Menerima Apa Adanya

1623 Kata
Setelah menempuh perjalanan lebih dari 8 jam, sampailah mereka di sebuah jalanan yang kian jauh dari keramaian. Dilihat dari kegiatan orang-orang di sana yang beraktivitas di kebun, Keyra tahu itu adalah sebuah pedesaan. Sepanjang jalan melewati pemandangan yang hijau dan sejuk, menurut Keyra tempat itu tidaklah buruk. Hanya saja jarak rumah satu dan yang lain cukup jauh. Mobil berhenti ketika mereka sampai di sebuah rumah panggung kecil di tengah hijaunya tanaman di kebun yang Keyra tak tahu jenis tanaman apa. "Yakin kalian mau tinggal di sini Ka, apa nggak terlalu horor dan kecil rumahnya?" Tanya Handi ketika mereka semua sudah turun dari mobil. "Nggak, udah benar ini rumahnya karena memang gue hanya mampu tinggal di tempat ini. Ayo, masuk dulu." Kana masuk lebih dulu ke rumah itu tanpa mempedulikan Keyra yang masih sibuk dan kerepotan menurunkan kopernya. "Butuh bantuan?" tanya Nino pada Keyra. "Nggak usah, takut Om Kana cemburu." Nino yang tadinya kasihan berubah jadi sedikit ilfeel akan rasa percaya diri Keyra yang terlalu tinggi. Ia yakin jangankan Kana cemburu, Keyra dianggap istri saja tidak. Mereka berempat masuk ke rumah panggung itu. Orang yang langsung penasaran dengan isi rumah itu adalah Nino, dia langsung memasuki semua ruangan untuk memastikan tempat itu layak ditempati atau tidak. Meskipun terbuat dari kayu dan kecil, tapi rumah itu cukup bersih, sepertinya memang sudah di bersihkan lebih dulu sebelum mereka datang. Tapi dimata Nino tetap saja untuk manusia normal tidaklah pantas jika jadikan rumah tinggal dengan jangka waktu lama. Rumah itu sepertinya di desain untuk tempat menjaga kebun dan menginap sesekali saja. Kana terlalu totalitas menjadi orang miskin. Mereka bertiga duduk lesehan di teras rumah sambil meminum minuman yang tadi dibeli di jalan. Sementara Keyra sudah masuk ke dalam rumah itu dan tak kunjung keluar lagi entah apa yang sedang dilakukan. "Udahlah Ka, kita pamit. Rumah lo cuma ada satu kamar, kita nggak bisa numpang istirahat." "Gue booking-in hotel terdekat kalau mau istirahat," ucapa Kana. "Nggak usah, kita langsung pulang aja. Mendingan duitnya lo pakai buat beli beras, Ka. Kalau memang perlu menginap kita bisa bayar sendiri." Kana menatap tajam mata Handi yang seperti meremehkan dirinya. "Udah ya Ka, kita pulang. Baik-baik lo di sini kalau ada apa-apa kabarin. Ngomong-ngomong, selamat ya, selamat menempuh hidup miskin," imbuh Nino. "Hidup miskin nggak bakalan bikin gue mati." "Nggak bikin matin tapi kalau di tempat sepi kayak gini lo justru jatuh hati sama Keyra gimana?" tanya Handi. "Nggak mungkin." "Gue karungin omongan lo, Ka. Kalau sampai iya lo mesti traktir kita naik haji." "Lo aja, gue belum siap," sahut Nino. "Udah sana pulang, biaya sewa mobil sama uang bensinnya udah gue transfer." "Lah, ngusir." "Kalian berisik, lama-lama kayak bisa berada di pihaknya Keyra." "Key, Sayang, kita pulang ya!" seru Handi usil. Mendengar suara teman-teman Om Kana, Keyra segera keluar kamar. Mereka bertiga menatap tubuh Keyra dari ujung kepala hingga ujung kaki. Baju putih Keyra terdapat noda hitam di mana-mana. "Tunggu Om, aku mau buatin minum dulu, cuma ini hidupin apinya lama karena pakai kayu, aku lagi lihat tutorial di hape dulu tadi." "Nggak usah repot-repot Key, kita udah minum kok." Nino meringis kasihan melihat kondisi Keyra. Dalam hati dia berharap Keyra tidak betah dan segera meninggalkan Kana dan kembali pada orangtuanya. "Ya udah, sekali lagi terimakasih ya, Om." "Iya. Baik-baik di sini." Nino memang memberikan ide ini pada Kana, dia juga tidak suka cara Keyra menjerat Kana. Tapi dia mengenal baik Keyra dari Kana, selain tindakan nekadnya hari itu, Keyra anak yang baik. Kana dan Keyra mengantar Handi dan Nino dari halaman rumah. Mereka baru masuk ke dalam rumah setelah mobil yang mereka tumpangi sudah tak terlihat. "Om, aku lapar." "Masak." "Masak apa? Di dapur cuma ada beras, garam, minyak, gula, teh. Bumbu-bumbu juga nggak ada." "Masak nasi. Bumbu, dan sayur ada di halaman belakang rumah, tinggal petik." "Ya ampun, Om. Aku nyalain apinya aja susah banget, kalau harus masak nasi sama lauk yang bahannya harus di petik dulu kapan matengnya?" tanya Keyra. "Nggak ada mi instan aja?" "Sekarang kita hidup di desa Key, begitulah cara orang desa bertahan hidup. Tidak ada yang serba instan di sini." "Tahu gini aku bawa mi instan yang banyak dari rumah tadi, di dapur Nenek 'kan banyak." Walaupun mengeluh dan ngedumel, tapi Keyra tetap beranjak ke dapur. Dia pernah jadi anggota pramuka yang berkegiatan di alam sewaktu sekolah. Untuk cara memasak nasi dengan api manual begini dia pernah melihat teman melakukannya. Walaupun belum pernah praktek sendiri tapi setidaknya ada sedikit bayangan bagaimana cara melakukannya. Sebelum itu Keyra membuka pintu belakang rumah. Dan benar di sana terdapat banyak sekali jenis sayuran, cabai, dan bawang. Dengan semangat Keyra turun lalu memetik beberapa sayuran yang kiranya familiar dan pernah dia makan. Keyra segera menyiapkan bahan-bahan yang akan dimasak, dari beras, sayur-sayuran, dan bumbu seadanya yang dia temukan di kebun belakang rumah. Setelah itu dia mencucinya. Meskipun serba terbatas, Keyra merasa tenang karena untuk air dan penerangan di rumah itu ada dan lancar. Setelah semuanya siap, Keyra membuka ponselnya, mencari tutorial memasak sayuran agar bisa dimakan. Karena selama ini Keyra tidak pernah masuk ke dapur untuk memasak. Baik di rumah kedua orangtuanya, ataupun kakek-neneknya, dia tinggal makan karena ada orang yang bekerja khusus di bagian dapur. Belum apa-apa Keyra sudah gerah dan lelah, apinya baru menyala setelah lebih dari sepuluh menit berusaha untuk menghidupkannya. Jempol tangganya bahkan sampai memerah dan panas terkena pemantik api. Perjalanan masih panjang sampai Keyra bisa mengisi perutnya. Hampir dua jam Keyra berkutat di dapur, dia berhasil membuat satu tumisan brokoli dan sawi, dan nasi yang bagain bawahnya gosong tapi atasnya masih terasa agak sedikit mentah. Ketika dua makanan itu coba Keyra satukan, yang terasa hanya rasa asin dan keras dari nasi yang baru setengah matang. Makanan terburuk yang pernah lidah Keyra rasakan. Keyra tahu nasi itu kurang air, tapi untuk membuatnya lagi dia sudah lelah, tenaganya habis. Belum lagi dia harus mandi karena kotor dan tubunnya bau asap. Jika dia menjadi istri dari Om Kana dengan cara wajar atau saling cinta pasti sudah menuntut untuk membeli kompor listrik, meminta dibelikan penanak nasi, dan alat dapur lainnya. Tapi ia sudah tahu akan resiko ini jadi sebisa mungkin akan menerima Om Kana apa adanya. "Om, makanannya udah jadi." Keyra membawa makanan yang kurang layak makan itu ke hadapan suaminya. "Saya tidak lapar, kamu aja yang makan." Wajah Keyra cemberut, makanan yang ada di hadapannya tidak enak, dia berharap Om Kana mau menikmati bersama-sama agar rasa tidak sedap itu tersamarkan karena makan dengan orang yang dicinta.Tapi ternyata jawaban Kana mengecewakan "Kalau tidak bisa dimakan tidak usah di makan, kamu tinggal minta di antarkan pulang ke rumah, mengakui kesalahan kamu, dan kita bercerai. Maka kamu tidak perlu hidup menderita di sini." "Apaan sih Om, ini baru hari pertama di sini, baru pertama kali aku masak, jadi makanannya belum matang sempurna, belum enak ya wajar. Aku cuma perlu menyesuaikan diri aja buat tinggal di sini dan hidup sederhana. Kamu jangan cerewet." Kana menatap mata Keyra tak suka. Bukan wajah tegar seperti ini yang dia harapkan, tapi tangis putus asa Keyra karena dia bawa tinggal di tempat di rumah yang jauh dari kata layak. Alih-alih terharu akan jawaban Keyra dan mencicipi makanan buatan istrinya, Kana justru pergi keluar rumah dan meninggalkan Keyra begitu saja. Keyra menghembuskan napas berat, ini baru hari pertama, ia hanya perlu beradaptasi dan belajar hidup sederhana. Ia yakin esok hari bisa menanak nasi dengan lebih baik, bisa lebih kira-kira lagi dalam menaburkan garam ke masakannya. Keyra mengambil nasi dan sayur buatannya, menaruhnya di piring lalu berdoa. Sebelum menyuapkan makanannya, dia membayangkan wajah keluarganya, Mama, Papa, Leo, dan Kakek-neneknya. Keyra menyayangi mereka semua, dan rasa tidak enak dari makanan yang masuk kedalam perutnya tidak berarti apa-apa. *** Keyra sudah merebahkan tubuhnya di kasur tipis yang ada di lantai saat Om Kana pulang dan masuk ke kamar. "Mulai besok saya akan bekerja di kebun seperti orang-orang yang ada di sini. Pulang di jam makan siang dan kembali bekerja lagi sampai sore hari. Kamu tetap di rumah, masak untuk kita makan, selebihnya terserah mau ngapain asal tidak pergi dari rumah." "Iya Om, aku ngerti. Kamu tenang aja, aku akan menerima kamu apa adanya dan berusaha menjadi istri yang baik. Maaf sudah membuat kamu berada dalam keadaan seperti ini, harus bekerja dengan tenaga dan mengeluarkan keringat demi sesuap nasi, nggak seperti kemarin-kemarin." Kana menatap wajah Keyra tidak suka. Ia benar-benar tidak suka Keyra seperti ini. Bahkan ia terkejut ketika Keyra bisa menelan makanan hasil masakan dia sendiri yang tidak layak makan. Kana mencicipinya ketika pulang dan makanan itu masih ada. Tidak tersisa banyak pertanda Keyra memakannya tidak sedikit mungkin karena sayur ekstra garam yang dia masak. Ada rasa tidak tega di hati Kana, ia teringat Keyra keponakannya yang sangat pemilih soal makanan. Apa iya Keyra benar-benar mencintainya hingga mau hidup susah seperti ini? Apa se-buta itu rasa cintanya Keyra? Lalu apa kiranya sesuatu yang bisa membuat Keyra tidak betah jadi istrinya? Apa mungkin melayani dirinya sehari tiga kali bisa membuatnya lelah dan pergi? Kana menjambak rambutnya, berusaha mengusir keinginan itu dari otaknya. "Kenapa Om, mau minta jatah?" Keyra yang melihat tingkah aneh Kana berusaha memahami sesuatu. Om-nya adalah laki-laki dewasa yang mungkin memang butuh begituan setiap malam. Walaupun masih ada rasa takut akan rasa sakit, Keyra akan berusaha memenuhi kebutuhan Kana sebagai suami. Membuat dia betah beristrikan dirinya. "Om, mau minta jatah atau enggak? Aku nanya serius nih? Kalau enggak aku mau tidur." Ucap Keyra sekali lagi. "Buka baju kamu!" "Jangan galak-galak kenapa?" "Kamu bukan Laras, jadi pantas buat di galakin. Kalau seandainya yang jadi istri saya adalah Laras saya pasti akan memintanya dengan lemah lembut." Wajah Keyra langsung mendung begitu nama Laras di bawa-bawa ke tempat tidur mereka. Kana tersenyum puas, sepertinya dia tahu apa yang membuat Keyra tidak suka dan mungkin tidak akan betah berlama-lama jadi istrinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN