Bab 12. Kakaknya Indira

1125 Kata
Tepat jam 22:30 wib, Adnan tiba di rumah sakit, sesuai dengan informasi yang diberikan Regan, pria itu menuju lantai tiga. “Permisi Suster, saya ingin menanyakan kondisi pasien Indira Febriana. Saya kakak-nya, ruangannya ada di mana dan ada yang menunggunya, kah, di sana?” tanya Adnan yang sudah berdiri di meja perawat lantai tiga. Perawat yang bertugas langsung mengecek data administrasi. “Pasien ada di ruang 305, kebetulan ibunya sudah pulang sejak tadi. Untuk keadaannya, sudah lebih baik, hanya saja masih dalam observasi dokter dulu,” jelas perawat paruh baya itu. “Kalau begitu saya yang akan menemani adik saya, terima kasih sebelumnya,” balas Adnan tersenyum tipis. Ada rasa lega mengetahui Indira sendirian, maka dari itu ia sengaja bertanya dulu sebelum bertindak. “Oh ... silakan Pak. Ruangannya ada di sebelah kanan pojok," ujar perawat itu sembari menunjuk. Adnan mengangguk. Bergegas menuju ruang rawat Indira, yang tidak salah Regan memilih ruangan VIP bukan kelas satu, dua, atau tiga. Pintu dibukanya perlahan-lahan, dengan hatinya yang berharap mantan istrinya sudah tidur. Sebelum ia melangkah, ia diam sejenak untuk memastikan tidak ada suara kecuali mesin infus dan pendingin ruangan. Setelah dipastikan aman, ia pun melangkah lebih dalam lagi dengan sangat hati-hati tanpa mengeluarkan suara gesekan antara sepatu dan lantai keramik. Langkahnya pun berhenti di sisi ranjang, matanya menatap Indira yang terlihat pulas dalam tidurnya. Ia tak bergerak sama sekali, hanya matanya yang menelusuri wajah Indira yang begitu tenang. “Huft.” Adnan menarik napasnya dalam-dalam. Tangannya pun tergerak perlahan-lahan menyentuh wajah mantan istrinya. “Kenapa aku bisa ada di sini?" bisiknya pelan. Batinnya menertawakan tingkahnya sendiri. Bukankah Indira hanya masa lalu yang telah ia buang jauh-jauh? Namun, saat ini ia justru berada di samping mantannya usai pertemuan tadi pagi. Pertanda apakah ini? Lagi, Adnan menghela napas panjang, jemarinya pun masih menikmati mengusap lembut pipi Indira. “Ada apa denganku? Padahal kamu bukan siapa-siapa aku. Dan, seharusnya aku tidak peduli lagi denganmu. Tapi, kali ini ... mungkin aku berada di sini karena kejadian di lift. Kamu karyawanku, dan aku adalah atasanmu. Jadi, aku harap kamu tidak terlalu ge-er.” Adnan sedang mencari pembenaran atas sikapnya tersebut. Rasa kantuk mulai melanda Adnan. Pria itu berulang kali menguap sembari melihat bed tambahan di sebelah ranjang Indira kosong, dan sisi ranjang Indira ada space untuk satu orang. Adnan malah naik ke atas ranjang Indira dengan gerakan yang perlahan-lahan. Nah, loh, ada apa dengan Adnan? Kenapa malah naik ke sisi ranjang Indira. Padahal ada bed tambahan yang bisa dipakai. Sepertinya antara mulut dan hati Adnan tidak bisa sinkron, bahkan ia memiringkan tubuhnya menatap Indira yang terlihat tidak terganggu sama sekali. Dan, lama-lama mata Adnan pun terpejam, masuk dalam ke dunia mimpi. *** Keesokan pagi, sekitar jam 5:40 wib, Adnan tampak segar bahkan wajahnya berseri-seri. Beberapa makanan yang ia beli di depan rumah sakit ia tata di atas meja makan. Mulai dari bubur ayam, nasi uduk, dan berbagai kue. Kemudian, sebelum ia pergi menyempatkan mengusap pipi Indira tanpa banyak berkata. Sementara itu, di hotel, Priscilla baru menyadari jika suaminya belum kembali ke hotel. Ia mencoba menelepon suaminya tapi tidak dijawab. “Ke mana mas Adnan pergi ... hah!” Priscilla kesal sendiri, dan mencoba menelepon suaminya kembali. Tidak berhasil menghubungi Adnan, wanita itu lantas menghubungi Regan. Asisten Adnan yang semula ingin menjawab panggilan telepon Priscilla terpaksa tidak ia angkat karena panggilan alamnya tidak bisa ditunda lagi. “Sorry ya Bu, udah nggak tahan,” gumam Regan, gegas ke kamar mandi. Dan, setengah jam kemudian. Suara derit pintu kamar berbunyi. Priscilla yang masih dalam keadaan kesal lekas bangkit dari duduknya, dan berdiri di depan pintu. “Dari mana aja Mas? KENAPA PAGI BARU PULANG!” hardik Priscilla dengan berkacak pinggang. Alis Adnan bertautan, ia tidak menyahuti hardikan istrinya. Bahkan dengan santainya ia melewati Priscilla begitu saja. “Mas, kamu nggak dengar apa yang aku tanya!” seru Priscilla sembari menahan lengan suaminya. Sebenarnya, wajar seorang istri akan marah dan kecewa saat melihat suaminya baru pulang di pagi hari. Pastinya pikiran ke mana-mana. “Dengar kok, sorry aku baru pulang. Urusan semalam harus membuat aku ketiduran di kantor. Kalau kamu tidak percaya tanyakan saja pada Regan,” jawab Adnan yang tumben tidak terpancing emosi. Apakah ini berkat tidur seranjang dengan mantan istrinya? “Menginap!?” Priscilla tidak percaya. “Cilla, aku malas bertengkar denganmu. Terserah kamu mau percaya atau tidak. Aku harus bersiap-siap kembali ke kantor. Kalau kamu mau balik ke Jakarta hari ini, pulanglah ... aku tidak akan menahanmu. Kemungkinan aku akan lama tinggal di Surabaya sampai semua manajemen bisa berjalan dengan baik.” Adnan menepis cekalan tangan istrinya, dan memilih masuk ke kamar mandi. Priscilla menatap aneh suaminya. “Ada yang aneh, bukankah katanya di Surabaya hanya sebentar saja, hanya beberapa hari. Ini, kenapa mau jadi lama. Tidak ... aku tidak boleh balik ke Jakarta ... aku harus pantau suamiku. Dan, aku tidak mau suamiku terpengaruh dengan nenek lampir itu,” batin Priscilla. “Aku tidak jadi balik ke Jakarta, Mas. Aku akan temani Mas di sini sampai urusan selesai!” sahut Priscilla sedikit berteriak. *** Kembali ke rumah sakit .... “Pagi Mbak Indira, bagaimana istirahatnya nyenyak? Ada keluhan yang dirasakan, atau masih ada rasa sesak lag?” tanya perawat yang bertugas mengecek Indira. “Alhamdulillah, sangat nyenyak, Sus. Dan, tidak sesak napas lagi.” “Alhamdulillah, ini tensinya juga normal 110/80. Mbaknya mau dibantu bersih-bersih di kamar mandi?” Perawat itu kembali bertanya sembari merapikan alat tensinya. “Boleh Sus, kalau tidak merepotkan. Kebetulan saya mau ke kamar mandi.” Indira tidak menolak bantuan, lagi pula ibunya belum datang. “Baik, saya bantu ya Mbak.” Dengan cekatan perawat itu menyingkap selimut yang menutupi Indira, tapi sebelumnya melepaskan selang oksigen. Lalu, baru memapahnya perlahan-lahan. Begitu selesai bersih-bersih, Indira menatap meja makan yang penuh dengan plastik. “Mbak Indira mau langsung sarapan, kah? Kebetulan tadi kakaknya titip pesan udah siapkan sarapan buat Mbak-nya atau mau tunggu dari katering dari rumah sakit?” Indira tercenung. “Kakak?” “Iya, kakaknya Mbak Indira datang dari semalam.” “Perasaan aku nggak punya kakak kandung, adanya kakak sepupunya.” “Yang datang perempuan atau laki-laki, Sus?” Indira penasaran. “Suster tahu namanya?” “Laki-laki, Mbak. Kebetulan saya nggak tahu namanya.” Kening Indira mengernyit. “Laki-laki? Apa mas Banu yang datang ke sini disuruh mbak Yanna?” tebak Indira. Wanita itu mendekati meja makan dan melihat berbagai makanan di atas meja yang menurutnya terlalu banyak. “Mana mungkin Mas Banu beli makanan sebanyak ini? Dia paling banter beli nasi uduk aja,” gumamnya pelan. Namun, gerakan tangannya berhenti saat ada secarik kertas di tengah-tengah plastik makanan. Makan makanannya dan semoga cepat sehat. Dan, segera masuk kerja. Mata Indira semakin membulat. “Jangan bilang kalau yang datang itu—“ “Argh!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN