Bab 2. Sepertinya Aku hamil

1627 Kata
“Angkat teleponku, Mara! Kita harus bicara!” Amara menatap pesan dari Arka dalam handphonenya sesaat sebelum ia menghempaskannya ke atas meja kerjanya. Hari ini ia menolak dan ditolak. Seharian ini Arka mencoba menghubunginya tetapi Amara masih tak ingin mengangkat telepon dari kekasihnya itu, disaat yang sama ia mencoba menghubungi Lembayung – sang adik, tetapi Lembayung selalu mereject panggilan darinya. Amara tak menyangka, Lembayung akan menemukannya bersama Raga dalam waktu secepat itu. Ia tak berencana seperti itu. Pandangan mata Amara tampak kosong menatap langit di luar jendela ruang kerjanya. Biasanya ia tak pernah secemas ini. Hubungannya dengan Raga memang sejak dulu sudah sangat intim. Mereka kenal karena bersekolah di SMA yang sama. Karena kecerdasan Amara, ia bisa masuk sekolah swasta mahal dengan full beasiswa. Sedangkan Raga karena berasal dari keluarga yang kaya raya, ia bisa masuk sekolah manapun yang ia inginkan. Sama-sama cerdas, berani dan bebas membuat Amara dan Raga menjadi sangat dekat. Walau begitu mereka tak pernah membuat status mereka resmi sebagai kekasih, karena mereka sama-sama ingin bebas. Apalagi ternyata mereka tinggal tak begitu jauh, bahkan ibu Ima – ibunda Raga sampai memesan catering harian untuk makanan mereka dirumah. Kebiasaan itu terbawa sampai mereka kuliah. Walaupun Raga kuliah di luar tetapi hubungannya dengan Amara tetap dekat dan intim walau mereka sama-sama memiliki kekasih. “Dek, kita harus bicara, tolong angkat telepon mbak!” tulis Amara dalam pesannya pada Lembayung. Kali ini ia tak cukup sabar untuk segera berkomunikasi dengan Lembayung. Tapi tak ada jawaban. Tiba-tiba handphone Amara berdering nyaring dan nama Raga muncul di layar handphone itu. “Halo,” sapa Amara. “Kamu sudah bicara dengan Lembayung?” tanya Raga cepat. “Ck! Aku kan sudah bilang, kalau aku sudah bicara dengan Lembayung pasti aku kabari! Dia masih tak ingin mengangkat teleponku!” “Berikan nomornya padaku, biar aku yang menghubunginya.” “Tak perlu! Ini urusanku dengan adikku!” “Tapi aku kasihan sama Lembayung, dia pasti syok melihat kita…” “Trus kamu bisa apa?! Coba dari dulu kamu gak kasih harapan dan kata-kata manis sama dia, pasti dia bisa jadi perempuan normal! “ “Kok, kamu jadi marah sama aku?!” “Akh, kenapa kita jadi bertengkar sih?! Biar aku saja yang gelisah! Toh, kamu juga bukan kekasih Lembayung! “ “Aku ini sedang mencoba membelamu! Aku tak ingin Lembayung melaporkan kelakuan kita pada bu Amih dan membuat orangtuamu marah!” “Sudah, tenang saja! Lembayung bukan perempuan seperti itu! Seliar apapun aku, ia tetap akan tutup mulut dan membelaku! Biarkan urusan ini jadi masalahku saja… kamu tolong aku untuk hal yang lain…” Hening. Yang terdengar hanya deru nafas halus Raga diujung sana. “Kamu yakin untuk putus dengan Arka?” tanya Raga. “Iya.” “Bagaimana jika ia menolak?” “Jika ia menolak, tandanya ia harus bisa meyakinkan kedua orang tuanya bahwa ia memilihku sebagai istrinya kelak! Jika tidak bisa lebih baik kami putus saja! Tolong, jadilah kekasihku sesaat,” pinta Amara perlahan. “Menjadi kekasih pura-puramu hal mudah untukku, andai kamu ingin kita resmi sekalipun aku mau.” “Raga … please… jangan berlebihan begitu…” “Kamu selalu tahu bahwa dari dulu aku selalu menyukaimu bukan?” “Iya, tapi kali ini aku cintanya sama Arka, bukan sama kamu…” “Ya sudah, putus saja. Aku yang akan menggantikannya.” Amara hanya diam dan mengalihkan wajahnya sesaat dan tetap mendengar deru nafas Raga dari ujung sana. Ia tahu ucapan Raga tulus padanya, tetapi saat ini hatinya sudah menjadi milik Arka. Ia melakukan semua ini demi mendapatkan perhatian Arka dan agar pria itu memperjuangkan cinta mereka. “Saat ini cintaku hanya untuk Arka,” gumam Amara perlahan. *** “Dari mana kamu dek? Jam segini baru pulang?!” tegur Amih ketika memergoki anak bungsunya baru pulang hampir tengah malam. Lembayung hanya diam dan memalingkan wajahnya, ia tak ingin sang ibu melihat matanya yang sembab karena habis menangis. “Anak gadis gak seharusnya keluyuran sampai hampir tengah malam begini! Jam kerja kamu itu fix, dan kamu bukan orang marketing atau sales yang harus menemani client dijam pulang kerja!” tegur Amih yang merasa sangat kesal karena perasaannya menjadi cemas tak karuan menunggu Lembayung pulang. “Mama harusnya gak usah peduliin Lembayung! Mau seperti apapun, Lembayung gak liar! Lembayung bisa jaga diri dan martabat!” ucap Lembayung terdengar marah pada sang ibu. “Heh! Ditegur orang tua malah ngelawan! Kamu kenapa sih?! Tadi pagi seneng - seneng gara -gara mau ketemu Raga, sekarang pulang udah tengah malam dan marah - marah!” “Jangan sebut nama pria itu lagi!” “Kamu kenapa sih, dek?!” “Udah ma, biarin aja! Mungkin dia lagi kesal urusan kerjaan, jadi moodnya berantakan,” ucap Amara tiba-tiba muncul diantara ibu dan adiknya. Melihat Amara, Lembayung segera berjalan bergegas masuk ke dalam kamar dan membanting pintu. Belum sempat ia menguncinya, Amara keburu masuk dan mengunci pintu kamar tidur Lembayung. “Dek, mbak butuh bicara sama kamu!” ucap Amara cepat. “Aku gak mau bicara sama mbak Mara!” “Dek, yang kamu lihat tadi pagi…” “Apa?! Aku bukan anak kecil mbak! Aku tahu apa yang mbak lakukan bersama mas Raga! Bukan sekali ini aku memergoki mbak Lembayung begini! “ “Stt, kecilkan suaramu! Nanti kalau mama dengar bahaya! “ “Peduli amat!” “Dek, maafkan mbak Mara … tapi kali ini mbak lagi butuh bantuan Raga …” “Butuh bantuan kok kasih badan?!” “Dek!” “Mbak itu punya gak sih?! Mbak kan tahu Lembayung cinta banget sama mas Raga!” “Itu bukan cinta dek! Kamu cuma kagum sama Raga! Kamu cuma suka fisiknya!” “Apapun yang Lembayung rasa, seharusnya mbak Mara bisa ngerti dan menghargai perasaan Lembayung!” “Dek, maafkan mbak … tapi kamu juga harus ingat, Raga juga bukan kekasihmu … kali ini tolong percaya sama mbak! Mbak lagi butuh bantuan Raga, kami memang dekat … kami…” “Mbak tega! Hanya karena Lembayung yang menyukai mas Raga lebih dulu, mbak meremehkan perasaan Lembayung! Aku tuh benar-benar suka sama mas Raga mbak! Kalau dia pacaran sama cewek lain, aku pasti akan patah hati! Tapi melihat kalian berdua tadi pagi, aku merasa dikhianati! Mbak Mara tega!” isak Lembayung mulai terisak menangis tak bisa menahan rasa sedihnya. “Dek … maafkan mbak … tapi kali ini mbak lagi butuh Raga … mbak lagi ada masalah sama mas Arka … mbak …” “Mbak gak ngerti perasaan Lembayung! Pergi! Lembayung benci mbak Mara!” ucap Lembayung histeris, ia merasa sedih dan marah karena melihat sikap kakaknya yang tampak tak peduli dengan perasaannya dan juga lebih sibuk dengan perasaannya sendiri. Semua orang tahu Lembayung menyukai Raga, tetapi seolah tak ada yang peduli bahwa perasaan Lembayung pada Raga bukanlah rasa kagum, tetapi pria itu adalah cinta pertama untuk Lembayung. Hanya karena Raga tak membalas perasaannya, ia merasa disepelekan oleh Amara. Melihat Lembayung menangis sedih tersedu-sedu, Amara hanya bisa menghela nafas sesaat. Saat ini ia tak bisa memaksakan kehendaknya agar Lembayung mengerti. Adik kecilnya itu masih kekanak-kanakan dan menganggap perasaannya pada Raga adalah nyata. Lembayung segera membuka pintu kamarnya dan mendorong Amara agar keluar dari sana. *** Arka segera berdiri ketika melihat seseorang keluar dari gerbang rumah kediaman Amara. Ia pikir Amara yang akan keluar dari pintu kecil itu ternyata Lembayung. Sudah 2 minggu ia tak bisa bertemu dengan Amara, jika dihubungi yang ada mereka hanya berdebat dan bertengkar dengan kalimat yang saling menyakiti satu sama lain. Bagaimanapun Arka mencintai Amara, ia tak ingin berlama-lama terus menerus bertengkar hebat seperti ini yang bisa menggerus perasaan dan energinya. Pagi ini ia memutuskan untuk datang dan mencegat Amara sebelum perempuan itu berangkat bekerja. “Hai Lembayung,” sapa Arka ketika melihat adik kekasihnya muncul dihadapannya tampak hendak berangkat kerja. Lembayung yang biasanya ceria kini tampak muram dan menatap Arka dingin. Disapa Arka Lembayung hanya diam dan segera melangkah pergi tanpa mengatakan apa-apa. “Duh kenapa sih anak itu! Udah gak ngerasa punya orang tua apa?! Kerja kok gak pamitan?!” terdengar keluhan seseorang dari dalam gerbang. Arka segera menghampiri dan terlihat Amih tengah keluar dari pintu depan dan menyapu di teras rumah mereka yang sederhana. “Pagi tante…,” sapa Arka cepat. “Loh, nak Arka?! Kok pagi-pagi begini sudah datang?! Mau jemput Amara ya?” sapa Amih sambil membuka pintu gerbang untuk Arka. Arka segera mengangguk sambil tersenyum lalu masuk ke dalam rumah. “Tunggu sebentar ya… Mara.. Mara… ada Arka nih mau jemput kamu kerja!” panggil Amih kearah dalam rumah. Dalam hitungan detik Amara segera keluar dari kamarnya dan menghampiri Arka. “Untuk apa mas Arka kesini? Kita sudah putus!” ucap Amara tanpa basa -basi sambil melirik ke kanan dan kekiri, berharap sang ibu yang tengah menyapu di halaman rumah mereka tak mendengarnya. “Itu keinginanmu! Aku belum setuju! Kita harus bicara, Mara! Kamu tak berangkat kerja?” tanya Arka ketika melihat Amara masih mengenakan pakaian rumah padahal waktu sudah menunjukan pukul 8 pagi. “Aku … hari ini aku cuti. Sudahlah, nanti saja kita bicara ya … saat ini aku sedang banyak pikiran,” ucap Amara perlahan sambil menatap Arka dengan tatapan sedih penuh beban. “Tidak! Ambil barangmu, ikut aku! Kita bicara di apartemen kamu,” bisik Arka sambil menoleh ke arah Amih, berharap ibu kekasihnya tak mendengar pembicaraan mereka. “Ayolah,” pinta Arka menatap penuh mohon pada Amara. Perlahan Amara mengangguk dan kembali ke dalam kamar, lalu melihat sebuah testpack bergaris 2 yang pudar diatas meja riasnya. Ia masih belum percaya dengan hasil testpack itu dan terbayang wajah Raga di pelupuk matanya seolah menunjuk pria yang berhasil membuatnya hamil. Amara segera membalut test pack itu dengan tissue lalu memasukkannya ke dalam laci tempat kosmetiknya disimpan lalu menyambar tas dan segera keluar dari kamar tidurnya untuk pergi bersama Arka. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN