“Mas! Kamu kok diam aja. Katakan sama Oma kalau kita lagi program bayi tabung, kan? Minggu depan kita akan temu janji dengan dokter di Jakarta,” desak Priscilla sudah gemas melihat suaminya tidak buka suara. Justru, sekarang Adnan sedang menyesap kopinya.
Oma Widya tergelak tawa, tapi diujung matanya menitikkan air mata. Dengan gerakan samar-samar ia mengusap air mata yang sempat terjatuh.
“Keturunan keluarga besar Sudarsono tidak boleh berhenti, Adnan. Selama tidak ada masalah kesehatan, kecuali kamu memang ada masalah kesehatan yang sehingga tidak bisa memberikan keturunan. Oma tidak bisa berbuat apa pun, tapi jika istrimu yang memiliki masalah, maka dia harus rela dimadu, suka tidak suka. Kecuali dia ikhlas untuk berpisah. Waktu empat tahun, bukanlah waktu yang sebentar ... itu waktu yang cukup lama. Oma hanya menagih hutang janjimu, dan kamu sudah tahu, kan, Adnan?Dan, ingat umurmu juga sudah 34 tahun. Bukan usia muda lagi.”
Adnan menghela napas panjang sembari menaruh cangkir kopi ke atas meja. “Ya, Oma,” balas Adnan pelan.
“Mas!” seru Priscilla tidak suka melihat suaminya menurut begitu saja.
“Baiklah, kalau begitu sambil menunggu hasil usaha kalian dalam dua bulan ini. Dan, kebetulan kamu berada di Surabaya. Tidak ada salahnya Oma akan memperkenalkan perempuan pilihan Oma padamu. Dan, tolong ajarkan istrimu untuk tidak bertindak gegabah. Kecuali, dia mau berpisah denganmu. Besok, kamu juga harus menginap di rumah, tidak ada alasan menolak!” tegas Oma Widya sembari beranjak berdiri. Ia tersenyum hangat saat menatap Priscilla.
Adnan turut beranjak. “Ya, Oma, besok aku akan ke sana.”
“Oma tunggu, kalau begitu ... Oma pamit, karena akan memberikan kabar baik ini pada keluarga perempuan itu jika kamu sudah ada di Surabaya.” Lagi-lagi Oma Widya tersenyum penuh makna sembari menepuk lembut bahu cucu pertamanya.
***
“Mas! Maksudnya apa kamu barusan, Mas! Kenapa sejak tadi Mas diam saja, dan tidak membelaku!?” seru Priscilla. Begitu Adnan mengantarkan oma-nya keluar, wanita itu langsung mendorong suaminya dengan kasar.
“Maksud apa?” Alis Adnan naik sebelah, kakinya kembali melangkah menuju meja kerjanya.
“Yang barusan Oma katakan itu. Jadi, kamu memang berniat ingin nikah lagi? Aku ini istrimu, dan aku tidak akan pernah merestui pernikahan Mas itu. Dan, aku bakal melaporkan ke polisi sebagai kasus perselingkuhan!” suara Priscilla semakin menggebu-gebu.
Adnan menghela napas, mata legamnya berkilat saat menatap istrinya kembali. “Ingin melaporkan aku ke polisi? Yakin?”
“Yakin, udah ada undang-undangnya kok? Kasus perzinaan dan perselingkuhan?”
“Lalu, dulu, saat aku menikahi kamu dan baru tahu ternyata kamu tidak perawan lagi. Apakah boleh aku melaporkannya ke polisi?” Adnan balik bertanya dengan lirikan penasarannya.
Rahang Priscilla mengatup, Adnan kembali duduk.
“Kamu tahukan untuk mendapatkan restu dari Oma dan kedua orang tuaku untuk menikahimu, begitu sulit. Aku berusaha untuk meyakinkan mereka jika kamu memang pantas menjadi pasanganku dan ibu dari anak-anakku. Aku pun meyakinkan dan berjanji pada Oma jika kamu akan segera memberikan aku seorang atau dua orang anak secepatnya. Dan ... seperti yang kamu dengar ... Oma rupanya masih mengingat janji dan sekarang menagih janji padaku. Sedangkan kamu ... berulang kali aku mengatakan ingin punya anak, tapi selalu saja kamu banyak alasan,” jelas Adnan serius.
Priscilla bergeming.
“Andaikan saja kita punya anak satu saja, mungkin Oma tidak akan menagih janji padaku. Tidak akan meminta aku menikah lagi, Cilla. Dan, selama ini aku juga ingin punya anak, seperti teman-temanku. Aku juga ingin merasakan setiap pulang kerja disambut oleh anak dan istriku. Tapi, selama empat tahun aku merasa tidak berkeluarga denganmu.”
Priscilla menggigit bibirnya, kakinya kembali melangkah mendekati meja kerja suaminya. “Aku harus cari akal, jangan sampai suamiku menikah lagi dengan perempuan pilihan Oma-nya.”
“Kenapa Mas mengungkit masa laluku, bukan ‘kah Mas menerima kondisiku. Tolong jangan diungkit lagi. Kita bicarakan masa sekarang. Sekarang aku siap mengandung, Mas. Tapi, aku minta syarat darimu,” suara Priscilla begitu pelan.
“Syarat apa?” Mata Adnan memicing.
“Ada dua yang harus Mas penuhi, maka aku akan siap mengandung dan melahirkan anak Mas.”
Adnan berdecak pelan, tubuhnya pun condong ke depan dengan kedua tangannya saling bertautan. “Uang ‘kan yang kamu minta, Cilla!” tebak Adnan penuh penekanan.
Priscilla mengangguk,”...dan, aku melarang Mas untuk menikah lagi,” tambahnya.
Pria itu menatap lekat wanita berstatus istrinya itu. “Kamu tahu Cilla, aku kok semakin lama semakin kesal denganmu. Sebenarnya kamu itu istriku atau wanita panggilan yang segala sesuatunya pakai uang? Di mana-mana seorang istri itu sangat ikhlas mengandung anak dari suaminya karena saling mencintai. Dan, memangnya kamu bisa menjamin dalam dua bulan ini kamu akan segera mengandung? Aku rasa tidak!” Suara Adnan naik satu oktaf.
“Bu-bukannya begitu Mas ... a-aku ikhlas kok mengandung anakmu. Hanya saja uang yang aku pinta itu buat motivasi aku, dan membeli kebutuhan selama proses hamil. Dan, aku amat yakin ... dalam waktu cepat aku hamil, Mas.” Priscilla sempat gelagapan, tapi buru-buru berusaha untuk meyakinkan suaminya.
Adnan terkekeh pelan. “Nafkahmu setiap bulan 250 juta memangnya tidak cukup buat keperluan kamu sendiri? Dan, aku amat ragu kamu hamil anakku, Cilla.”
“Mas!” Priscilla memutari meja kerja, lalu menyentuh lengan suaminya.
“Mas, jangan bilang begitu. Uang itu cukup kok, lagian aku hanya minta tambahan dikit saja ... hanya satu milyar aja. Dan, tolong jangan ragu ama aku, rahimku sehat kok. Tempo hari aku pernah periksa ke dokter,” bujuk Priscilla.
Adnan menepis tangan istrinya, berbarengan dengan Regan yang masuk kembali ke ruangan Adnan.
“Kebetulan sekali kamu datang, tolong minta sopir mengantarkan istri saya balik ke hotel,” perintah Adnan.
“Mas ... Mas ngusir aku, ya!” Tubuh Priscilla menegang.
“Bukannya mengusir, tapi aku sedang banyak pekerjaan, “ balas Adnan dengan berpura-pura menatap dokumen yang ada di meja.
“Mari Bu, saya antar ke lobi.”
Dengan perasaan kecewanya Priscilla mengambil tas-nya dari sofa. “Aku harap Mas pulang cepat hari ini, kita bicarakan di hotel.”
“Mmm,” gumamnya terdengar malas.
Begitu Priscilla keluar dari ruangannya, Adnan menarik napasnya dalam-dalam.
“Mengapa sekarang aku tidak menginginkan Cilla hamil anakku,” gumamnya pelan.
Beberapa detik kemudian, ia membuka ponselnya. Ia menatap nomor ponsel Oma-nya. “Indira Febriana, hanya dia yang bisa buat adik kecilku menegang,” gumamnya sendiri.
“Oma, bolehkan aku yang memilih calon istriku sendiri?” Jemari Adnan begitu cepat mengetik pesanan. Tak lama kemudian, pesannya terbalas.
“Tidak! Hanya Oma yang memilih calon istrinya. Kamu harus pegang janjimu sendiri sebagai laki-laki. Dan, tenang saja, perempuan ini sangat cantik, masih muda, dan sangat pintar. Kamu pasti akan terpesona dengannya. Mungkin, besok kamu akan menemuinya di rumah Oma,” balas pesan Oma Widya.