahan-lahan pintu ruangan terbuka, dan tampak langkah kaki masuk tanpa menimbulkan suara.