Bab 13. Oma Widya

1372 Kata
Indira bergulat dengan pemikirannya sendiri sembari menikmati salah satu menu yang disiapkan oleh pria yang ia duga adalah mantan suaminya. Ya, ia menduga Adnan, dari pesan yang ditulis dalam secarik kertas ada pesan ‘segera masuk kerja', dan mana mungkin suami kakak sepupunya berpesan seperti itu. Hanya Adnan yang bisa berpesan seperti itu. “Ck, masuk kerja ... bukannya dia menginginkan aku keluar,” gerutunya kesal. “Assalammualaikum,” suara wanita menyapa di saat pintu ruangan terbuka. “Waalaikumsalan,” balas Indira sembari menoleh ke arah pintu. “Oh, Ibu ... pagi sekali Ibu ke sini. Memangnya Ian nggak rewel?” Wanita paruh baya itu menghampiri Indira yang duduk di meja makan, meletakkan semua bawaannya. “Ian lagi anteng sama Banu ... biasa pagi-pagi udah keliling naik motor. Jadi, buru-buru Ibu ke sini antar makanan sama baju ganti,” balasnya. Bibir Indira membulat. Kening Tria mengerut saat melihat begitu banyak makanan di atas meja. “Kamu udah beli makanan, padahal Ibu udah bawain?” “Enggak beli, Bu, ini teman kantor yang antar barusan,” jelasnya. “Ibu kalau belum sarapan sekalian aja ikut makan, nggak mungkin aku habiskan makanan sebegini banyak.” Tria menarik salah satu kursi dan duduk bersama-sama. Sebelum memilih salah satu makanan, ia membuka wadah makanan yang ia bawa. “Keadaan kamu udah enakkan?” “Udah lebih enak, ini tinggal nunggu visit dokter aja. Aku pengen minta pulang.” “Alhamdulillah, lagi pula Ibu juga horor lihat kamar yang kamu tepati ini. Pastinya sangat mahal, walau kemarin temanmu bilang ini ditanggung sama kantor.” Indira mengedarkan pandangannya ke setiap sudut. Ia baru menyadari kamar ini terlalu bagus buat ia yang hanya seorang asisten manajer. “Bu, kayaknya aku nanti pengen cari tempat kerja baru.” Tria yang baru mengunyah, berhenti. “Kenapa? Bukannya kata kamu perusahaan kamu nggak jadi mem-PHK karyawannya? Dan, mau cari kerjaan di mana, Indi? Ingat, anak kamu masih kecil ... masih butuh biaya banyak. Meski Ibu masih punya sedikit tabungan?” tanyanya dengan wajah sendunya. Wanita itu menarik napasnya dalam-dalam. Benar yang dikatakan ibunya, ia masih butuh uang banyak buat memenuhi kebutuhan mereka semua. Hanya Indira yang jadi tulang punggung keluarga, sementara ibunya hanya sesekali bantu mencari nafkah, jika ada orang katering yang membutuhkan tenaganya. “Sekarang pimpinannya sudah berganti Bu. Kemungkinan akan ada evaluasi karyawan, dan bisa saja aku kena pergantian, atau justru diberhentikan secara sepihak. Maka dari itu, aku ingin berjaga-jaga mencari lowongan pekerjaan. Setidaknya ... buat batu loncatan,” jelas Indira dengan lembutnya, berharap Ibunya memahaminya. Setelah dicerna, Tria mengangguk. “Ya sudah, kalau memang keadaannya seperti itu, kamu juga nggak bisa apa-apa, kan. Tapi doa Ibu semoga kamu tidak dikeluarkan,” harap Tria. "Haruskah kali ini aku minta bantuan sama Nyonya Widya?" Indira tersenyum getir dan kembali melanjutkan sarapannya. Waktu terus bergulir, Priscilla benar-benar ikut suaminya ke kantor. Sebenarnya Adnan tidak menginginkan istrinya untuk turut ikut, untuk kali ini. Padahal kemarin ia sangat menginginkan wanita cantik itu datang, karena ia ingin menunjukkan jika ia telah punya istri di depan para karyawannya. Ibaratnya ingin membanggakan istri yang selama empat tahun ini ia puja. Namun, siapa sangka, kalau tingkahnya itu membuat ia menyesal sendiri. “Permisi, Pak Adnan. Nyonya Widya ada di bawah, ingin bertemu dengan Bapak,” ucap Regan sangat hati-hati, karena ini sangat sensitif. Adnan yang sedang menatap layar laptopnya langsung mendongak. “Maksud kamu, Oma saya ada di sini?” tanya Adnan agak terkejut. Sementara itu, Priscilla yang sedang duduk santai di sofa dengan memegang ponselnya mendesah pelan. “Ah, nenek lampir itu datang juga,” batin Priscilla kecewa. “Iya Pak, beliau ada di—“ Adnan berdiri sembari mengibaskan ujung jasnya, raut wajahnya mulai terlihat tegang, langkah kakinya pun begitu besar. Tanpa mengajak istrinya, ia bersama Regan menyusul neneknya yang masih berada di lobi. Beberapa menit kemudian ... “Assalamualaikum, Oma ...,” sapa Adnan tampak canggung. Ia langsung menyalimi Oma Widya yang masih terlihat ayu, anggun, meski sudah tak muda lagi. Dilihat dari penampilan, Oma Widya memang terlihat wanita berkelas sejak muda meski penampilannya begitu sederhana. “Waalaikumsalam, dasar cucu nakal. Dari kemarin Oma udah nunggu di rumah. Tapi kamu nggak datang-datang ... apa udah mulai ikut-ikutan kayak istrimu yang tak mau ketemu Oma lagi,” cerocos Oma Widya sembari menepuk-nepuk lengan cucu kesayangan. Pria itu pura-pura meringis kesakitan, lalu merangkul bahu oma-nya dengan mesranya. “Tidak begitu Oma sayangku. Rencananya hari ini aku mau tengok Oma, tapi Oma udah datang ke sini,” suara bariton Adnan mendadak lemah lembut. Oma mendesis pelan, sudut bibirnya melengkung tipis. Sekesal-kesalnya Oma Widya, tetap ia amat menyayangi cucu pertamanya. “Ayo Oma, kita ke ruanganku. Oma pasti ingin lihat perusahaan baru aku, kan?” ajak Adnan tanpa melepas rangkulan. “Itu pastilah! Kalau bukan berkat analisa Oma, mana mungkin kamu mau investasi di sini,” Oma Widya menjawab sedikit ketus. *** Begitu tiba di ruang direktur, Priscilla semakin tampak kecewa melihat suaminya datang bersama Om Widya. Ia pikir hanya bertemu di lobi saja, tidak sampai dibawa ke ruang kerja. Namun, per sekian detik sudut bibir Priscilla tersenyum hangat. “Oma Widya, apa kabar?” sapa Priscilla dengan ramahnya, ia mencium punggung tangan wanita tua itu. “Baik, Oma pikir kamu tidak ada di sini. Ternyata ada di sini juga,” sindir Oma Widya sembari memalingkan wajahnya. Priscilla tersenyum kecut. “Iya Oma, soalnya Mas Adnan minta aku temani kerja. Oma, kan, tahu sendiri kalau Mas Adnan itu nggak mau aku jauh-jauh darinya,” balas Priscilla, suara terdengar lemah lembut dan sedikit manja. Oma Widya sampai bergidik saking jijik mendengarnya. “Lebay banget,” gumamnya. “Oma, ayo duduk. Regan tolong siapkan minum dan beberapa cemilan,” perintah Adnan sembari menggiring Oma-nya untuk duduk, sementara asisten Oma menunggu di luar. “Adnan, semalam kamu menginap di mana? Kamar kamu di rumah sudah Oma siapkan, jadi kamu tuh ndak perlu menginap di tempat yang lain?” tanya Oma Widya sembari melirik Priscilla. “Semalam kami menginap di hotel dekat sini. Maaf Oma, kalau kami kemarin tidak langsung ke rumah Oma.” Regan dan Sherly datang dengan membawa troly makanan. Mereka berdua menghidangkan teh dan kopi hangat serta beberapa kudapan. Usai itu, Sherly meninggalkan ruangan, namun Regan tetap tinggal. “Silakan Nyonya.” Regan memberikan cangkir teh untuk dinikmati Oma Widya. “Terima kasih, Regan.” Wanita tua itu tersenyum. Priscilla dan Adnan turut menikmati minuman hangat tersebut sebelum kembali berbincang. “Adnan, berapa lama kamu akan tinggal di Surabaya? Dan Oma harap kamu tinggal di rumah selama ada di Surabaya. Jangan sampai bilang istrimu tidak mau tinggal di rumah Oma, dengan berbagai alasan. Kalau dia tidak suka, ya ... suruh pulang saja ke Jakarta,” ucap Oma Widya ketus. Cangkir teh yang masih dipegang Priscilla semakin dicengkeram, meluapkan rasa kesalnya. Sementara Adnan terlihat tenang, tidak membela Priscilla seperti biasanya. “Aku tidak pernah melarang Mas Adnan untuk menginap di rumah Oma. Hanya saja aku takut merepotkan Oma saja kalau kami berlama-lama menginap di sana,” jelas Priscilla masih tersenyum hangat, tapi hatinya udah ngerundel. “Alasan yang tidak masuk akal. Di rumah juga banyak pembantu yang bekerja, tidak membuat Oma repot sekali. Sudahlah Priscilla, jangan banyak alasan kamu. Oma hanya minta cucu Oma untuk menginap di rumah, kalau kamu tidak ikut tak mengapa,” balas Oma Widya sembari menyesap teh hangatnya. “Oh iya, Oma baru ingat dengan janjimu Adnan, empat tahun yang lalu. Jika tahun ini kamu istrimu belum juga hamil, berarti Oma ingin kamu menikah lagi. Tidak ada penolakan!” tegas Oma Widya dengan sudut bibirnya tersenyum miring. Sontak saja, Priscilla yang tidak tahu apa-apa menatap suaminya dengan sudut matanya menyipit. “Menikah dengan perempuan pilihan Oma! TIDAK ADA PENOLAKAN!” Adnan menghela napas panjang sembari mengingat janjinya pada Oma-nya saat menikah dengan Priscilla. “Oma! Jangan ambil keputusan seenaknya aja ya! Gila aja menyuruh suamiku menikah lagi, gara-gara aku belum hamil. Aku dan Mas Adnan sedang berjuang agar kami segera punya anak!” sergah Priscilla, ia tidak bisa diam begitu saja. Ia tidak rela suaminya poligami. “Oh, ya, kalian sedang berusaha? Udah sampai mana usahanya? Kalau memang kalian sedang berusaha, coba tunjukkan usahanya dalam waktu dua bulan ini,” ucap Oma Widya dengan gaya santainya. Hati Priscilla mengeram, tangannya semakin terkepal, apalagi suaminya masih saja diam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN